Pekan kemarin sejumlah media meributkan sebuah aturan bagi muslimah yang hendak diberlakukan oleh Pemko Lhokseumawe, NAD. Salah satu isi aturan itu adalah larangan duduk mengangkang bagi wanita ketika dibonceng sepeda motor.
Kontan aturan ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sikap kontra mencuat terutama dari para aktifis perempuan, pembela HAM dan orang-orang liberalis. Larangan tersebut ditarik pada penerapan aturan syariat Islam, karena Aceh dianggap sebagai propinsi yang melaksanakan syariat Islam. Namun penentangan mereka bukan berdasar pada nash tertentu dari Islam, tapi lebih karena alasan pragmatis.
Begitu antusiasnya para penentang ini sehingga lupa membahas bagaimana isi aturan tersebut sebenarnya. Padahal aturan larangan duduk mengangkang bagi muslimah naik sepeda motor itu merupakan Seruan Bersama (bukan perda syariah) yang ditandatangani oleh Walikota, Ketua DPRD Kota Lhokseumawe, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe dan Ketua Majelis Adat Aceh Kota Lhokseumawe. Bahkan seruan tidak hanya berisi tentang larangan duduk mengangkang tetapi ada beberapa point himbauan yang tidak pernah diungkap media.
Adapun isi surat edaran tersebut :
Untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai budaya dan adat istiadat masyarakat aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai wujud upaya pemerintah kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka maka dengan ini pemerintah mengimbau kepada semua masyarakat di wilayah Lhokseumawe agar;
1. Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang) kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).
2. Di atas kendaraan baik sepeda motor, mobil, dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.
3. Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat Islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.
4. Kepada seluruh Geucik, imum mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swasta agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat.
Demikian imbauan ini kami sampaikan untuk dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dalam upaya menegakkan syariat Islam. (Lhokseumawe, 7 Januari 2013). (http://atjehpost.com)
Jika membaca keseluruhan seruan yang ditandatangani oleh empat tokoh Lhokseumawe itu, sesungguhnya lebih mengarah pada usaha membangun tata krama, sopan santun sembari menjaga adat masyarakat aceh yang bernafaskan Islam. Namun sangat disayangkan jika media (tertentu) begitu menggebu – gebu memberitakan peraturan ini secara parsial, hanya perihal larangan duduk mengangkan tanpa memberitakan secara utuh seruan ini.
Hebohnya, sejumlah media lebih suka mengutip pendapat pihak yang kontra daripada suara yang pro. Seakan ada upaya menyudutkan syariat Islam yang diformalisasikan menjadi hukum positif dengan menggambarkan aturan Islam melanggar kebebasan, mengekang perempuan, menodai HAM, mencederai demokrasi dst. Pihak mediapun relatif diuntungkan dengan kontroversi ini karena mereka mendapat berita yang bisa dijual. Namun disisi lain, ummat Islam jelas dirugikan dengan opini negatif yang berkembang dari isu ini.
Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) menilai, perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor dengan aurat terbuka atau tidak mengenakan pakaian muslimah, bisa meruntuhkan marwah seorang perempuan. “Kebijakan ini bisa mengembalikan marwah perempuan yang ada di Aceh, kalau yang di luar Aceh tidak ada problem. Berbicara marwah sangat tergantung pada daerah," katanya, dilansir Okezone, Kamis (3/1/2013)”.
Dari sisi agama, perempuan tetap diperbolehkan duduk terbuka atau ngangkang di sepeda motor asal jangan sampai terbuka auratnya dan tidak menciderai marwah seorang perempuan. “Sah-sah saja, asal aurat tetap terjaga, pakaian tetap sopan tidak menyerupai laki-laki, dan tidak menciderai marwah perempuan itu sendiri," ujar Faisal yang juga Ketua PW Nahdatul Ulama Aceh.
Syariat Islam dan Sistem Islam
Terlepas dari pro dan kontra atas kebijakan ini, namun selayaknya kita memberi apresiasi terhadap ghirah pimpinan, tokoh dan masyarakat Aceh yang ingin melestarikan dan mengamalkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Namun semangat penegakan Islam ini menemui dilema menghadapi sistem demokrasi yang sedang berjalan saat ini. Sistem ini menampakkan wajah hipokritnya (munafiq). Pada satu sisi demokrasi mengagungkan kebebasan berpendapat dan mengakui kebebasan beragama, tapi di sisi lain saat ummat Islam ingin melaksanakan syariat agamanya, penentangan dari para pejuang demokrasi datang bertubi – tubi.
Inilah fakta bahwa sistem sejalan dengan syariatnya. Jika tidak seiring maka tidak akan terlihat maslahatnya. Syariat Islam akan dapat diterapkan secara sempurna hanya dalam sistem Islam, tidak dalam sistem demokrasi jahiliyah. Demikian pula aturan-aturan kufur jelas tidak bisa (baca: tidak boleh) diterapkan dalam sistem Islam. Oleh karena itu, perlu dievaluasi kembali aturan-aturan / syariat Islam yang dinukil oleh sebagian kaum muslimin saat ini, yang kemudian diterapkan di negerinya masing-masing. Apakah sistemnya sudah Islami atau belum ?!
Sesungguhnya sistem Islam belum ada yang menerapkan saat ini. Oleh karenanya, jika saat ini ada syariat Islam yang diterapkan, berarti masih “salah tempat” sehingga efek masalahat yang ditimbulkannya tidak optimal, bahkan jika terjadi kegagalan akan menjadi makanan empuk aktivis anti Islam untuk menyerang Islam.
Tempat inilah yang harus dirubah menjadi tempat yang memiliki sistem Islam. Jika tempatnya belum dirubah maka indahnya syariat Islam tidak akan bisa terlihat. Semisal syariat menutup aurotnya wanita menjadi polemik yang tidak pernah berakhir. Padahal ayat dan hadits yang menjelaskan tentang ini sangat jelas..
Di beberapa Negara lain, termasuk Negara-negara maju, peraturan mengenai hal-hal teknis seperti ini tidak ada persoalan. Misal seperti Singapura yang melarang memelihara kucing bagi penduduknya, melarang penjualan permen karet. Ataupun semisal Inggris yang tak boleh menampilkan dua jari (victory) yang disana dianggap menghina.
Misal ketika di Amerika ada aturan yang apabila ada orang yang menyapa orang lain sambil mengupil maka hal itu bisa dipidanakan, misal juga ketika seseorang di Amerika menampilkan ekspresi jari yang dianggap melecehkan, misal juga sebuah maskapai penerbangan di New Zealand yang tak membolehkan penumpangan mengenakan celana kendor dan apabila mengenakannya akan diturunkan dari pesawat. Itu semua negara maju dan tak ada yang protes serta meributkan.
Mengapa masalah mengangkang mencuat? Ini adalah berita yang cukup menarik dan menjadi santapan empuk para feminis untuk mencoba menampar hukum Islam. Oleh karena itu kaum muslimin jangan terkecoh dengan pendapat mereka. Islam sudah memberikan aturan yang indah, mudah dan baik untuk manusia.
Menutup aurot
Pro dan kontra terhadap himbauan larangan mengangkang dari pemerintah kota Lhoksuemawe itu semestinya tidak terjadi, masih banyak PR negeri ini yang belum dikerjakan. Apalagi bahasan larangan mengangkang itu tidak diikuti dengan bahasan item-iten seruan yang lain. Aktifitas berpelukan, berpegangang dengan lawan jenis yang tidak halal jelas merupakan perbuatan dosa. Termasuk juga membuka aurot didepan umum juga tidak dibolehkan (baca: haram) dalam Islam.
Secara fiqih, memang harus lebih di kaji apakah duduk menyamping itu adalah wajib atau mubah, mengingat alasan dari pemberlakukan duduk secara menyamping tersebut salah satunya adalah agar tidak membentuk lekuk tubuh wanita. Karena faktanya duduk secara mengangkang tersebut secara syar’I dalam kondisi tertentu adalah boleh (baca : mubah) sebagaimana pada masa Rasul SAW dan Sahabat ketika seorang wanita duduk di unta (atau keledai dan kuda) dengan posisi duduk mengangkang tidak menyamping penuh, kemudian kebolehan tersebut juga dengan catatan bahwa wanita tersebut tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya, artinya pakaian yang dikenakan itu harus bisa menutupi lekuk tubuhnya.
Karena faktanya, orang yang duduk secara menyamping pun lekuk tubuhnya masih tetap terlihat. Artinya, harus kembali kepada fiqih bagaimana hukum busana muslimah ketika berada di kehidupan umum, yakni dengan memakain jilbab (gamis) dan khimar (kerudung).
Menutup aurot adalah kewajiban bagi kaum muslimin. Terkhusus bagi muslimah dengan aturan yang sudah ditentukan dalam Al Qur’an dan As sunnah. Kewajiban memakai Jilbab tertera dalam ayat, ”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. Al Ahzab : 59).
Dalam catatan kaki terjemahan al qur’an disebutkan bahwa makna jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Sementara di TQS An Nur : 31 disebutkan,“katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya. Dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari pandangan dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”.
Diriwayatkan dari Aisyah ra. Bahwa Asma binti Abu Bakar masuk kedalam rumah nabi saw. Dengan memakai pakaian tipis. Lalu nabi berpaling darinya seraya bersabda : ”Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu apabila telah mencapai usia baligh tidak boleh menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya mengisyaratkan kepada muka dan kedua telapak tangan)”. (HR. Abu Dawud).
Beberapa dalil diatas sudah jelas, bahwa Allah dan Rosul-Nya telah memerintahkan wanita untuk menutup aurotnya dengan syarat tertentu, diantaranya :
1. Menutupi seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan,
2. Kain harus tebal, tidak transparan,
3. Harus longgar dan tidak ketat, tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh, tidak diberi wewangingan yang sampai tercium laki-laki ajnab, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan menutup aurot, bukan karena riya’ dan bukan perhiasan.
Inilah yang harus dilakukan oleh para muslimah agar ke-iffah-annya terjaga. Sedangkan mengangkang atau tidak bisa dipilih asalkan hukum menutup aurot yang benar telah dilakukan. Dan jika tidak menutup aurot meskipun tidak mengangkang, tetap tidak dibenarkan.
Menyiapkan Masyarakat Menerima Syariat
Masyarakat yang didalamnya akan diterapkan sejumlah aturan-aturan dari sebuah ideologi tertentu, maka masyarakat tersebut harus dipersiapkan keyakinan terhadap ideologi dan kebenaran aturan-aturannya. Ketika masyarakat belum memiliki pemahaman dan keyakinan terhadapnya bisa jadi mereka akan menolak aturan-aturan itu, termasuk dalam hal ini syariat Islam.
Syariat Islam akan bisa diterapkan ditengah-tengah masyarakat dengan sempurna jika mereka sudah siap menerimanya. Kesiapan penerimaan itu diawali dengan keyakinan penuh mereka pada aqidah Islam dan merasakan indahnya syariat Islam ketika dilaksanakan dalam kehidupan, serta kepasrahan untuk tunduk terhadap hukum-hukum Islam. Kemudian rela dan menginginkan agar syariat itu diterapkan pada diri mereka.
Namun, ketika aqidah Islam itu belum dipeluk dengan benar oleh masyarakat kemudian syariat itu dengan serta merta diterapkan pada mereka, maka terjadi resistensi berupa protes, kritik, dsb. Apalagi berkaitan dengan aturan yang sangat teknis sekali yang tidak ada dalil tegas dalam syariat. Aturan teknis bisa saja diterapkan oleh seorang pemimpin jika hal itu dipandang perlu untuk mengatur kehidupan bermasyarakat asalkan tidak bertentangan dengan syariat secara umum.
Oleh karena itu pembinaan ummat melalui dakwah Islami yang intens kepada masyarakat harus terus dilakukan sampai ummat siap lahir batin untuk menerima aturan-aturan Islam sebelum syariat dan system islam dapat ditegakkan dengan kaffah. InsyaaLLah.
Wallahu a’lam bish-showab.
Kontan aturan ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sikap kontra mencuat terutama dari para aktifis perempuan, pembela HAM dan orang-orang liberalis. Larangan tersebut ditarik pada penerapan aturan syariat Islam, karena Aceh dianggap sebagai propinsi yang melaksanakan syariat Islam. Namun penentangan mereka bukan berdasar pada nash tertentu dari Islam, tapi lebih karena alasan pragmatis.
Begitu antusiasnya para penentang ini sehingga lupa membahas bagaimana isi aturan tersebut sebenarnya. Padahal aturan larangan duduk mengangkang bagi muslimah naik sepeda motor itu merupakan Seruan Bersama (bukan perda syariah) yang ditandatangani oleh Walikota, Ketua DPRD Kota Lhokseumawe, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe dan Ketua Majelis Adat Aceh Kota Lhokseumawe. Bahkan seruan tidak hanya berisi tentang larangan duduk mengangkang tetapi ada beberapa point himbauan yang tidak pernah diungkap media.
Adapun isi surat edaran tersebut :
Untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai budaya dan adat istiadat masyarakat aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai wujud upaya pemerintah kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka maka dengan ini pemerintah mengimbau kepada semua masyarakat di wilayah Lhokseumawe agar;
1. Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang) kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).
2. Di atas kendaraan baik sepeda motor, mobil, dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.
3. Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat Islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.
4. Kepada seluruh Geucik, imum mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swasta agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat.
Demikian imbauan ini kami sampaikan untuk dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dalam upaya menegakkan syariat Islam. (Lhokseumawe, 7 Januari 2013). (http://atjehpost.com)
Jika membaca keseluruhan seruan yang ditandatangani oleh empat tokoh Lhokseumawe itu, sesungguhnya lebih mengarah pada usaha membangun tata krama, sopan santun sembari menjaga adat masyarakat aceh yang bernafaskan Islam. Namun sangat disayangkan jika media (tertentu) begitu menggebu – gebu memberitakan peraturan ini secara parsial, hanya perihal larangan duduk mengangkan tanpa memberitakan secara utuh seruan ini.
Hebohnya, sejumlah media lebih suka mengutip pendapat pihak yang kontra daripada suara yang pro. Seakan ada upaya menyudutkan syariat Islam yang diformalisasikan menjadi hukum positif dengan menggambarkan aturan Islam melanggar kebebasan, mengekang perempuan, menodai HAM, mencederai demokrasi dst. Pihak mediapun relatif diuntungkan dengan kontroversi ini karena mereka mendapat berita yang bisa dijual. Namun disisi lain, ummat Islam jelas dirugikan dengan opini negatif yang berkembang dari isu ini.
Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) menilai, perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor dengan aurat terbuka atau tidak mengenakan pakaian muslimah, bisa meruntuhkan marwah seorang perempuan. “Kebijakan ini bisa mengembalikan marwah perempuan yang ada di Aceh, kalau yang di luar Aceh tidak ada problem. Berbicara marwah sangat tergantung pada daerah," katanya, dilansir Okezone, Kamis (3/1/2013)”.
Dari sisi agama, perempuan tetap diperbolehkan duduk terbuka atau ngangkang di sepeda motor asal jangan sampai terbuka auratnya dan tidak menciderai marwah seorang perempuan. “Sah-sah saja, asal aurat tetap terjaga, pakaian tetap sopan tidak menyerupai laki-laki, dan tidak menciderai marwah perempuan itu sendiri," ujar Faisal yang juga Ketua PW Nahdatul Ulama Aceh.
Syariat Islam dan Sistem Islam
Terlepas dari pro dan kontra atas kebijakan ini, namun selayaknya kita memberi apresiasi terhadap ghirah pimpinan, tokoh dan masyarakat Aceh yang ingin melestarikan dan mengamalkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Namun semangat penegakan Islam ini menemui dilema menghadapi sistem demokrasi yang sedang berjalan saat ini. Sistem ini menampakkan wajah hipokritnya (munafiq). Pada satu sisi demokrasi mengagungkan kebebasan berpendapat dan mengakui kebebasan beragama, tapi di sisi lain saat ummat Islam ingin melaksanakan syariat agamanya, penentangan dari para pejuang demokrasi datang bertubi – tubi.
Inilah fakta bahwa sistem sejalan dengan syariatnya. Jika tidak seiring maka tidak akan terlihat maslahatnya. Syariat Islam akan dapat diterapkan secara sempurna hanya dalam sistem Islam, tidak dalam sistem demokrasi jahiliyah. Demikian pula aturan-aturan kufur jelas tidak bisa (baca: tidak boleh) diterapkan dalam sistem Islam. Oleh karena itu, perlu dievaluasi kembali aturan-aturan / syariat Islam yang dinukil oleh sebagian kaum muslimin saat ini, yang kemudian diterapkan di negerinya masing-masing. Apakah sistemnya sudah Islami atau belum ?!
Sesungguhnya sistem Islam belum ada yang menerapkan saat ini. Oleh karenanya, jika saat ini ada syariat Islam yang diterapkan, berarti masih “salah tempat” sehingga efek masalahat yang ditimbulkannya tidak optimal, bahkan jika terjadi kegagalan akan menjadi makanan empuk aktivis anti Islam untuk menyerang Islam.
Tempat inilah yang harus dirubah menjadi tempat yang memiliki sistem Islam. Jika tempatnya belum dirubah maka indahnya syariat Islam tidak akan bisa terlihat. Semisal syariat menutup aurotnya wanita menjadi polemik yang tidak pernah berakhir. Padahal ayat dan hadits yang menjelaskan tentang ini sangat jelas..
Di beberapa Negara lain, termasuk Negara-negara maju, peraturan mengenai hal-hal teknis seperti ini tidak ada persoalan. Misal seperti Singapura yang melarang memelihara kucing bagi penduduknya, melarang penjualan permen karet. Ataupun semisal Inggris yang tak boleh menampilkan dua jari (victory) yang disana dianggap menghina.
Misal ketika di Amerika ada aturan yang apabila ada orang yang menyapa orang lain sambil mengupil maka hal itu bisa dipidanakan, misal juga ketika seseorang di Amerika menampilkan ekspresi jari yang dianggap melecehkan, misal juga sebuah maskapai penerbangan di New Zealand yang tak membolehkan penumpangan mengenakan celana kendor dan apabila mengenakannya akan diturunkan dari pesawat. Itu semua negara maju dan tak ada yang protes serta meributkan.
Mengapa masalah mengangkang mencuat? Ini adalah berita yang cukup menarik dan menjadi santapan empuk para feminis untuk mencoba menampar hukum Islam. Oleh karena itu kaum muslimin jangan terkecoh dengan pendapat mereka. Islam sudah memberikan aturan yang indah, mudah dan baik untuk manusia.
Menutup aurot
Pro dan kontra terhadap himbauan larangan mengangkang dari pemerintah kota Lhoksuemawe itu semestinya tidak terjadi, masih banyak PR negeri ini yang belum dikerjakan. Apalagi bahasan larangan mengangkang itu tidak diikuti dengan bahasan item-iten seruan yang lain. Aktifitas berpelukan, berpegangang dengan lawan jenis yang tidak halal jelas merupakan perbuatan dosa. Termasuk juga membuka aurot didepan umum juga tidak dibolehkan (baca: haram) dalam Islam.
Secara fiqih, memang harus lebih di kaji apakah duduk menyamping itu adalah wajib atau mubah, mengingat alasan dari pemberlakukan duduk secara menyamping tersebut salah satunya adalah agar tidak membentuk lekuk tubuh wanita. Karena faktanya duduk secara mengangkang tersebut secara syar’I dalam kondisi tertentu adalah boleh (baca : mubah) sebagaimana pada masa Rasul SAW dan Sahabat ketika seorang wanita duduk di unta (atau keledai dan kuda) dengan posisi duduk mengangkang tidak menyamping penuh, kemudian kebolehan tersebut juga dengan catatan bahwa wanita tersebut tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya, artinya pakaian yang dikenakan itu harus bisa menutupi lekuk tubuhnya.
Karena faktanya, orang yang duduk secara menyamping pun lekuk tubuhnya masih tetap terlihat. Artinya, harus kembali kepada fiqih bagaimana hukum busana muslimah ketika berada di kehidupan umum, yakni dengan memakain jilbab (gamis) dan khimar (kerudung).
Menutup aurot adalah kewajiban bagi kaum muslimin. Terkhusus bagi muslimah dengan aturan yang sudah ditentukan dalam Al Qur’an dan As sunnah. Kewajiban memakai Jilbab tertera dalam ayat, ”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. Al Ahzab : 59).
Dalam catatan kaki terjemahan al qur’an disebutkan bahwa makna jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Sementara di TQS An Nur : 31 disebutkan,“katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya. Dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari pandangan dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”.
Diriwayatkan dari Aisyah ra. Bahwa Asma binti Abu Bakar masuk kedalam rumah nabi saw. Dengan memakai pakaian tipis. Lalu nabi berpaling darinya seraya bersabda : ”Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu apabila telah mencapai usia baligh tidak boleh menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya mengisyaratkan kepada muka dan kedua telapak tangan)”. (HR. Abu Dawud).
Beberapa dalil diatas sudah jelas, bahwa Allah dan Rosul-Nya telah memerintahkan wanita untuk menutup aurotnya dengan syarat tertentu, diantaranya :
1. Menutupi seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan,
2. Kain harus tebal, tidak transparan,
3. Harus longgar dan tidak ketat, tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh, tidak diberi wewangingan yang sampai tercium laki-laki ajnab, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan menutup aurot, bukan karena riya’ dan bukan perhiasan.
Inilah yang harus dilakukan oleh para muslimah agar ke-iffah-annya terjaga. Sedangkan mengangkang atau tidak bisa dipilih asalkan hukum menutup aurot yang benar telah dilakukan. Dan jika tidak menutup aurot meskipun tidak mengangkang, tetap tidak dibenarkan.
Menyiapkan Masyarakat Menerima Syariat
Masyarakat yang didalamnya akan diterapkan sejumlah aturan-aturan dari sebuah ideologi tertentu, maka masyarakat tersebut harus dipersiapkan keyakinan terhadap ideologi dan kebenaran aturan-aturannya. Ketika masyarakat belum memiliki pemahaman dan keyakinan terhadapnya bisa jadi mereka akan menolak aturan-aturan itu, termasuk dalam hal ini syariat Islam.
Syariat Islam akan bisa diterapkan ditengah-tengah masyarakat dengan sempurna jika mereka sudah siap menerimanya. Kesiapan penerimaan itu diawali dengan keyakinan penuh mereka pada aqidah Islam dan merasakan indahnya syariat Islam ketika dilaksanakan dalam kehidupan, serta kepasrahan untuk tunduk terhadap hukum-hukum Islam. Kemudian rela dan menginginkan agar syariat itu diterapkan pada diri mereka.
Namun, ketika aqidah Islam itu belum dipeluk dengan benar oleh masyarakat kemudian syariat itu dengan serta merta diterapkan pada mereka, maka terjadi resistensi berupa protes, kritik, dsb. Apalagi berkaitan dengan aturan yang sangat teknis sekali yang tidak ada dalil tegas dalam syariat. Aturan teknis bisa saja diterapkan oleh seorang pemimpin jika hal itu dipandang perlu untuk mengatur kehidupan bermasyarakat asalkan tidak bertentangan dengan syariat secara umum.
Oleh karena itu pembinaan ummat melalui dakwah Islami yang intens kepada masyarakat harus terus dilakukan sampai ummat siap lahir batin untuk menerima aturan-aturan Islam sebelum syariat dan system islam dapat ditegakkan dengan kaffah. InsyaaLLah.
Wallahu a’lam bish-showab.
1 komentar:
aurat itu emang wajib ditutup..krn itu perintah dari Allah
Posting Komentar