Senin, 13 Mei 2013

Mengelola BBM Secara Islam

Beberapa waktu terakhir mulai ramai aksi-aksi menentang rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Di berbagai daerah muncul berbagai aksi, mulai demonstrasi sampai aksi mogok makan. Rencana kenaikan BBM tahun ini sebenarnya sudah berhembus lama. Ada opsi pembatasan penjualan BBM bersubsisi, dari penerapan dua harga BBM bersubsidi, sampai yang terakhir akan dilakukan kenaikan BBM bersubsidi secara keseluruhan.



Berbagai alasan muncul atas rencana ini, pemerintah memberikan asumsi bahwa rencana kenaikan BBM ini merupakan sebuah keharusan untuk mengamankan APBN Tahun 2013, terutama terkait defisit anggaran yang disebabkan melonjaknya subsidi BBM.

Fakta ini membuat kita berpikir dan bertanya, bagaimana sebenarnya Negara mengelola kebutuhan BBM masyarakat?, sebenarnya Negara mampu atau tidak mengelola kebutuhan BBM masyarakat, dan bagaimana seharusnya Negara memenuhi kebutuhan BBM rakyat?



Mengelola BBM Salah Kaprah

Pengelolaan BBM di negeri ini sejak awal memang salah kaprah. Kesalahkaprahan itu berawal dari produksi hingga distribusinya. Dalam hal produksi, seolah kebutuhan minyak tidak mampu dipenuhi oleh hasil produksi dalam negeri. Tidak mampu dipenuhinya produksi dalam negeri ini, apakah kandungan minyak yang semakin berkurang atau kesengajaan untuk bisa memainkan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional?

Padahal menurut laporan BPS, Produksi minyak Indonesia 1996 sudah mampu mencapai kapasitas 1,580 Juta barel/ hari, sedangkan kebutuhan BBM dirata-rata tiap hari kurang lebih 1,3 juta barel/hari. Sementara produksi saat ini berkisar 800 ribu barel per hari, sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM negara ”harus” mengimpor BBM paling tidak 500 ribu barel per hari (Inilah.com).

Meskipun tanpa mempermasalahkan proses produksi dalam negeri, kita dapat memperkirakan harga BBM yang pantas di masyarakat. Menurut Kwik Kwian Giew, biaya produksi BBM rata-rata di Indonesia sebenarnya hanya mencapai US$ 10 per Barel atau sekitar Rp. 600,- per liter. Dengan mengasumsikan harga minyak internasional US$ 100/barel dengan kebutuhan impor sebesar 500 ribu barel dan produksi dalam negeri 800 ribu barel maka harga BBM seharusnya tidak lebih dari Rp. 3.000,-/ liter.

Jika saat ini pemerintah menjual BBM dengan harga Rp. 4.500,-/liter, berarti sudah mendapatkan keuntungan dan tanpa adanya subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah, dan bahkan tidak memerlukan hutang luar negeri, semuanya bisa dibayar jika pengelolaan BBM tidak salah urus.

Kondisi ini tentunya membuat kita heran, bagaimana pemerintah melakukan penghitungan harga BBM? Apakah hanya mendasarkan harga BBM mengikuti harga pasar internasional? Jika demikian adanya, maka asumsi penurunan kuota produksi dalam negeri bisa jadi hanyalah sebuah ”kedok” untuk mengikuti kepentingan Kapitalisme yang mengharuskan BBM mengikuti harga pasar dengan dalih pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Jika pemerintah Indonesia sekarang betul-betul ingin mengelola BBM produksi sendiri di dalam negeri, tanpa export dan tanpa import, pasti dapat mengendalikan harga secara baik tanpa didikte oleh para spekulan dan tanpa pengaruh jatuhnya nilai dolar Amerika. Tentunya pemerintah harus mengembalikan kapasitas produksi BBM seperti semula atau bahkan memperbesar lagi kapasitas produksi agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Minimnya kemampuan produksi di dalam negeri, disebabkan Pertamina kurang berperan dalam produksi, bahkan menurut Kwik Kian Giew, Pertamina hanya menangani 10 % produksi minyak Indonesia, sedangkan sisanya 90 %, ditangani perusahaan asing, seperti Exon Mobile, Caltex dll. Akibatnya, Negara dipaksa oleh jeratan global - yang dibuat sendiri oleh pemerintah - agar menjadikan harga minyak mengikuti harga pasar Internasional.

Padahal jika pemerintah mampu melepaskan diri dari kekuasaan asing dalam pengelolaan minyak, dengan pengelolaan BBM ditangani sendiri oleh pemerintah mulai dari awal pengeboran sampai pemasaran dan segala sesuatu yang terkait dengan pengelolaan BBM seperti penelitian, permodalan dan menegemen dst, maka apa yang disebut ekonomi biaya tinggi tidak akan terjadi.

Subsidi dapat dihilangkan total, dan keuntungan diraih lebih dari biaya produksi. Rakyatpun tidak terkena akibat dari kenaikkan harga kebutuhan, sebagai imbas melonjaknya harga BBM yang tidak terkendali dengan baik. Keuntungan ini belum dilihat jika Negara mampu mengekspor BBM dengan harga internasional yang saat ini mencapai 100 US dollar/barel.

Masalah selanjutnya, yaitu menyangkut pemilikan dan cara penjualan. BBM dijual murah atau dijual mengikuti harga pasar dunia, harus ditanyakan kepada rakyat dan diputuskan langsung oleh rakyat, bukan diputusi DPR dan Pemerintah. Caranya, melalui referendum atau apapun namanya, yang penting cara itu dapat menghantarkan keputusan rakyat secara langsung tanpa diwakili. Apapun opsinya, semua itu harus ditanyakan dan diputuskan langsung oleh mayoritas rakyat, tanpa diwakili.

DPR dan Pemerintah tidak berhak bertindak sebagai pemilik, atau mengklaim telah mewakili suara rakyat, karena mereka dipilih oleh rakyat. Disamping itu, apakah DPR telah menyampaikan suara konstituen mereka dalam topik kenaikan BBM?. Ada dua hal penting dalam masalah BBM untuk ditinjau kembali, yaitu pertama masalah cara pengelolaan BBM dan segala sesuatu yang terkait. Yang kedua masalah hasil penjualan BBM harus kembali menjadi milik rakyat.



Menyangkut cara pengelolaan BBM, hendaknya mengikuti pendapat mayoritas rakyat langsung, karena rakyat adalah pemiliknya. DPR dan pemerintah hanya dapat memberikan opsi, sedangkan keputusannya langsung oleh rakyat dengan suara mayoritas. Misalnya, pemerintah dan DPR menawarkan tiga opsi harga pasar premium, Rp. 6.500,- per liter, atau dijual dengan biaya produksi saja Rp. 600,- per liter (dengan perhitungan harga minyak mentah Rp 0,- per liter karena milik sendiri). Atau dijual Rp. 3.000,- per liter. Setelah itu dimintakan putusan rakyat langsung dengan suara mayoritas.

Cara yang Islami ini juga akan membuktikan keterwakilan aspirasi, sekaligus membongkar manipulasi aspirasi. Dari sana akan dapat dibuktikan, sebenarnya siapa yang mewakili suara rakyat, para pendemo penentang kenaikan BBM, atau suara DPR. Dan bahkan dapat dipakai untuk membuktikan pengkhianatan para wakil rakyat terhadap konstituen mereka sendiri, jika terbukti suara mayoritas rakyat menolak kenaikan harga BBM. Tetapi jika mayoritas rakyat ternyata menghendaki kenaikan harga BBM, berarti DPR telah bekerja mewakili rakyat konstituen mereka. Semua itu harus dibuktikan dahulu melalui pengambilan pendapat mayoritas rakyat langsung.

Yang kedua, mengenai hasil penjualan BBM, harus dikembalikan untuk membayar anggaran belanja sarana umum, tidak boleh untuk lainnya. Yaitu untuk membiayai pembangunan sarana umum, seperti jalan, terminal, pelabuhan, bandara, kampus perguruan tinggi, gedung pendidikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya yang termasuk sarana umum. Tidak boleh diberikan kepada para konglomerat sebagai milik privat. Semua hasil penjualan BBM harus dikembalikan untuk biaya kebutuhan umum rakyat, baik untuk orang miskin maupun orang kaya.



Mengelola Kepemilikan Umum (BBM) Untuk Rakyat

Semua kekayaan yang dihimpun dalam kas negara tidak berupa satu macam pemilikan, adakalanya merupakan milik negara, seperti pajak; dan ada pula merupakan milik umum rakyat, seperti tambang. Ada harta yang memang khusus untuk sarana umum dan kebutuhan pokok umum rakyat, seperti harta milik umum: semua jenis tambang dsb. Ada harta yang keperuntukannya untuk anggaran penyelenggaraan pemerintahan, seperti gaji pegawai Negara, harta pajak dan sebagainya. Demikian juga harta yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang miskin, memiliki sumber anggaran tersendiri yang ditetapkan secara hukum. Oleh karena itu, setiap kekayaan yang dihimpun dalam kas negara harus dirinci jenis pemilikannya dan hukum penggunaanya.

Orang-orang miskin dalam pandangan hukum Islam memang memiliki hak pemilikan dari suatu jenis kekayaan yang dihimpun oleh negara, seperti harta milik umum, seperti BBM dsb. Jadi, jika diberikan bagian pemilikannya kapada orang miskin, berarti mereka sedang menerima hak miliknya sendiri. Orang menerima hak pemilikannya sendiri tidak boleh diganggu, diejek, diremehkan diplintir dsb. Justru yang harus dididik adalah para pejabat negara yang tidak tahu hak milik orang miskin yang harus diserahkan kepada masyarakat, baik diminta maupun tidak.

Tidak boleh ada kecemburuan sosial bagi orang-orang kaya dan miskin. Tidak boleh menjadikan akidah komunis dalam masalah rizki (tidak makan jika tidak kerja) sebagai strategi untuk menghina orang miskin dalam menerima pemberian Negara secara langsung atas hak mereka sendiri, bukan sekedar bantuan. Kaum Kaya tidak boleh pura-pura lupa bahwa mereka lahir diberi harta oleh orang tua mereka, bukan hasil kerja sendiri.

Tidak boleh berdalih hukum pasar syari’at Kapitalis telah adil, karena telah memberi kesempatan yang sama bagi semua rakyat (dengan segala jurang perbedaan kemampuan). Memperlakukan sama (persaingan terbuka) terhadap rakyat yang memiliki beragam kelemahan menghadapi sebagian lain yang memiliki beragam kekuatan, adalah kedzaliman, bukan keadilan !. Itulah mengapa Allah memerintahkan adanya beredarnya harta kepada seluruh individu tidak kepada sekelompok orang saja. Sebagaimana firman-Nya: ”Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS. al-Hasyr: 7)

Semua kekayaan dalam kas Negara, termasuk dana hasil pengelolaan barang tambang (BBM dll) adalah khusus untuk anggaran kebutuhan pokok umum rakyat, meliputi pendidikan, kesehatan dan sarana umum. Kebutuhan pokok pendidikan, meliputi: membangun sekolahan, perguruan tinggi dan segala sesuatu yang terkait dengan pembiayaan pendidikan.

Kebutuhan pokok kesehatan meliputi pembangunan rumah sakit dan segala sesuatu yang terkait dengan biaya kesehatan rakyat, termasuk didalamnya biaya berbagai riset kedokteran dan farmasi. Sedangkan kebutuhan sarana umum menyangkut sarana peribadatan: masjid dll, sarana transportasi, dan sarana kehidupan lainnya yang dibenarkan secara hukum. Sebagai gambaran sarana transportasi, meliputi pembangunan jalan raya, bandara, pelabuhan, terminal, perkereta apian: baik gerbong, stasiun maupun segala sesuatu yang terkait dengannya.

Hal ini disebabkan BBM adalah milik umum rakyat, dan penggunaannya juga telah ditetapkan untuk kebutuhan pokok dan sarana umum. Demikian juga semua barang tambang selain BBM, seperti: emas, baja, uranium dsb, harus dikembalikan kepada rakyat dan tidak boleh dimiliki sebagai pemilikan pribadi para konglomerat kapitalis Borjuis dan tidak boleh diselewengkan di luar ketentuan hukum pemilikan dan hukum penggunaannya, karena BBM dan semua jenis barang tambang adalah milik umum.



Khatimah

Dengan pengelolaan yang benar, BBM akan dinikmati oleh yang berhak untuk menikmatinya yaitu rakyat. Tidak perlu lagi muncul pertanyaan tentang BBM itu sebenarnya milik siapa? Semuanya terjawab dengan mudah bahwa BBM dan bahan tambang adalah milik umum yang harus diberikan kepemilikannya kepada pemilikan umum. Oleh karena itu : Pertama, Keputusan tentang harga dan proses penjualannya adalah hak mayoritas rakyat, bukan hak pemerintah dan DPR. Kedua, Hasil penjualan harus dipakai untuk sarana umum, bukan lainnya.

Dua hal itulah yang menjadi bentuk pemilikan umum, bukan milik pribadi pemegang saham sebagaimana syari’at Kapitalis, bukan pula menjadi milik Negara sebagaimana syari’at Sosialis Komunis. BBM milik siapa? Jawabnya adalah BBM milik umum, sebagaimana yang telah disyari’atkan oleh Allah swt, Pencipta manusia, alam, kehidupan dan tentunya yang menciptakan semua barang tambang termasuk BBM.

Wallahu a’lamu bishawab.

0 komentar:

Posting Komentar