Masjid Nurul Haq Jember

Di Sini Tempat Mengkaji dan Mengaji

Masjid Nurul Haq Jember

Bersama Mendidik Jiwa Menguatkan Asa.

Masjid Nurul Haq Jember

Dakwah Aqidah, Akhlaq dan Syari'ah.

Masjid Nurul Haq Jember

Membersihkan Hati Menuju Ilahi Robbi.

Masjid Nurul Haq Jember

Berbekal Amal Sholeh Sampai Jannah.

Jumat, 29 November 2013

Sucikah Air Liur Manusia ?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Imam Ibnu Majah dalam sunannya menyebutkan judul bab:

Bab, tentang air liur yang mengenai baju.

Kemudian, beliau menyebutkan satu hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menggendong Husain bin ‘Ali di atas pundak beliau, dan air liur Husain menetes mengenai beliau.” Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah 658 dan dishahihkan al-Albani, juga disebutkan oleh Imam Ahmad no. 9779 dalam Musnadnya dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth.

Termasuk Liur yang Keluar ketika Tidur

Dr. Soleh al-Fauzan pernah ditanya tentang liur yang keluar ketika tidur. Jawaban beliau,

Liur yang keluar ketika seseorang tidur statusnya suci dan tidak najis. Dan hukum asal segala sesuatu yang keluar dari manusia adalah suci, kecuali yang terdapat dalil bahwa itu najis. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya orang mukmin tidak najis.’ Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.

Kemudian beliau menegaskan,

Liur, keringat, air mata, atau cairan yang keluar dari hidung, semuanya suci. Inilah hukum asal. Sementara kencing, kotoran, dan setiap yang keluar dari dua jalan, statusnya najis. Liur yang keluar dari seseorang ketika dia tidur, termasuk benda suci, sebagaimana ingus, dahak atau semacamnya. Karena itu, tidak wajib bagi seseorang untuk mencucinya atau mencuci baju yang terkena liur.
[al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, 5/10].

Keterangan:

Beliau menegaskan bahwa air liur tidak wajib dicuci. Mohon untuk tidak dipahami ‘tidak boleh dicuci’. Tidak wajib artinya, jika ada air liur yang terkena baju maka tidak masalah baju ini digunakan untuk shalat. Namun jika ini mengganggu karena bau, maka harus dicuci.

Allahu a’lam

sumber : konsultasi syariah.com


Stop Pergaulan Bebas

Masa remaja adalah masa-masa yang paling indah. Pencarian jati diri seseorang terjadi pada masa remaja. Bahkan banyak orang mengatakan bahwa remaja adalah tulang punggung sebuah negara. Namun melihat kondisi remaja saat ini, harapan remaja sebagai tulang pungggung negara di masa yang akan datang sepertinya bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Perilaku nakal dan menyimpang di kalangan remaja saat ini cenderung mencapai titik kritis. Telah banyak remaja yang terjerumus ke dalam kehidupan yang dapat merusak masa depan.



Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), seperti dikutip Okezone, Jumat (1/2/2013) ada tiga hal yang paling rentan dihadapi oleh para remaja atau lebih dikenal dengan istilah TRIAD KRR. TRIAD KRR adalah tiga resiko yang dihadapi oleh remaja, yaitu Seksualitas, HIV/ AIDS dan Napza.
KRR merupakan kepanjangan dari Kesehatan Reproduksi Remaja.

Berdasarkan data survei Seks Bebas di Kalangan Remaja oleh BKKBN, putri di kota-kota besar cenderung sudah tidak perawan. Hasil survei menunjukkan bahwa separuh dari perempuan lajang di kota besar khususnya Jabotabek kehilangan keperawanan dan melakukan hubungan seks pranikah."Tak sedikit pula yang hamil di luar nikah. Rentang usia yang melakukan seks pranikah berkisar antara 13 - 18 tahun," demikian laporan tersebut. Di wilayah lain di Indonesia seperti Surabaya perempuan lajang yang sudah kehilangan keperawanan mencapai 54 persen, Bandung 47 persen, dan Medan 52 persen.

Data tersebut BKKBN himpun dari 100 orang remaja. Sebanyak 51 di antaranya sudah tidak lagi perawan. Seks bebas di kalangan remaja merupakan ancaman serius yang dapat menghancurkan masa depan umat, maka dari itu harus segera ditemukan solusinya.Dan bagaimanakah Islam memberikan solusi tuntas akan persoalan ini. tulisan berikut ini akan menguraikannya.


Akar masalah, pergaulan ala kapitalisme

Pergaulan bebas yang menjadi trend saat ini merupakan problem masyarakat kapitalis yang sepertinya tidak pernah berujung pangkal pada solusi yang tuntas. Kekacauan berpikir yang diadopsi dari aturan—aturan kapitalis begitu merasuk dan meracuni pemahaman kaum muslimin dalam memandang sistem pergaulan antara laki-laki dan wanita. Sebagaimana azas berdirinya kapitalisme yang mengagungkan 4 ide kebebasan salah satunya adalah kebebasan berperilaku, sehingga paham ini membolehkan seorang wanita dapat dengan mudah berhubungan dengan seorang pria/banyak pria hanya untuk bersenang-senang atau menikmati kebebasan pribadi. Padahal tidak ada keperluan apa pun yang mengharuskan adanya hubungan tersebut.

Hubungan lawan jenis dalam konsep kapitalisme tidak lebih merupakan hubungan seksual semata, lain tidak, yang telah melahirkan dekadensi moral . Para wanita menjadi gemar bersolek dan menampakkan keindahan tubuhnya kepada selain suami dan mahramnya. Tidak ada lagi perasaan berdosa atau bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Bayangan pedihnya azab akhirat sudah hilang dari kehidupannya sebagai seorang muslim. Pastinya pemahaman ini mengakibatkan hancurnya tatanan nilai yang ada di masyarakat.

Orang tua juga tidak merasa berdosa membiarkan anaknya berpacaran, dan masyarakat juga tidak menganggapnya sebagai permasalahan. Apa yang terjadi saat ini karena mereka menjadikan masyarakat barat sebagai teladan yang baik serta menjadikan nilai-nilai yang ada dalam peradaban barat sebagai tolak ukur tanpa menimbang nimbang dan mengkaji betapa masyarakat barat tidak peduli lagi dengan bentuk –bentuk hubungan pria-wanita yang mengarah pada hancurnya tatanan nilai standar baik dan buruk dalam berperilaku.

Kehidupan malam yang dulu dianggap tabu oleh masyarakat, saat ini telah menjadi kebiasaan yang sudah dianggap biasa, bahkan menjadi trend sebagai bukti eksistensi mereka sebagai remaja. Fenomena lain yang dianggap wajar dalam masyarakat kapitalis adalah kita sering menyaksikan di jalan-jalan, taman, dan tempat-tempat umum lainnya para pemuda pemudi saling mengumbar syahwat, berciuman, berpelukan, berangkulan serta saling bercumbu layaknya sepasang suami istri yang sah.

Perilaku serba boleh (permisifisme) inilah yang telah menyebarluaskan penyakit kelamin yang paling mematikan yaitu AIDS dan juga telah menghasilkan banyak anak zina. Institusi keluarga benar-benar telah hancur berantakan. Tidak ada lagi namanya rasa kasih dan sayang diantara bapak, anak, ibu, saudara laki dan saudara perempuan. Tatanan hidup yang bobrok inilah yang sebenarnya ditawarkan oleh peradaban barat dengan ide kebebasannya yang begitu diagung-agungkan. Sayangnya kaum muslimin telah silau dengan bungkus manis yang mereka tawarkan bernama era “globalisasi”, kehidupan modern yang justru merendahkan derajat manusia bahkan lebih rendah daripada binatang.



Pengaturan hubungan pria dan wanita dalam Islam

Islam agama yang sangat menghargai fitrah manusia. Secara fitrahnya laki-laki dan wanita memiliki ghorizah nau’ (naluri untuk mempertahankan keturunan) yang memunculkan rasa suka dan tertarik satu sama lain. Oleh karena itu Islam datang dengan seperangkat aturan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan wanita agar keduanya memperoleh kemaslahatan dari interaksi yang dilakukan. Pembahasan pergaulan bebas menjadi salah satu topik yang dibahas dalam nidhomul ijtima’ bukan pembahasan dalam nidhomul mujtama’, karena sistem ini mengatur seluruh hubungan manusia yang terjadi di dalam suatu masyarakat tertentu tanpa memperhatikan ada tidaknya aspek ijtima’(pergaulan pria dan wanita).

Pergaulan antara pria dan wanita atau sebaliknya dapat menimbulkan berbagai problem yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan (nizham) tertentu. Pergaulan pria wanita itu pulalah yang melahirkan berbagai interaksi yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan tertentu. Maka peraturan pergaulan pria-wanita seperti inilah sesungguhnya yang lebih tepat disebut sebagai an-nizhâm al-ijtimâ‘î. Alasannya, sistem inilah yang pada hakikatnya mengatur pergaulan antara dua lawan jenis (pria dan wanita) serta mengatur berbagai interaksi yang timbul dari pergaulan tersebut.

Oleh karena itu, pengertian an-nizhâm al-ijtimâ‘î dibatasi hanya untuk menyebut sistem yang mengatur pergaulan pria-wanita dan mengatur interaksi/hubungan yang muncul dari pergaulan tersebut, serta menjelaskan setiap hal yang tercabang dari interaksi tersebut. An-nizhâm al-ijtimâ‘î tidak mengatur interaksi yang muncul dari kepentingan pria-wanita dalam masyarakat.

Maka aktivitas jual-beli antara pria dan wanita atau sebaliknya, misalnya, termasuk ke dalam kategori sistem sosial (anzhimah al-mujtama‘), bukan termasuk dalam an-nizhâm al-ijtimâ‘î. Sementara itu, larangan ber-khalwat (berdua-duaan antara pria dan wanita), kapan seorang istri memiliki hak mengajukan gugatan cerai, atau sejauh mana seorang ibu memiliki hak pengasuhan anak, termasuk dalam kategori an-nizhâm al-ijtimâ‘î.

Atas dasar inilah, an-nizhâm al-ijtimâ‘î didefinisikan sebagai sistem yang mengatur pergaulan pria dan wanita atau sebaliknya serta mengatur hubungan/interaksi yang muncul dari pergaulan tersebut dan segala sesuatu yang tercabang dari hubungan tersebut.

Pandangan islam terhadap hubungan laki-laki dan wanita yang bebas dan hanya bersifat seksual semata dipandang sebagai dosa besar, pelakunya akan dikenai sanksi yang keras seperti hukuman dera atau rajam dan sekaligus dipandang sebagai orang yang hina. Kehormatan wanita harus dipelihara dan dijaga serta dipertahankan sebagaimana mempertahankan harta benda maupun jiwa dengan tulus dan ikhlas. Oleh karena itu Islam memiliki seperangkat aturan yang sangat tegas dalam menjaga Iffah (kehormatan kaum wanita). Hukum-hukum tersebut banyak sekali jumlahnya diantaranya:

Pertama, Islam telah memerintahkan kepada manusia baik pria maupun wanita untuk menundukkan pandangan (QS An nuur :31)

Kedua, Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya , kecuali wajah dan telapak tangannnyaAllah SWT berfirman:

“ Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selain yang biasa tampak pada dirinya.Hendaklah mereka menutupkan kain keudung (khimar) ke bagian dada mereka. (QS. An Nuur:31)

Ketiga, Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama sehari perjalanan, kecuali disertai mahramnya.

Keempat, Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali wanita itu disertai mahramnya. Rasulullah SAW bersabda: “ tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berkhalwat kecuali jika wanita itu disertai mahramnya”.

Kelima, Islam melarang wanita untuk keluar rumah kecuali seizin suaminya

Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari pria. artinya Islam telah menetapkan bahwa wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita dan kaum pria hidup di tengah-tengah komunitas kaum pria,

Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalat bukan hubungan bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dan pria tanpa disertai mahramnya.

Dengan hukum-hukum ini, jelas sudah bahwa Islam dapat menjaga interaksi pria dan wanita sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah kepada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual semata. artinya interaksi mereka tetap dalam koridor kerjasama semata dalam menggapai berbagai kemaslahatan

Oleh karenanya bisa dipahami, bahwa sebelum terjadinya perzinahan Islam telah melarang semua perbuatan yang mengarah kepada zina seperti pacaran.



Penutup

Sesungguhnya telah terbukti bahwa hanya aturan islamlah yang mampu memberikan pemecahan atas problem interaksi antara pria dan wanita sampai tuntas yang tidak mungkin diberikan oleh akal manusia. Oleh karena itu penting bagi masyarakat untuk memahami bagaimana sebenarnya Islam mengatur tentang interaksi laki-laki dan wanita. Bukan hubungan yang sangat berlebihan (ekstrim) dalam mengekang hak-hak wanita sehingga mencetak wanita yang mengalami kejumudan dalam berpikir karena larangan yang tidak membolehkan sama sekali mereka untuk bertemu dengan seorang laik-laki.

Atau bukan juga hubungan yang terlalu bebas antara laki-laki dan wanita yang hanya akan melahirkan bobroknya tatanan nilai yang ada di masyarakat. melainkan sebuah pengaturan yang sangat menghargai fitrah manusia yang mengatur hubungan keduanya (antara laki-laki dan wanita) dalam batasan yang diperbolehkan oleh syara sehingga implikasi dari hubungan keduanya akan menghasilkan kemaslahatan dan ketentraman dalam kehidupannya dalam menciptakan keluarga yang utuh dan harmonis.

Wallahu a’lam bish-showab










Dampak Sosial Setelah Haji

Labbaika Allahumma labbaika, Labbaika la syarika laka labbaika.
Innal hamda wanni’mata laka wal mulka., laa syarika laka.

Ya Allah, aku datang karena panggilanMu, Tiada sekutu bagiMu.
Segala ni’mat dan puji adalah kepunyanMu dan kekuasaanMu, Tiada sekutu bagiMu.














Kalimat itulah yang sering kita dengar saat musim haji tiba. Yang menandakan bahwa sesungguhnya mereka datang ke Baitullah semata-mata karena memenuhi seruan Allah. Berduyun duyun jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia dan lebih dari dua ratus dua puluh ribu orang Indonesia diantaranya, menuju Baitullah untuk memenuhi panggilan-Nya, menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu berhaji. Ibadah yang hanya bisa dilaksanakan setahun sekali di bulan Dzulhijah. Dan harus menunggu lama untuk bisa menjalankannya.

Indonesia meminta Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk menaikkan jumlah kuota haji dari sebelumnya sebanyak 211 ribu menjadi 240 ribu. Permintaan itu disampaikan Amirul Hajj Indonesia sekaligus Menteri Agama Suryadharma Ali saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal OKI Ekmeleddin Ihsanoglu di Jeddah, Selasa (8/10). Menurut Suryadarma, penambahan kuota itu sangat penting guna memperpendek masa daftar tunggu (wating list) calon jamaah haji yang semakin panjang. "Dalam pertemuan itu, beliau berjanji akan mengoreksi dari permohonan yang kita disampaikan pada sidang OKI sebelumnya," ujarnya. Pemerintah Indonesia terus berjuang menambah kuota haji sebab di sejumlah provinsi masa tunggu sudah ada yang lebih 15 tahun. (Republika.co.id)

Hal serupa juga terjadi di negeri tetangga, Malaysia. Antrian berangkat haji tidak hanya terjadi di Indonesia. Calon jemaah haji Malaysia juga harus mengantri agar bisa berangkat haji. Tahun ini, Malaysia hanya bisa memberangkatkan 22.320 jamaah haji setelah terkena pemotongan 20%. Tingginya pendaftar haji yang tidak sebanding kuota yang ada menyebabkan masa antrian mencapai 51 tahun. Hal tersebut disampaikan Senior General Manager Haj Tabung Haji Malaysia Syed Saleh saat melakukan kunjungan kepada Kepala Daerah Kerja (Daker) Makkah Arsyad Hidayat di Hotel Jirand Al-Taiseer, Makkah, Jumat (27/09), seperti dikutip kemenag.go.id.

Syed Saleh menjelaskan bahwa masa tunggu haji di Malaysia dihitung berdasarkan waktu pendaftaran. Di Malaysia, bayi baru lahir boleh didaftarkan untuk berhaji dan mendapatkan nomor urut. “Jika di Indonesia, penentuan keberangkatan berdasarkan nomor urut kuota masing-masing daerah, Malaysia memberlakukan nomor urut secara nasional. Namun, ada kebijkan di Malaysia untuk memprioritaskan jamaah lanjut usia 75 tahun ke atas dan belum berhaji jika ada kekosongan kuota,” terang Syed Saleh. Melihat fakta diatas Haji merupakan ibadah ritual yang memiliki prestice tinggi, diminati hampir semua kalangan muslim.

Kini sebagian diantar mereka yang menunaikan ibadah haji telah kembali ke tanah airnya, tentunya banyak kisah yang siap mereka bagi dengan sanak saudara dan kerabat di rumah, selain juga berbagi oleh-oleh khas arab. Ibadah haji telah selesai mereka lakukan, lalu bagaimana dampaknya terhadap dirinya dan social masyarakat sekitarnya ?. Di sebagian masyarakat kita, gelar haji adalah bagian dari status sosial, karena seseorang yang dapat melaksanakan ibadah haji memiliki prestise tersendiri, tidak setiap orang dapat melaksanakan ibadah tahunan tersebut.

Orang yang dapat melaksanakan ibadah haji dianggap sebagai kalangan atas yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata. Karena begitu mahalnya ongkos naik haji yang mencapai kisaran puluhan juta rupiah, sehingga jika seseorang hanya mengejar prestise dan status social saja maka tidak heran jika ibadahnya tidak memberikan dampak kebaikan apapun terhadap dirinya dan lingkungannya. Sebenarnya apa makna Haji dan apa dampak yang akan didapat setelah melakukan ibadah ini?

Definisi & Hukum Haji

Haji dari segi bahasa bermaksud mengunjungi. Sedangkan dari segi istilah adalah menyengaja mengunjungi Baitullah Al-Haram di Mekah untuk menunaikan segala perbuatan-perbuatan haji yang telah diperintahkan oleh Allah demi mengharapkan keredhaanNya pada waktu tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula. Haji merupakan salah satu dari hukum Islam yang lima yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim, lelaki dan perempuan apabila cukup syarat-syaratnya. Menurut jumhur ulama’, fardhu haji mula diwajibkan pada tahun ke enam Hijrah karena pada tahun itulah turunnya wahyu Allah yang bermaksud:

“dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. “ (QS Al- Baqarah ayat 196)

“…dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah Haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana. Barang siapa mengingkari kewajiban Haji, maka ketahuilah bahwa Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran 97)

Pada tahun tersebut Rasulullah bersama-sama lebih kurang 1500 orang telah berangkat ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji tetapi tidak dapat mengerjakannya karena telah dihalangi oleh kaum Quraisy sehingga mewujudkan satu perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiah. Perjanjian itu membuka jalan bagi perkembangan Islam di mana pada tahun berikutnya (Tahun ke-7 Hijrah), Rasulullah telah mengerjakan Umrah bersama-sama 2000 orang umat Islam.

Pada tahun ke-9 Hijrah barulah ibadah Haji dapat dikerjakan di mana Rasulullah mengarahkan Sayidina Abu Bakar As-Siddiq memimpin 300 orang umat Islam mengerjakan haji. Nabi Muhammad telah menunaikan fardhu haji sekali semasa hidupnya. Haji itu dinamakan "Hijjatul Wada'/ Hijjatul Balagh/ Hijjatul Islam atau Hijjatuttamam Wal Kamal karena setelah haji itu tidak berapa lama kemudian baginda pun wafat. Baginda telah berangkat ke Madinatul Munawwarah pada hari Sabtu, 25 Zulqaidah tahun 10 Hijrah bersama istri dan sahabat-sahabatnya lebih dari 90.000 orang Islam.

Makna Simbolik & Dampak Haji

Untuk haji secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.

Mabrur yang berakar dari kata “al-birr” berarti kebaikan. Artinya, seseorang yang menghendaki predikat tersebut harus berubah dan mampu mempertahankan nilai-nilai kebaikan yang dijalankan, tak hanya di tanah suci melainkan terus berlanjut hingga kembali ke Tanah Air, bahkan sampai ajal menjemput. Ibadah haji bukan sekedar ritualitas-verbal yang hampa makna, melainkan juga mengandung simbolisasi filosofis yang maknanya mengglobal yakni menyentuh aktivitas kehidupan manusia sehari-hari, diantaranya:

Pertama, ihram. Pakaian ihram menyimbolkan bahwa manusia tidak dipandang dari pangkat, kedudukan dan harta, melainkan kadar ketakwaannya. Kain putih yang dikenakan, mengingatkan bahwa dengan kain itulah kelak manusia akan dibalut sekujur tubuhnya ketika mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Pakaian putih juga bermakna bahwa kita wajib menjaga kehormatan, kesucian jiwa, dan keikhlasan semata karena-Nya.

Kedua, thawaf. Thawaf merupakan simbolisasi dinamisme dan optimisme dalam kehidupan manusia. Sebab, thawaf itu bergerak dan tidak diam seraya terus berdoa kepada Allah. Seakan-akan Allah SWT memerintahkan kepada kita, “Bergeraklah dalam kehidupan ini untuk mencari kehidupan yang lebih bermakna dan bermanfaat ke arah yang lebih baik”.

Ketiga, wukuf. Wukuf di Padang Arafah merupakan salah satu rukun terpenting dari rangkaian ibadah haji. Bahkan Nabi SAW menegaskan, "Al-hajju Arafah (pokok dari haji adalah wukuf di Arafah)". Sayyid Sabiq dalam al-Fiqh al-Sunnah menyebutkan, wukuf merupakan ibadah yang unik, tidak disyaratkan suci sebagaimana shalat. Dalam kondisi bagaimana pun, suci ataupun tidak (junub atau menstruasi), semua harus hadir. Pada tanggal 9 Zulhijjah, lebih dari dua juta umat manusia akan berkonsentrasi di satu tempat yang luas, gersang dan panas, yakni Arafah. Ini merupakan refleksi pusaran hidup manusia yang menyimbolkan bahwa manusia kelak dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan seluruh amalannya di dunia.

Keempat, melontar Jumrah di Mina. Mina dalam bahasa Arab berarti cita-cita. Artinya, untuk menggapai cita-cita luhur dan derajat tinggi di sisi-Nya, terlebih dahulu manusia harus mampu memerangi iblis dan pasukan setan dengan jihad akbar (perjuangan besar), yaitu mengendalikan hawa nafsu agar tunduk dan patuh hanya kepada-Nya.

Kelima, sa'i. Ia merupakan simbol penyempurna sikap optimisme dan dinamisme dalam hidup. Sa'i merupakan simbol perjuangan untuk meraih sesuatu (zamzam). Ini merupakan cerminan bagi kita agar selalu berusaha dan memiliki etos kerja yang tinggi. Menyerah dengan kondisi dan keadaan bukanlah cerminan ajaran Islam. Jika semangat sa'i ini kita terapkan secara konsekuen dalam hal apa pun, maka grafik dinamisasi umat Islam lebih tinggi dibandingkan umat-umat lainnya. Perjalanan sa’i melambangkan perlunya manusia mencapai kehidupan melalui usaha yang penuh kesucian dan ketegaran. Dan melambangkan adanya tujuan ideal yang mesti dicapai manusia dalam setiap denyut nadi dan tarikan nafasnya di dunia ini.

Keenam, mencukur rambut yang berarti memangkas kesombongan. Jika ihram haji identik dengan takbiratul ihram dalam shalat, maka tahallul identik dengan salam ketika shalat. Keduanya adalah batas untuk mengakhiri ibadah. Bercukur rambut setelah melontar jamrah aqabah merupakan tahalul (awal). Rambut adalah mahkota keindahan. Tanpa rambut, manusia akan kehilangan bagian keindahannya. Rambut menjadi trend yang terkadang dapat memicu kesombongan pemiliknya. Tahallul dengan potong rambut adalah simbol memangkas kesombongan, agar kita menjadi orang yang rendah hati.

Khatimah

Menunaikan ibadah haji bukanlah perkara mudah, diperlukan niat yang suci dan hati yang bersih sebelum melaksanakannya. Haruslah diniatkan bahwa ibadah haji semata-mata karena ingin mendapatkan ridha Illahi dengan rangkaian ibadah yang dilaksanakan. Berawal dari niat yang benar inilah seseorang bisa menggapai predikat haji mabrur yang balasannya adalah surganya Allah.

Dengan tuntasnya serangkaian ibadah haji dan kembalinya ke tanah air diharapkan para jamaah haji bisa membawa perubahan terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungan kearah lebih baik seperti yang terkandung dalam makna simbolik rukun dan wajib haji. Dampak/perubahan tersebut bias dilihat dari Semakin dekat dengan Allah swt, menjaga dan mendakwahkan hukum syara’ sehingga tercipta kehidupan yang islami. Kita memohon kepada Allah agar kaum muslimin yang telah selesai menunaikan ibadah haji dengan niat yang tulus bisa diterima ibadahnya dan mendapat predikat haji yang mabrur, Amin.

Wallahua’lam bishowab




Selasa, 17 September 2013

Neo Imperialisme

Tahun ini Indonesia merayakan 68 tahun kemerdekaanya. Ini artinya sudah 68 tahun negeri ini terbebas dari penjajahan. Namun ada baiknya kita renungkan kembali makna kemerdekaan dari imperialisme penjajah. Apakah kita sudah layak berpuas diri dengan kemerdekaan fisik seperti saat ini?



Menurut Wikipedia, Imperialisme adalah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Definisi ini seakan mempromosikan bahwa imperialisme bertujuan baik, karena negara lain yang dikendalikan oleh negara besar bisa dipelihara untuk menjadi berkembang. Seolah-olah imperialisme adalah Dewa penolong bagi negara yang dijajah. Padahal faktanya imperialisme negara-negara Kapitalis di negeri jajahan mereka selalu meninggalkan penindasan dan luka yang mendalam bagi rakyatnya.

Dalam sejarah imperialisme, tidak terhitung berapa korban dari wilayah yang dijajah. Perang Dunia I dan II saja memakan jutaan jiwa dan penderitaan bagi mereka yang masih hidup. Dua bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki membunuh lebih dari tiga juta jiwa rakyat sipil. Perang Dingin dan Perang Melawan Terorisme yang dipimpin oleh AS juga telah menimbulkan banyak korban rakyat sipil.

Ribuan kaum Muslim di Irak dan Afganistan dibunuh atas dasar perang melawan terorisme yang penuh kebohongan. Begitu juga sejarah imperialisme di negeri ini. Akibat penjajahan Belanda selama 350 tahun dan penjajahan Jepang 3.5 tahun, tidak sedikit rakyat Indonesia mengalami kerugian baik fisik (korban jiwa dan harta benda) maupun kerugian non fisik.

Sungguh definisi imperialisme diatas tidak mewakili fakta imperialisme yang sesungguhnya. Namun pendapat John Perkins nampaknya dapat memberikan sebuah definisi yang lebih tepat tentang imperialisme. Seperti yang ditulis Perkins dalam pengantar bukunya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia & Negara Dunia Ketiga”. Perkins menulis jika Imperium adalah negara-bangsa yang mendominasi negara-bangsa lainnya dan menunjukkan satu atau lebih ciri-ciri berikut:

1. Mengeksploitasi sumber daya dari negara yang didominasi.

2. Menguras sumber daya dalam jumlah yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.

3. Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakkan kebijakannya ketika upaya halus gagal.

4. Menyebarkan bahasa, sastra, seni, dan berbagai aspek budayanya ke seluruh tempat yang berada di bawah pengaruhnya.

5. Menarik pajak bukan hanya dari warganya sendiri, tapi juga dari orang-orang di negara lain, dan

6. Mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di negara-negara yang berada di bawah kendalinya.

Dalam tulisannya Perkins menulis, “Semua ciri imperium global itu ada pada AS.” Dengan kata lain, Amerika Serikat adalah Imperium Global di masa sekarang.

Sebagai mantan tim perusak ekonomi—diistilahkannya sendiri sebagai “The Economic Hit Men”—Perkins dengan berani mengungkapkan kesaksiannya jika dewasa ini negara-negara dunia ketiga, alias negara terkebelakang, merupakan jajahan Imperium AS, termasuk Indonesia. Jika penguasanya disebut “Empire” atau “Emperor”, maka sistem yang berlaku adalah Imperialisme.

Secara kesejarahan kata Imperialisme muncul pertama kali di Inggris pada akhir abad XIX. Istilah imperialisme berasal dari kata Latin “imperare” yang artinya “memerintah”. Hak untuk memerintah (imperare) disebut “imperium”. Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut “imperator”. Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium.

Di masa lalu, tindakan untuk menguasai suatu wilayah kerajaan selalu menggunakan senjata api atau peperangan. Namun sekarang tidak selalu. Penguasaan bisa dilakukan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama, pendidikan, dan ideologi. Dan tentu saja, perang sebagai alat terakhir sebagaimana yang menimpa Irak dan Afghanistan.

Imperialisme didorong oleh keserakan manusia, yaitu untuk merampas kekayaan alam negeri yang dijajah, mendominasi, dan menindas manusia-manusia yang ada di dalamnya. Motif imperialisme/kolonialisme Barat tidak bisa dipisahkan dari ideologi Kapitalisme yang diusung oleh mereka. Segala cara akan mereka lakukan demi mewujudkan tujuan mereka (3 G = Gold/kekayaan, Gospel/agama dan Glory/kejayaan) termasuk pembantaian terhadap umat manusia.

Imperialisme (penjajahan) sendiri merupakan strategi yang sering ditempuh oleh negara-negara kapitalis. Hal ini wajar karena kapitalisme tidak akan eksis kecuali melakukan penjajahan (isti’mar) terhadap umat lain. Imperialisme, kolonialisme, atau penjajahan telah dijadikan oleh negara-negara kapitalis seperti AS untuk membuka peluang baru bagi penanaman modal, menemukan pasar baru bagi kelebihan produksi yang tidak dapat dijual di dalam negeri, serta mengamankan pemasukan bahan baku murah untuk kelanjutan proses produksi dalam negeri.

Imperialisme ini kemudian menimbulkan hubungan superior dan inferior—negara-negara kapitalis menganggap mereka merupakan tuan, sementara negara lain adalah budak yang harus tunduk apapun perintah tuannya.

John Perkins dalam bukunya yang mengisahkan perannya sebagai seorang Economic Hit Man (EHM), memberikan uraian, bagaimana dia dan sejawatnya sesama EHM melakukan serangkaian tindakan yang sistematis untuk menjajah suatu negara. Penjajahan ini tidak perlu diartikan sebagai penjajahan secara de jure, sehingga, meskipun secara de jure sebuah negara adalah sah dan berdaulat, maka secara de facto negara tersebut berada dalam pengaruh negara lain.



Pengaruh ini, diuraikan oleh John, terutama dalam aspek ekonomi, di mana sumber daya yang dimiliki secara manipulatif dimanfaatkan untuk menyokong kepentingan negara penjajah tersebut, dan hanya sedikit sekali -bahkan tidak ada sama sekali yang digunakan untuk kemanfaatan negara pemilik sumber daya tersebut. Mereka, para EHM, datang kepada negara-negara tujuan (calon terjajah) dengan membawa sebuah ilusi ekonomi.

Dengan dalih kemajuan, pertumbuhan ekonomi, dll, para EHM lalu mengarahkan para penentu kebijakan, dan para pengambil keputusan kepada cara yang benar guna mencapai kemajuan-kemajuan ekonomi tersebut. Cara yang benar tersebut adalah dengan menerima investasi yang mereka tawarkan yang jelas sekali tidak memihak kepentingan lokal.

Sebagai contoh, di negeri ini yang kaya akan sumber daya alam menjadi lahan yang menggiurkan untuk asing. Tak hanya di rempah-rempah, seperti yang diincar oleh Belanda saat menjajah Hindia. Namun minyak, gas dan tambang emas, tembaga dll kini juga menjadi incaran. Banyak perusahaan asing yang meneken kontrak eksplorasi di negeri ini. Contoh saja Freeport, Chevron, Shell dll. Bahkan, dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Lebih tragis lagi di sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing.

Sementara laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara yang tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam”, mencatat Kontrak Blok D-Alpha Natuna sudah sangat merugikan negara. Berdasarkan KBH, porsi bagi hasil Exxon dan pemerintah ditetapkan sebesar 100 : 0. Artinya, pemerintah sama sekali tidak memperoleh bagi hasil, karena seluruh keuntungan produksi gas yang dihasilkan Natuna merupakan hak milik Exxon selaku kontraktor.

Alasannya, eksploitasi D-Alpha Natuna membutuhkan investasi biaya yang besar dan biaya pemisahan CO2 sangat tinggi. Sedangkan potensi penjualan gas saat itu masih rendah. Karena itu, bagian 100% keuntungan bagi kontraktor dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Bagian pemasukan yang diperoleh pemerintah dari kontrak ini hanyalah pajak dan sejumlah dana kecil diawal masa eksplorasi dan eksploitasi.

Lebih wah lagi adalah penguasaan asing terhadap SDA negeri ini di Freeport. Sebagaimana Nampak dalam table berikut :





Ironis memang karena rakyat justru tidak pernah menikmati kekayaan alam yang ada di tanah mereka sendiri. Benar-benar eksploitasi alam untuk kesejahteraan dan kepentingan negara tuannya (negara Kapitalis barat). Masih pantaskah kita disebut sebagai negara yang merdeka dan berdaulat secara hakiki?



Khatimah

Kemerdekaan secara fisik memang telah diperoleh, namun sungguh, saat ini telah hadir neo imperialisme dan kolonialisme (nekolim) atas negeri – negeri kaum muslimin. Nekolim hadir dalam bentuk yang sangat halus, yakni penjajahan ekonomi melalui kontrol kebijakan ekonomi oleh IMF dan Bank Dunia, serta penguasaan aset dan SDA negeri kaum muslimin oleh kaum kapitalis barat. Nekolim juga hadir dalam bentuk penjajahan Budaya, seperti pemaksaan penerapan ide HAM di negeri-negeri muslim, serangan ide kebebasan individu dll.

Jika di masa lalu dijajah secara fisik sehingga dilakukan perlawan fisik (jihad) oleh para pejuang muslim seperti Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Dipenogoro, Hasanudin, Sultan Babullah hingga HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan KH. Hasyim Asyari melawan penjajah kafir, maka tugas generasi saat ini untuk berjuang membebaskan ummat dari neo imperialisme berbentuk Penjahan Ekonomi, Politik, HAM Negara – Negara Kapitalis terhadap negeri kaum muslimin. Perjuangan ini tidak dapat dilakukan kecuali melalui perang pemikiran (ghazwul fikr) dan perang kebudayaan (ghazwul tsaqofi) menentang pemikiran dan kebudayaan kufur sosialis, komunis ataupun kapitalis.

Tidak ada jalan lain untuk menyongsong kemuliaan dan kejayaan umat selain kembali kepada kehidupan Islam dalam naungan sistem Islam sebagai satu-satunya jalan untuk membebaskan kaum muslimin dari penindasan dan penguasaan imperialisme barat. Sebagaimana firman Allah swt,”Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (TQS. At Taubah : 33).

wallahu’alam bi showab





.

.







Minggu, 25 Agustus 2013

Imperialisme VS Futuhat Islam

Seringkali muncul opini bahwa Islam adalah agama yang jauh dari perdamaian. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, Islam diidentikan dengan kekerasan dan terorisme, kemudian muncul pemahaman bahwa Islam di sebarkan dengan pedang, artinya Islam menyebar ke penjuru dunia menggunakan kekerasan. Parahnya, kemudian menyamakan Futuhat dalam Islam dengan penjajahan atau imperialisme yang dilakukan negara-negara barat. Benarkah tudingan keji ini? Bagaimanakah sebenarnya membedakan imperialisme dan futuhat? Tulisan ini mencoba untuk menguraikannya.




Sebagian kalangan menganggap imperialisme dan futuhat adalah dua hal yang sama, karena keduanya mengandung unsur perang. Sungguh ini adalah sebuah tudingan keji terhadap Islam. Islam bersumber dari Allah Swt. Yang menciptakan alam semesta, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Karena itu, penerapan mabda (baca ideologi) Islam niscaya akan memberikan rahmat/kebaikan pada setiap manusia sebagaimana firman Allah swt dalam QS al-Anbiya’ [21]: 107), yang artinya, ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Rahmat tersebut sesungguhnya akan terwujud dengan penerapan hukum-hukum Islam dalam keseharian. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah syara’ : aina maa takunu syar’i takunu maslahah yang artinya dimana ada hukum syara’ (diterapkan) maka disitulah ada kebaikan. Sebaliknya, ideologi Kapitalisme bermotifkan keserakahan manusia untuk memuaskan hawa nafsunya.

Kapitalisme hanya bisa eksis jika melakukan penjajahan (isti’mar), mengexploitasi bangsa lain untuk kemakmuran dirinya. Tidak mengherankan kalau imperialisme membawa bencana bagi manusia. Karena itu, tujuan futuhat tidak ada hubungan dengan keinginan untuk merampas dan mengeksploitasai bangsa lain serta mendapatkan kedudukan untuk mendominasi manusia lain atau menindas bangsa lain.

Tujuan futuhat adalah semata-mata untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia (dakwah) sehingga Islam sebagai agama yang membawa kebaikan pada setiap manusia bisa dirasakan oleh siapapun tanpa ada yang menghalanginya.

Allah Swt. telah menjelaskan beberapa tujuan dari jihad futuhat di dalam al-Quran: Pertama, meninggikan kalimat Allah dan melenyapkan segala macam fitnah (kekufuran). Allah Swt. berfirman: “Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran) dan adalah agama bagi Allah semata-mata”. (TQS al-Baqarah [2]: 193).

Oleh karena itu tidak ada futuhat (penaklukan) Islam terhadap sebuah negeri kecuali di dahului oleh dakwah Islam. Dakwah ini dilakukan dengan berbagai cara namun jauh dari unsur kekerasan. Faktanya penduduk di sejumlah negeri menerima Islam tanpa proses penaklukan ini, diantaranya dakwah di wilayah Nusantara.

Kedua, menghilangkan kezaliman yang menimpa umat Islam. Allah Swt. Berfirman: “Diizinkan bagi orang-orang yang diperangi (untuk berperang) karena mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa untuk menolong mereka” (TQS al Hajj [22]: 39). Jihad dan futuhat yang dipimpin Khalifah dalam hal ini bertujuan membebaskan kaum muslimin di suatu negeri yang di dzalimi ummat lain.

Ketiga, menggentarkan musuh Allah dan siapa saja yang berada di belakang musuh hingga mereka tunduk kepada Islam. Allah Swt. berfirman:“Siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kalian sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambatkan (untuk persiapan perang), yang dengan itu kalian menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian”. (TQS al-Anfal [8]: 60).

Futuhat berbeda dengan imperialisme atau penjajahan (isti’mar). Tujuan futuhat bukan untuk ekspoitasi negara yang ditaklukan. Negeri – negeri yang telah ditaklukan mendapat perlakukan yang setara (egaliter) dengan Penduduk muslim yang lain, betapapun penduduk negeri taklukan adalah non muslim.

Tujuan futuhat semata-mata dalam rangka menjalankan perintah Allah SWT untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh alam. Membebaskan manusia dari penghambaan yang bathil yaitu thaghut. Bahkan ada aktivitas yang harus dilakukan sebelum futuhat, yakni mengajak mereka terlebih dulu memeluk Islam. Kalau tidak mau, mereka ditawari untuk tunduk dan masuk menjadi bagian wilayah Khilafah yang menerapkan Hukum Allah, meskipun mereka diperbolehkan tetap pada agama mereka. Dan jika mereka tetap tidak mau bergabung, maka penaklukan dengan fisik / perang merupakan pilihan terakhir.

Perang Islam juga bukanlah perang yang barbar. Perang dalam rangka futûhât bukanlah untuk memerangi dan mengekspolitasi rakyat setempat. Dalam perang itu, Islam melarang membunuh orang-orang yang bukan termasuk tentara perang seperti anak-anak kecil, wanita, orang tua, dan para rahib di gereja-gereja.

Tawanan perang juga diperlakukan dengan baik. Penggunaan senjata pemusnah massal seperti senjata nuklir dan senjata kimia hanya digunakan kalau musuh menggunakan senjata yang serupa. Sebab, dalam Islam musuh harus diperlakukan setimpal. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS an-Nahl [16]: 126), yang artinya,”Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari”.



Fakta Futuhat Islam

Futuhat yang dilakukan Islam telah memberikan kebaikan kepada setiap manusia. Penerapan aturan Islam yang adil kepada masyarakat yang ditaklukkan membuat mereka (yang ditaklukkan) tidak pernah merasa berbeda dengan yang menaklukkan mereka. Tidak adanya kesenjangan bagi rakyat di pusat (Khilafah) maupun rakyat yang ditaklukkan. Sebab, Khilafah Islam memberikan jaminan kebutuhan pokok, kesejahteraan, dan keamanan yang sama bagi seluruh warganya; tanpa melihat apakah dia merupakan rakyat yang ditaklukkan atau tidak, muslim ataupun non muslim.

Mereka sama-sama hidup sejahtera di bawah naungan Islam. Adanya persamaan hak bagi rakyat non muslim (kafir dzimi) dalam semua aspek kehidupan baik dari sisi ekonomi, pendidikan, hukum, politik. Penerapan hukum Islam akan menjamin kebutuhan pokok dan keamanan warganya. Islam juga menjamin pendidikan serta bagi seluruh warga negara, dan perlakuan penerapan hukum yang sama, tanpa memandang dari suku, kelompok, bangsa, atau agamanya apa dia berasal.

Rasulullah melarang merusak tempat-tempat ibadah non-Muslim. Rasulullah sendiri sangat memperhatikan perlakuan terhadap ahlu dzimmah ini agar mereka tidak disakiti dan dizalimi. dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan : ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. (HSR. Bukhary-Muslim).

Persamaan di depan hukum sangat tampak jelas dari pernyataan Rasulullah saw : Apakah kamu meminta syafaat dalam hudud Allah? Kemudian beliau berdiri dan berpidato: Wahai manusia! Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu ialah, manakala seorang yang terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya. Namun bila seorang yang lemah di antara mereka mencuri, maka mereka akan melaksanakan hukum hudud atas dirinya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya. (Shahih Muslim No.3196).

Hal ini juga dipraktikkan oleh kepala negara (Khalifah) setelahnya. Sangat populer praktik keadilan Islam seperti diriwayatkan bagaimana seorang Yahudi dibebaskan dari tuduhan mencuri di pengadilan Islam karena tidak cukup bukti. Padahal yang memperkarakannya adalah pemimpin Islam sekaligus sahabat Rasulullah saw yang agung, Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Perlu digarisbawahi, bahwa fakta ini bukan karena semata-mata kearifan pribadi individu pemimpinnya namun semata dalam rangka menerapkan aturan Islam tentang hukum-hukum kepada ahlu dzimmah (warga non-Muslim). Pada umumnya, rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Islam pun tidak menganggap Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi, mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya dan bahkan menjadi pembela Islam.

Tidak pernah didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, atau Bosnia menganggap orang arab yang membawa Islam sebagai penjajah. Bahkan di zaman ini kita pernah melihat fakta muslim Bosnia berjibaku mempertahankan eksistensi melawan Serbia. Begitupula dengan muslim di belahan dunia lain, seperti Chechnya, China, Pakistan, Bangladesh, Mandagaskar dsb menganggap dirinya dijajah.

Berbeda halnya dengan penjajahan negara-negara imperialis barat. Sebagian besar rakyatnya menganggap mereka adalah penjajah. Indonesia, sampai kapanpun, akan menganggap Belanda dan Jepang sebagai penjajah. Rakyat Mesir akan abadi menganggap Inggris sebagai penjajah. Italia pun sampai sekarang tetap dianggap penjajah oleh rakyat Libya dst. Anggapan ini bukan tanpa alasan, tetapi memang didukung oleh fakta-fakta kekejaman negara itu.



Karen Amstrong di dalam Jerusalem, One City, Three Faiths (Random House, Inc, 1996), menyebutkan penaklukan yang dilakukan Khalifah Umar atas Jerusalem terhitung yang paling damai dan minim darah. Begitu penguasa Kristen di Jerusalem dipimpin Kepala Pendeta Sophronius menyatakan menyerah, pertempuran pun berakhir.

Tak ada pembunuhan, tak ada penjarahan, tak ada perusakan properti, tak ada pengusiran atau perampasan harta, tak ada pembakaran simbol-simbol agama lawan, dan tak ada pemaksaan terhadap penduduk Jerusalem untuk memeluk Islam. Seluruh rumah ibadah Kristen atau pun Yahudi aman. Khalifah sengaja membangun masjid di dekat Masjidil Aqsa, untuk tak mengganggu rumah ibadah agama lain. Itulah yang kini dikenal sebagai Masjid Umar. Dibandingkan dengan penaklukan Jerusalem sebelumnya, menurut Karen Amstrong, ‘’Islam memulai masanya yang panjang di Jerusalem dengan sangat baik.



Khatimah

Harus diakui ada kecenderungan kuat yang saat ini meracuni pemikiran kaum muslimin yang menganggap sama dua perkara yang sebenarnya berbeda hanya karena kebetulan terdapat kesamaan beberapa unsurnya. Akan tetapi cara berpikir seperti ini jika digunakan untuk semua hal tentu sangat berbahaya.

Sama seperti, bisakah kita menerima ketika ada orang menyamakan antara manusia dan monyet karena keduanya sama-sama bisa makan dan punya kaki?. Sungguh menyamakan futuhat dalam Islam dan imperialisme barat adalah sebuah tuduhan keji terhadap islam untuk memperburuk pencitraan Islam. Umat hendaknya berhati-hati terhadap propaganda dari musuh-musuh Islam. Karena sesungguhnya yang haq tidak akan pernah sama dengan yang bathil.

wallahu’alam bi showab

Kamis, 01 Agustus 2013

Hukum Yang Kerkenaan Dengan Hari Raya Islam

Sebulan hampir berlalu. Tak terasa ummat Islam hampir menyelesaikan kewajibannya untuk berpuasa di Bulan Ramadhan. Pekan ini adalah minggu terakhir di bulan Ramadhan. Guna menyambut hari kemenangan, selayaknya bagi seorang muslim merayakan hari besarnya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.



Kata ‘ied ( العيد) adalah akar kata dari ( العود) yang berarti kembali. Dalam hal ini ‘ied mempunyai arti kembali dengan penuh ceria dan bahagia. Adapula yang mengartikan selain diatas, antara lain kembali kepada martabat semula, maksudnya : bahwa pada hari raya tidak ada perbedaan, semua orang sejajar, sama rata. Adapula yang mengartikannya sebagai hari dimana orang berkumpul beramai-ramai disetiap tahun.

Sedangkan pendapat yang menyebutkan bahwa ‘iedul fitri adalah kembali kepada fithrah/suci merupakan suatu pengertian yang tidak ditentukan baik oleh bahasa maupun syara’. Sebab arti fithri dalam ‘iedul fithri adalah berbuka setelah sebulan berpuasa, dimana hari tersebut dijadikan hari raya umat Islam.

Ini arti menurut bahasa, adapun menurut syara’ tidak ada hari raya di dalam islam kecuali 2 macam, yaitu : ‘iedul fithri dan ‘iedul Adha, menurut arti sebenarnya. Sedangkan secara kiasan, boleh juga dipergunakan untuk hari-hari lainnya, misalnya jum’at.

Allah SWT telah mensyariatkan sejumlah hukum syara’ yang berkenaan dengan ‘ied, diantaranya:

1. Disunatkan pada hari raya memakai pakaian terbaik, sebagaimana yang tertera dalam hadits: “Sesungguhnya Nabi saw memakai burd/jubah merah pada kedua hari raya dan hari jumat” (HR. Imam Syafi’i). Catatan yang layak kita perhatikan adalah Islam mensyariatkan ummatnya merayakan hari raya mengenakan pakaian TERBAIK bukan TERBARU. Maka sungguh tidak ada kewajiban dalam Islam untuk berbelanja baju baru. Namun jika ada rejeki bolehlah membeli pakaian baru secukupnya tanpa ada niat untuk pamer.

2. Dimakruhkan membawa senjata musholla pada hari raya, kecuali kalau takut diserang musuh, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Al Hasan: “Mereka dilarang membawa senjata pada hari raya kecuali apabila mereka takut diserang musuh”.

3. Disunahkan keluar untuk sholat ‘ied dengan berjalan kaki dan disunahkan pula pada ‘iedul fithri makan sesuatu sebelum bepergian , sebagaimana diriwayatkan :

من السنة ان يخرج الى العيد ماشيا وان يأكل شيأ قبل ان يخرج

“Adalah sunah nabi saw keluar untuk sholat’ied dengan berjalan kaki dan makan sedikit sebelumnya” (HR. At Tirmidzi dengan sanad shahih). Disunahkan juga makan kurma dengan jumlah ganjil.

4. Disyariatkan kaum wanita untuk pergi ke mushalla untuk melakukan shalat ‘ied dan atau untuk menyaksikan khutbah pada kedua hari raya tanpa ada perbedaan antara wanita gadis, janda, nenek-nenek, wanita yang sedang haid maupun yang lainnya selama ia tidak dalam masa ‘iddah (masa tunggu bagi wanita yang ditinggal/dicerai suaminya), atau tidak menimbulkan fitnah dengan keluarnya ke mushalla itu dan atau terdapat udzur yang menghalanginya.

Diriwayatkan dari Ummu ‘athiyah ra, dia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengajak/menyuruh keluar para wanita pada ‘iedul fithri dan ‘iedul adha, yaitu wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haidh, dan gadis-gadis pingitan”.

Adapun wanita-wanita yang sedang haidh maka hendaklah mereka menjauhkan shalat, dalam lafadz lain mereka harus menjauhi mushalla. Mereka menyaksikan kebaikan dan do’a kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah) berkata : “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab”. Beliau menjawab hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya”.

5. Disunatkan membaca takbir pada hari ‘ied. Adapun waktunya, pada hari ‘iedul fithri sejak keluarnya seseorang menuju tempat sholat sampai selesai ditunaikan sholat ‘ied, sebagaimana diriwayatkan :

عن ابن عمر انه كان يرفع صوته بالتكبير والتهليل حال خروجه الى العيد يوم الفطر حتى يأتى المصلى ثم يكبر بالمصلى حتى اذا جلس الامام ترك التكبير

“Dari Ibnu Umar bahwasanya dia mengeraskan suaranya dalam bertakbir dan bertahmid pada waktu dia keluar untuk sholat ‘iedul fitri sampai dia tiba di musholla, kemudian dia bertakbir di musholla, dan berhenti takbir ketika imam telah duduk (diatas mimbar)” (HR. Imam Syafi’i).

6. Disunahkan untuk pergi sholat ‘ied melalui suatu jalan dan pulangnya melalui jalan yang lain, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah:

ان النبى ص.م كان اذا خرج الى العيد يرجع فى غير الطريق الذى خرج فيه

“Bahwasanya nabi saw apabila keluar untuk sholat ‘ied, maka ia kembali melalui jalan yang tidak dilaluinya ketika berangkat” (HR. Ahmad Muslim dan Tirmidzi).

7. Disunahkan di tiap-tiap kota/kampung terdapat musholla yang khusus untuk sholat ‘ied (lapangan atau tempat terbuka) selain di masjid. Dan disunahkan pula setiap penduduk kota/kampung tersebut berkumpul melakukan sholat ‘ied di musholla itu kecuali apabila terdapat halangan, berupa hujan atau yang lainnya. Hal tersebut dicontohkan Rasulullah saw sebagaimana kebiasaan beliau melakukan sholat ‘ied di padang pasir (Al Zabanah) secara rutin”. (HR. Imam Syafi’i). Yaitu sebuah tempat yang berjarak seribu hasta dari pintu masjid nabawi.

8. Waktu sholat ‘ied : mulai terbit matahari sampai condong ke barat. Telah diriwayatkan dari jundub, dia berkata :

كان النبى ص.م يصلي بنا يوم الفطر والشمس على قيد رمحين ، والأضحى على قيد رمح

“Nabi saw shalat bersama kami pada hari ‘iiedul fitri pada waktu matahari setinggi dua tombak (menurut penglihatan kita) sedang pada ‘iedul adha sekitar satu tombak”. (Lihat Nailul Authar, As Syaukani, jilid III halaman 333).

9. Shalat ‘ied dilakukan sebelum khutbah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar ra dia berkata:

كان رسول الله ص.م وابو بكر وعمر يصلون العيدين قبل الخطبة

“Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar biasanya sholat pada dua hari raya sebelum khutbah” (HR. Al jama’ah kecuali Abu Daud().

10. Mendengarkan khutbah ‘ied setelah sholat adalah sunnah karena adanya anjuran untuk menyaksikan kebaikan dan karena nabi saw mengizinkan pulang bagi orang yang tidak ingin mendengarkan khutbah. Rasulullah saw bersabda:

انا نخطب فمن احب ان يجلس للخطبة فليجلس ومن احب ان يذهب فليذهب

“Sesungguhnya kami sedang berkhutbah, barang siapa yang ingin dduk mendengarkan khutbah, maka duduklah, dan barangsiapa yang ingin pergi maka pergilah” (HR. Imam Nasa’I, Ibnu majah dan Abu Daud).

Siapa saja yang ketinggalan shalat ‘ied bersama imam maka dia melakukan shalat tersebut sendirian tanpa khutbah.

11. Tidak disyariatkan adzan dan qamat bagi shalat ‘ied, sebagaimana diriwayatkan Jabir Ibnu Samurah, ia berkata:

صليت مع النبى ص.م العيد غير مرة ولا مرتين بغير اذان ولا اقامة

“Aku pernah shalat ‘ied bersama nabi saw, tidak hanya sekali atau dua kali, tanpa adzan dan qamat”. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Tetapi mu’adzin menyerukan (untuk memulai shalat) dengan mengatakan الصلاة جامعة sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah saw: “Memerintahkan mu’adzin pada kedua hari raya, maka diapun berkata الصلاة جامعة” (HR. Imam Syafi’i)

12. Disunahkan membaca surat Al-A’la, dan Al-Ghasiah pada shalat ied, sebagaimana disunahkannya membaca surat Al-Qaf dan surat Al-Qamar karena terbukti bahwa nabi saw biasa membaca surat-surat tersebut. Demikian pula tidak apa-apa membaca surat apapun dari Al-Quran. Karena para sahabat juga membaca surat-surat selainnya.

13. Bilangan takbir sebelum bacaan pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali (selain takbiratul ihram), dan lima kali pada rakaat kedua sebelum bacaan. Sebagaimana sabda nabi saw:“Takbir shalat iedul Fitri itu tujuh kali dirakaat pertama dan lima kali dirakaat kedua dan sesudah keduanya ada bacaan” (HR. Abu daud dan Daruquthni).

14. Tidak ada sholat sunnah sebelum maupun sesudah shalat ied. Sebagaimana diriwayatkan bahwa nabi saw:

لم يصل قبلها ولا بعدها

“Beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya” (HR. Al Jama’ah).

Tetapi, disunahkan shalat dua rakaat apabila telah pulang kerumahnya karena Rasulullah saw mengerjakan hal tersebut (riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah)

15. Pada waktu wanita keluar menuju mushalla disunnahkan mengkhususkan mereka ditempat terpisah dan disunnahkan pula menasehati dan menganjurkan mereka untuk mengeluarkan shadaqah disamping mengikuti khutbah ‘ied. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, beliau berkata:

خرج النبى ص. م يوم عيد فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما . ثم اتى النساء وبلال معهن بالصدقة فجعلت المرأة تصدق بخرصها وسخابها

“Nabi saw keluar pada hari ied lalu shalat dua rakaat tanpa shalat sebelum maupun sesudahnya, kemudian dating sekelompok wanita dan bilal bersama mereka. Lalu, beliau memerintahkan wanita-wanita tersebut untuk bershodaqoh, maka seorang wanita bershodaqoh dengan anting-anting dan kalung” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majahh).

Bilal mulanya tidak bersama wanita tersebut, tetapi ia mendatangi mereka bersama Rasulullah saw sebagaimana terdapat dalam hadits lain yang berasal dari Jabir ra, dia berkata: “Aku menyaksikan nabi saw pada hari Ied dia memulainya dengan shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan qomat lalu beliau berdiri bersandar pada Bilal, lalu menganjurkan untuk bertaqwa dan taat kepada Allah. Kemudian beliau menasehati jamaah (kaum muslimin) dan mengingatkan mereka, lalu pergi menuju kaum wanita dan beliaupun menasehati dan memberi peringatan kepada mereka” (HR. Muslim dan Nasa’i).

16. Wajib mengeluarkan zakat fitrah, baik di penghujung bulan Ramadhan maupun sebelum shalat Ied. Apabila zakat fitrah tersebut dikeluarkan setelah shalat Ied, berarti dia tidak menunaikan kewajiban tersebut, dan hanya dianggap sebagai shadaqah seperti shadaqah-shadaqah lainnya.

17. Disunnahkan bagi kepala keluarga menambah nafkah bagi keluarganya pada hari Ied.

18. Disunnhakan menghilangkan rasa saling membenci dan mengakhiri pertengkaran dan pemutusan hubungan dikalangan kaum muslimin pada hari Ied.

19. Disunnahkan silaturrahim (kepada family) dan kerabat dekat pada hari Ied. Silahturrahim terdiri dari kata wusola-yasilu-silatan yang berarti menyambung-sedang menyambung-sambungan. Sedangkan yang kedua rohima-yarhamu-rohman. Kata Rohman memiliki tiga arti, yakni : Keluarga, kasih sayang dan uterus. Jadi secara bahasa sillaturrahim/silahturrahmi mempunyai tiga makna : sambungan keluarga, sambungan kasih sayang, dan sambungan uterus.

Lalu apa definisi silaturrahmi? Gabungan kata ini tidak memiliki definisi sebab bukan bahasa istilah. Namun sillaturrahmi memiliki makna syar’I, yakni : menyambung hubungan keluarga/kekerabatan.

Secara umum sillaturrahmi berarti menjalin hubungan kekeluargaan yang terdiri atas dua kelompok besar, yakni pertama kelompok keluarga dekat yang termasuk ahli waris yang meliputi 17 golongan : 1. Anak laki – laki, 2. Anak laki-laki dari anak laki-laki, 3. Bapak, 4. Kakek, 5. Saudara laki-laki, 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, 7. Paman dari bapak, 8. Anak laki-laki dari paman, 9. Suami, 10. Pemilik budak lelaki yang memerdekakan budaknya, 11. Anak perempuan, 12. Anak perempuan dari anak lelaki, 13. Ibu, 14. Nenek, 15. Saudara perempuan, 16. Istri, 17. Pemilik budak perempuan yang memerdekakan budaknya.

Kedua kelompok saudara jauh (ulul arham) yang tidak termasuk ahli waris, yaitu : 1. Paman lelaki dari ibu, 2. Bibi dari ibu, 3. Kakek dari ibu, 4. Anak lelaki dari anak perempuan, 5. Anak lelaki dari saudara perempuan, 6. Anak perempuan anak saudara lelaki, 7. Anak perempuan dari paman dari ayah, 8. Bibi dari ayah, 9. Paman dari ibu, 10. Anak lelaki dari saudara dari ibu.

Khatimah

Kaum muslimin yang bersungguh-sungguh taat di bulan Ramadhan hendaklah selalu ingat dan sadar untuk melanjutkan ketaatan tersebut di luar bulan Ramadhan, karena yang mereka taati adalah Allah swt. Wallahu a’lam bi ashowab.



Kamis, 25 Juli 2013

Membumikan Al Qur'an

Di era modern seperti sekarang ini, ayat-ayat Al Qur’an sudah dapat didengar dan dibaca lewat produk gadget yang kita miliki. Berbagai program aplikasi/software telah banyak dibuat untuk mempermudah kaum muslimin belajar membaca Al Qur’an, bahkan saat ini sudah dilengkapi dengan program tafsir Al Qur’an. Sekarang ini juga sudah banyak bermunculan metode yang mempermudah seseorang belajar membaca dan juga menghafal al qur’an.




Melihat perkembangan itu semua kita tentunya merasa senang dan bangga, apalagi di bulan ramadhan ini banyak kaum muslimin berlomba-lomba memperbanyak membaca Al Qur’an, baik di rumah, musholla, masjid bahkan di tempat-tempat umum, tidak sepi dari lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an. Di satu sisi kita merasa senang dengan fenomena itu, tetapi di sisi lain kita juga prihatin karena Al Qur’an hanya dipahami sebatas bacaan saja, atau al qur’an hanya berhenti di ajang musabaqoh saja. Faktanya, tidak banyak dari ayat-ayat Al Qur’an yang diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.



AL QUR’AN MASIH “DIABAIKAN”

Allah swt berfirman yang artinya, Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an itu sesuatu yang diacuhkan".



Ayat di atas menceritakan bahwa Rasulullah saw. mengadukan kepada Allah SWT perilaku umatnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an]. Kata mahjûr[an] merupakan bentuk maf‘ûl. Ia bisa berasal dari kata al-hujr, yakni kata-kata keji dan kotor. Dengan demikian, maksud ayat ini, mereka mengucapkan kata-kata batil dan keji terhadap al-Quran, seperti tuduhan al-Quran adalah sihir, syair atau dongengan orang-orang terdahulu (QS al-Anfal [8]: 31). Kata mahjûr[an juga bisa berasal dari kata al-hajr, yakni at-tark (meninggalkan, mengabaikan). Jadi, mahjûr[an] juga bisa bermakna matrûk[an] (yang ditinggalkan, diabaikan).



Allah ta’ala memberitahukann ihwal nabi dan rasul Nya yang bekata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an itu sesuatu yang diacuhkan". hal itu karena apabila al qur’an dibacakan kepada kaum musyrik, mereka tidak peduli dan membicarakan hal lain sehingga mereka tidak mendengarkannya.



Sikap demikian termasuk kategori tidak memperhatikan, tidak beriman, dan merenungkan, dan tidak mengamalkan dan beralih pada hal lain. Kita memohon kepada Allah kiranya Dia menjauhkan dari perkara yang membuatNya murka dan memberi kita kekuatan untuk memlihara kitabNya dengan memahami dan mengamalkannya sesuai dengan cara yang diridhoiNya. (ringkasan tafsir Ibnu katsir :546-547)



Tidak mau berhukum dengan al-Quran, baik dalam perkara ushûl ad-dîn maupun furû’-nya, menurut Ibnu al-Qayyim, juga terkategori meninggalkan atau mengabaikan al-Quran (Wahbah Zuhaili, IXX/61). Jika kita cermati, gejala pengabaian al-Quran banyak dilakukan kaum Muslim—baik secara sadar ataupun tidak—dari berbagai level.



Pertama pada level orang awam, baik di kalangan bawah maupun kalangan menengah, menjadikan al qur’an hanya sebagai “pajangan” yang menghiasi rak-rak buku tanpa pernah dibaca, apalagi dikaji isinya dan diamalkan dalam kehidupan. Kalaupun dibaca, biasanya sekadar pada bulan Ramadhan, seperti saat ini.



Karena jarang dibaca, otomatis al-Quran pun jarang dikaji. Karena jarang dikaji, otomatis al-Quran jarang diamalkan. Pada level ini mereka lebih tertarik dan bersemangat untuk (misalnya) membaca koran atau menonton TV, ketimbang membaca al-Quran. Wajar jika kemudian umat lebih paham ide-ide Sekularisme—ketimbang gagasan-gagasan dan pesan-pesan yang berasal dari al-Quran.



Dalam tataran pemikiran, hal ini dapat dibuktikan dengan penerimaan sebagian masyarakat terhadap ide demokrasi, HAM, kebebasan, emansipasi dll ketimbang gagasan-gagasan dan pesan-pesan Islam seperti penerapan syariah Islam secara kâffah (total). Dalam tataran kehidupan praktis. Hal ini dapat diindikasikan dengan gandrungnya sebagian besar masyarakat terhadap gaya hidup Barat yang cenderung bebas dan liar. Wanita Muslim banyak yang lebih suka berpakaian ala Barat yang mempertontonkan sebagian (bahkan sebagian besar) auratnya ketimbang menutup auratnya dengan jilbab dan kerudung. Para remaja banyak yang lebih suka bergaul bebas ketimbang terikat dengan aturan-aturan agama.



Kedua: pada level intelektual Muslim, kita menyaksikan bagaimana al-Quran diperlakukan secara ‘semena-mena’; sesekali dikritisi, bahkan tak jarang digugat—meskipun tidak secara terang-terangan alias dibungkus dengan berbagai istilah dan jargon, seperti ‘reaktualisasi’ ataupun ‘reinterpretasi’ al-Quran.



Munculnya sikap ‘kritis’ terhadap al-Quran tidak lain karena didasarkan pada anggapan bahwa al-Quran—meskipun dipandang suci—hakikatnya adalah kumpulan teks, yang sama dengan teks-teks lain. Bahkan Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Mafhûm an-Nash; Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân, secara tegas menyatakan bahwa al-Quran bukanlah kalamullah, ia hanyalah produk budaya (muntâj ats-tsaqâfi); hasil persepsi Muhammad saw. terhadap kalam Allah yang sebenarnya.



Ketiga: Pada level negara/penguasa, upaya mengabaikan al-Quran sesungguhnya lebih kentara lagi. Bagaimana tidak? Selama ini, al-Quran nyaris tidak dilirik. Enggannya penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT yang bersumber dari al-Quran dan malah lebih rela melakukan legislasi hukum-hukum sekuler buatan manusia adalah bukti nyata dari tindakan mereka melakukan pengabaian al-Quran.



Allah SWT telah mengecam sikap demikian:

]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا[

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepadamu dan pada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum pada thâghût, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkarinya. Setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya (QS an-Nisa’ [4]: 60).



AL QUR’AN SEBAGAI PEDOMAN HIDUP

Al Qur’an yang diturunkan di bulan ramadhan merupakan petunjuk hidup manusia, sebagaimana firma-Nya "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (TQS. Al Baqarah : 185)



Seorang muslim yang cita-cita mereka adalah kebahagiaan negeri akhirat akan menyusuri bumi dan menikmati rizki-Nya dengan jiwa yang selalu terkendali. Ia tidak lupa diri bahwa perjalanan hidupnya adalah berbuat kebajikan. Orang-orang seperti inilah yang pantas memegang kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan di bumi sebab mereka menjalankan tugas luhur itu tanpa lepas kendali. Sedangkan kendalinya adalah Al Qur’an yang merupakan sumber hukum yang paling luhur dan layak untuk mengatur roda kehidupan manusia di bumi.



Sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia, Al Qur’an telah menjelaskan segalanya - rinci maupun global - yang diperlukan untuk memecahkan problematika kehidupan (mu’alajah) dari masa ke masa. Dari ayat-ayatnya para ulama mujtahid menggali hukum untuk menyelesaikan problem-problem baru



Ayat-ayat Al Qur’an senantiasa menyinari kehidupan kaum muslimin. disamping memberikan gambaran yang jelas tentang masa depan hakiki umat manusia, Al Qur’an juga menjelaskan dan memecahkan berbagai persoalan praktis kehidupan manusia. Berkaitan dengan kehidupan manusia sebagai hamba Allah, Al Qur’an menjelaskan hukum-hukum ibadah seperti sholat, do’a, dzikir, puasa, zakat, haji dll. Dalam rangka menjaga kelestarian jenis manusia, Al Qur’an menjelaskan berbagai hukum yang berkaitan dengan perkawinan seperti penyusuan, pengasuhan anak, nafkah, waris, kehidupan perkawinan bahkan perselisihan dalam perkawinan hingga perceraian.



Berkaitan dengan pembentukan sifat-sifat pribadi luhur, Al Qur’an menyebut-nyebut hukum tentang akhlak yang terpuji seperti jujur dan adil, Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(TQS. al-maidah : 8)



Dalam mengatur kehidupan masyarakat, Al Qur’an menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS. An-Nisa’ : 59). Jika terjadi perselisihan antara rakyat dan penguasa kaum muslimin, Al Qur’an menyuruh kedua belah pihak kembai kepada hakim yang akan menunjukkan jalan keluarnya.



Berkaitan dengan ekonomi, yang merupakan bagian penting dalam kehidupan, Al Qur’an menjelaskan berbagai sumber hukum seputar pemilikan pengelolaan dan pendistribusian harta. secara umum semua harta yang ada di langit dan bumi ini diciptakan untuk manusia (QS Al-Baqoroh : 29), namun ada harta-harta tertentu yang tidak boleh dimiliki misalnya khamr dan babi. Juga ada cara-cara memiliki harta tertentu yang dilarang seperti mencuri dan merampok.



Dalam mengelola harta, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba dan perjudian. Dalam masalah distribusi harta, Al Qur’an mencegah terakumulasinya harta di kalanngan orang-orang kaya saja, Allah berfirman : “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (TQS Al-Hasyr : 7)



Dengan demikian, Al Qur’an menjadi petunjuk dan pedoman hidup (Minhajul Hayah) kaum muslimin dalam menjalankan tugas-tugas individual maupun sosial, sehingga mereka dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.





Khatimah

Faktor terpenting yang menjamin keberlangsungan fungsi Al Qur’an sebagi pedoman hidup kaum muslimin adalah penguasaan mereka terhadaap isi kandungan al qur’an. Penguasaan dan pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dijamin oleh hukum-hukum ibadah yang berkaitan dengan Al Qur’an seperti membaca (tilawah), mempelajari (tadarus), dan memelihara hafalan (ta’ahud).

Mempelajari dan memahami Al Qur’an serta mengajarkannya adalah ibadah yang sangat tinggi nilainya, rasulullah bersabda : “Yang terbaik diantara kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al Qur’an” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan ashhabus sunan). Dalam sabdanya yang lain disebutkan : “orang yang pandai Al Qur’an kelak mendapatkan tempat di surga bersama para rasul yang mulia ...”



Nash-nash syara’ inilah yang telah mendorong para sahabat gemar menyibukkan diri dalam membaca, menghafal, mempelajari dan mengamalkan Al Qur’an. Isi dan irama al qur’an telah membekas dalam jiwa dan pikiran mereka, mereka adalah generasi pengemban Al Qur’an yang telah merealisasikan isi kandungannya serta menyebarkan kepada seluruh umat manusia.



Jika kaum muslimin hari ini ingin memimpin dunia, maka mereka harus menempatkan Al Qur’an pada kedudukan yang sebenarnya. Umat Islam akan maju dan berkembang jika dekat dengan agamanya (Al Qur’an). Wallahu a’lam bi ashowab















Rabu, 17 Juli 2013

Pajak, Zakat & Kemakmuran Umat

Memasuki bulan Ramadhan, perbincangan-diskusi-seminar-training dan sejenisnya yang membahas zakat kembali marak. Begitu juga sebagian besar kaum muslimin mulai menyadari kewajibannya untuk melaksanakan ibadah zakat, baik itu zakat fitrah yang wajib dikeluarkan di bulan Ramadhan, maupun zakat mal/zakat harta kekayaan yang wajib dikeluarkan apabila sudah sampai nishab dan haulnya.




Di sisi lain, di negeri ini juga diberlakukan kewajiban membayar pajak bagi rakyat kepada Negara. Dengan adanya kewajiban membayar zakat bagi kaum muslimin, dan kewajiban membayar pajak kepada negara, terkadang dirasakan sebagai double pengeluaran, sehingga ada yang mengusulkan untuk mensubstitusi pajak dengan zakat atau sebaliknya, atau usulan bagi kaum muslimin yang sudah membayar zakat maka pajaknya akan diperkecil. Namun sesungguhnya zakat dan pajak memiliki filosofi dan landasan yang berbeda.

Sekedar Perbandingan

Menurut Pasal 1 angka 1 UU no. 6 tahun 1986 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU no. 28 tahun 2007, Pajak adalah Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.(id.wikipedia.org)

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya dalam pembangunan karena pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat besar untuk membiayai pengeluaran/pembelanjaan negara, termasuk pengeluaran untuk gaji pegawai negeri dan pembangunan. Pada Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) 2013, pendapatan negara diperkirakan mencapat Rp. 1.502 trilyun.

Penerimaan/pendapatan ini diperkirakan terdiri dari Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) Rp. 349,2 trilyun, penerimaan pajak Rp. 1.148 trilyun, dan penerimaan hibah Rp. 4,5 trilyun. (www.setkab.go.id). Berdasarkan data tersebut, pajak mempunyai porsi sekitar 76% dalam komposisi pendapatan negara, hal ini menunjukkan bahwa pajak memang benar-benar menjadi tulang punggung dalam penerimaan negeri ini.

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintahan Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktoral Jenderal Pajak Departemen Keuangan, sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah daerah, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak yang dikelola oleh Direktoral Jenderal Pajak meliputi : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea materai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota meliputi : Pajak Propinsi : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air di Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Sedangkan Pajak kabupaten/Kota meliputi : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Pajak Parkir. (pelayanan-pajak.blogspot.com)

Demikianlah begitu banyak jenis pajak yang ada di negeri ini, dimana semuanya dipungut dari rakyat untuk pembangunan negeri ini. Pajak dipungut rutin sepanjang waktu, hampir di seluruh aspek kehidupan dan dibebankan kepada semua warga negara. Padahal jika dicermati, begitu banyak sektor kehidupan yang luput dari sentuhan pembangunan, dan begitu banyak penyelewengan dalam pelaksanaan pengelolaan pajak.

Sementara syariat Islam telah menetapkan bahwa untuk mengelola semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin, maka dibuatlah baitul mal. Baitul mal adalah sebuah pos pengelolaan harta dan bukan tempat. Sumber-sumber pemasukan baitul mal adalah fai’, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat.

Basis utama Baitul Maal adalah pemasukan dari harta milik umum, seperti : hasil produksi pertambangan dan Sumber Daya Alam yang nilainya tidak terbatas jumlahnya. Dengan mengandalkan pemasukan dari pengelolaan barang tambang dan sumber daya alam lain diyakini cukup untuk membiayai pengeluaran Baitul Maal. Sebagai referensi tambang gas Blok Natuna D-Alpha yang mengandung sekitar 500 juta barel minyak, blok ini juga adalah salah satu blok gas dengan cadangan terbesar di dunia saat ini, dengan total potensi gas mencapai 222 triliun kaki kubik (tcf).

Dengan potensi sebesar itu, dan asumsi harga rata-rata minyak US$ 75/barel selama periode eksploitasi, maka nilai potensi ekonomi gas Natura adalah US$ 628,725 miliar atau sekitar Rp 6.287,25 triliun (kurs US$/Rp = Rp 10.000). Sayangnya tambang ini 100 % dikuasai oleh swasta, bahkan 76% diantaranya dimiliki perusahaan asing ExxonMobil. Sedangkan pemerintah hanya menerima pemasukan dari pajak. (eramuslim.com)

Oleh karena itu dalam Islam pajak tidak dimasukkan dalam daftar pemasukan rutin kas baitul mal, sehingga pajak bukan merupakan pungutan wajib yang mengikat. Pajak (dharibah) baru akan diambil apabila harta-harta yang ada di baitul mal tidak mencukupi untuk melaksanakan tuntutan pelayanan urusan umat. Selain itu, pajak hanya dipungut dari sisa nafkah/kebutuhan hidup, serta dari harta orang kaya saja. Dimana yang menjadi obyek pajak hanyalah kaum muslimin dan bukan non muslim. (membangun sistem ekonomi alternatif perspektif Islam, risalah gusti, 1996).

Syariat Zakat

ZAKAT adalah “kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya., dengan beberapa syarat” (Fiqh Islam; H. Sulaiman Rasjid). Zakat termasuk salah satu rukun Islam yang lima dan merupakan salah satu bentuk ibadah kaum muslimin kepada Allah SWT, fardhu ‘ain atas tiap-tiap orang yang cukup syarat-syaratnya. Zakat mulai diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah.

Ayat-ayat Al-Qur’an tentang diwajibkannya zakat : “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat hartamu.” (TQS.An-Nisaa’ 77). “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (TQS.Al-Baqarah 277)

Rasulullah Saw bersabda, yang artinya : “Islam itu ditegakkan di atas 5 dasar : 1. Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq kecuali Allah, dan bahwasannya Nabi Muhammad itu utusan Allah. 2. Mendirikan shalat lima waktu. 3. Membayar zakat. 4. Mengerjakan ibadah haji ke baitullah. 5. Berpuasa dalam bulan Ramadhan. (Sepakat Ahli Hadits). Dalil-dalil Al-qur’an dan hadits di atas telah cukup menyadarkan dan menjadikan pemahaman bagi kaum muslimin bahwa menunaikan zakat hukumnya wajib.

Zakat dibagi dalam dua jenis, yaitu zakat fitrah dan zakat maal/zakat harta kekayaan.

A. Zakat Fitrah

Setiap muslim, laki-laki, perempuan, besar-kecil, merdeka-hamba sahaya, diwajibkan membayar zakat fitrah sebanyak 3.1 liter makanan yang mengenyangkan menurut tiap-tiap negeri. (Fiqh Islam, H.Sulaiman Rasjid, hal 207)

Dari Ibnu Umar, Ia berkata “Rasulullah saw, mewajibkan zakat fitri (berbuka) bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ (3,1 liter) kurma atau gandum atas tiap orang muslim merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits Bukhari disebutkan, “Mereka membayar fitrah itu sehari atau dua hari sebelum hari raya.” Dalam hadits lain, dari Abu sa’id, Ia berkata, “kami mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ dari makanan, gandum, kurma, susu kering, atau anggur kering.”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Zakat fitrah dikeluarkan lebih utama pada pagi hari sebelum shalat hari raya. Dan boleh memajukannya mulai permulaan Ramadhan. Adapun mengeluarkan zakat setelah shalat hari raya tidak diperkenankan, dan hanya dianggap sebagai sedekah.

B. Zakat Maal/Zakat Harta

Adalah zakat harta kekayaan, yang terkadang sering diabaikan oleh sebagain dari kaum muslimin. Padahal hukumnya sama wajib dengan zakat fitrah. Setiap kekayaan kaum muslimin wajib dikeluarkan zakatnya. Yang termasuk zakat maal adalah harta kekayaan, perdagangan, binatang ternak, pertanian, dan barang temuan. Adapun mengenai aturan zakat maal, perlu dibahas khusus/tersendiri dalam satu pembahasan fiqh zakat maal, karena perlu adanya keterperincian terkait nishab dan haulnya.

Begitu urgennya syariat zakat ini sehingga Allah swt dan Rasul-Nya mencela orang – orang yang tidak mau membayar zakat. Allah SWT berfirman, yang artinya : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perakdan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan dan perak itu dalam neraka Jahannam. Lalu disetrika (dibakar) dengan dahi, lambung, dan punggung mereka. (Dikatakan kepada mereka) “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) harta yang kamu simpan itu.” (TQS.At-Taubah 34-35)

Dari abu Hurairah, Rasulullah Saw telah berkata, “Seseorang yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka jahanam, baginya dibuatkan setrika dari api, kemudian disetrikakan ke lambung dan dahinya....” (HR. Ahmad dan Muslim)

Hikmah Syariat Zakat

Ada sebuah kaidah syara’ menyebutkan : aina maa takunu syar’I; takunu maslahah yang artinya dimana ada hukum syara’ (ditegakkan), maka disitu terdapat maslahat (kebaikan). Pun demikian dengan syariat zakat, dia memiliki sejumlah hikmah, diantaranya :

1. Membersihkan diri dan harta kita, sebagimana firman Allah SWT, yang artinya “Ambillah dari harta mereka sedekah (zakat) untuk membersihkan mereka dan mensucikan mereka.” (TQS.At-Taubah 103)

2. Menghindarkan sifat bakhil, sebagaimana firman-Nya, yang artinya : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.” (TQS.Ali imran 180)

3. Membina dan mempererat persaudaraan antar kaum muslimin (ukhuwah Islamiyah), serta menumbuhkan rasa kasih sayang antar umat Islam.

4. Agar harta tidak berputar dikalangan orang-orang kaya saja dan berputar memberi manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan (fakir-miskin dan sebagainya), sesuai dengan firman Allah SWT, yang artinya : “Supaya harta itu tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.” (TQS.Al Hasyr 7)

Demikianlah apabila syariat zakat diterapkan di tengah-tengah umat Islam, insyaAllah akan memberikan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Bagi muzakki/wajib zakat akan membersihkan jiwa dan hartanya, serta mendapatkan balasan pahala kebaikan yang tidak terkira, sebagaimana firman-Nya : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah 261)

Bagi mustahiq/orang yang berhak menerima zakat, yaitu 8 golongan berikut ini : “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil, para mualaf yang dilunakkan hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berutang, untuk jihad di jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, maha Bijaksana.” (TQS. At-taubah 60), akan mendapat manfaat atas harta zakat yang mereka terima, lebih lanjut lagi apabila harta zakat dikelola dengan benar pasti akan mampu memberantas kemiskinan dan kefakiran sehingga akan mampu terwujud kemakmuran umat.

Khatimah

Zakat tidak sama dengan pajak umum, melainkan hanya semata salah satu bentuk ibadah kepada Allah swt. Meskipun berbentuk materi, zakat memiliki nilai spriritual semisal ibadah sholat, puasa, haji dan semisalnya. Oleh karena – terlepas kita sudah membayar pajak atau belum – maka selayaknya seorang muslim tetap menunaikan kewajbannya dalam berzakat. Pembayaraannya bisa melalui lembaga – lembaga pengelola zakat (BAZ/LAZ/Masjid dll) ataupun langsung kepada yang berhak. Inilah salah satu bentuk rahmat dari syariat Islam, zakat sebuah ibadah ritual yang memberi dampak social.

Wallahu a’lam bi ashowab.