Kasus - kasus korupsi telah banyak terjadi di Negeri ini. Berdasarkan penilaian Transparency International, melalui penerbitan Coruption Perception Index (CPI) tahun 2012, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah kasus korupsi terbanyak, pada urutan keempat dari Negara-negara di seluruh dunia. Hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sepertinya tidak membuat jera para pelaku korupsi untuk terus melakukan korupsi. Semakin hari kasus korupsi bukan semakin sedikit, tetapi sebaliknya, semakin bertambah banyak.
Korupsi tidak hanya terjadi dikalangan para pejabat pemerintahan pusat, tetapi juga pejabat pemerintahan di daerah. Sistem yang tidak sesuai dengan syariat Islam menjadi salah satu penyebab banyaknya korupsi yang terjadi. Seseorang yang ingin menjadi pejabat publik, seringkali harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit.
Dalam penelitian disertasi doktor Pramono Anung, berjudul “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen”, biaya yang dikeluarkan caleg pada Pemilu 2009 rata – rata sebesar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar. Akibatnya, saat terpilih banyak pejabat publik yang berusaha untuk mengembalikan “Political Cost” yang telah dikeluarkannya. Berbagai cara dilakukan untuk mengembalikan modal menjadi pejabat publik sehingga seringkali melewati batas halal haram.
Begitu “gemasnya” masyarakat terhadap prilaku korupsi sehingga banyak usulan sanksi terhadap pelaku pidana korupsi dengan harapan korupsi dapat diredam. Ada yang mengusulkan koruptor dihukum seberat – beratnya, bukan seadil – adilnya.
Ada yang mengusulkan hukuman mati sebagai shoch therapy, sebagaimana hukuman bagi koruptor di China. Ada pula yang menginginkan agar para koruptor dimiskinkan dan disita hartanya. Perlukah koruptor dibuat miskin? Tulisan ini mencoba memberi sedikit pembahasan perspektif Islam mengenai penanganan harta para koruptor.
Perspektif Islam
Al Baghdadi dalam Hukmul Islam fi Malil Ghulul minal Hukkam wa Muwadhafid menyatakan bahwa kekayaan gelap adalah kekayaan yang diperoleh para penguasa secara tidak sah, baik kekayaan itu berasal dari kekayaan Negara maupun kekayaan penduduk. Penghasilan yang sah bagi pejabat atau pegawai negara adalah penghasilan yang telah ditetapkan oleh Negara bagi mereka.
Islam telah mengatur bahwa Al Hakim (Penguasa / Pejabat Negara) dalam Islam, seperti Khalifah, Muawwin tafwidh serta wali bertugas sepenuhnya melayani rakyat. Khalifah, Muawwin tafwidh serta wali tidak ada waktu untuk membuka usaha atau pekerjaan sampingan lain untuk menafkahi keluarganya. Untuk itu dalam "An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam" disebutkan bahwa Al Hakim berhak atas ta'wîdh (santunan / kompensasi) untuk menafkahi diri dan keluarganya. Hal ini diberlakukan sejak masa Khalifah Abu Bakar As Shidiq.
Diriwayatkan oleh lbnu Saad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar ra yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, Anda mau kemana, hai Khalifah? Abu Bakar menjawab, Ke pasar. Umar berkata, Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?
Abu Bakar menjawab, Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku? Umar berkata, Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu. Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
Adapun para pelayan publik lain yang tidak termasuk sebagai al hakim (penguasa) seperti jihazul idari maka statusnya adalah ijaroh dan dia akan mendapatkan gaji sesuai dengan aqad tugasnya. Dalam Islam, para pelayan publik dari unsur ahkam ataupun yang lain tidak diperbolehkan menerima uang atau barang sehubungan dengan tugasnya diluar yang telah diberikan Negara untuk mereka (gratifikasi).
Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berasal dari buraidah : ”Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (imbalan), maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).
Sementara dalam QS. Al Imran : 161 Allah swt berfirman yang artinya, ”Barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya, kemudian setiap orang menerima balasan setimpal atas segala yang dilakukannya, dan mereka tidak diperlakukan secara dhalim.”
Aturan yang sedemikian ini untuk memudahkan mengantisipasi tindakan korupsi, dengan melihat gambaran penghasilan seorang pejabat publik akan sangat mudah untuk mendeteksi jika seorang melakukan tindakan korupsi.
Pada masa Umar bin Khattab, beliau senantiasa menghitung dan mencatat harta kekayaan seseorang sebelum ia diangkat sebagai pejabat. Penghitungan dan pencatatan kembali dilakukan ketika mereka mengakhiri masa jabatannya. Jika terbukti terdapat selisih harta yang dimiliki dengan jumlah gaji / kompensasi kerja yang seharusnya diterimanya ketika jabatannya berakhir maka pejabat yang bersangkutan harus membuktikan bahwa hartanya itu didapat dengan cara yang halal dan milik pribadinya.
Jika harta tersebut merupakan terkategori harta hasil korupsi atau harta kekayaan gelap yang berasal dari harta negara atau harta penduduk maka harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya diketahui. Namun jika harta korupsi tersebut tidak diketahui pemiliknya maka akan dimasukkan ke baitul mal.
Tindakan tegas bukan hanya diperuntukan kepada para pejabat publik namun juga kepada anggota keluarga pejabat publik yang memanfaatkan akses terhadap fasilitas negara. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab hendak menyita harta sahabat Abu Bakrah. Namun Abu Bakrah melawan seraya berkata,”Aku tidak bekerja pada anda!”. Khalifah Umar menjawab, “Ya, tapi saudaramu bekerja sebagai pengurus Baitul Maal dan bagi hasil tanah garapan di Ubullah (suatu tempat di Basrah, Irak), ia meminjamkan uang (dari Baitul Maal) kepadamu untuk berdagang!”. Umar kemudian menyita harta Abu Bakrah senilai 10.000 dinar (kurang lebih 10.000 X 2.250.000 = Rp. 22.500.000.000,-). Dana tersebut dibagi dua, Abu Bakrah mengambil sebagian dan sebagian lagi dikembalikan ke Baitul Maal.
Bahkan kholifah Umar Bin Khottob tidak segan bertindak tegas pada anggota keluarganya. Seperti kisah Ibnu Umar yang memilki domba kemudian domba tersebut digembala di padang rumput milik baitul mal. Saat hal itu terdengar oleh kholifah Umar, Beliau memutuskan domba itu disita, separoh harga domba dikembalikan pada putranya (Ibnu Umar) dan sisanya dikembalikan ke baitul mal karena domba tersebut di gembala di padang rumput milik negara (Baitul Maal).
Demikianlah para khalifah dalam hal mengurusi harta Negara, mereka benar-benar berhati-hati dalam mengurus uang umat. Sudah sepatutnya kisah mereka ini menjadi contoh buat kaum muslimin saat ini. Hal ini dikarenakan ijtihad para sahabat khulafaurrasyidin merupakan bagian dari ijma’ sahabat yang merupakan bagian dari sumber hukum Islam. Hukum dari siapa lagikah yang patut kita gunakan selain dari hukum Allah.
Firman Allah dalam Al Quran : “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (TQS. Al maidah: 49).
Dalam firman-Nya yang lain disebutkan : “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al maidah: 50)
Teladan Para Pemimpin Ummat Islam
Kehati – hatian dalam mengelola dan memanfaatkan harta milik ummat benar – benar ditunjukkan oleh para pemimpin ummat Islam di generasi terdahulu. Sikap mulia yang didasarkan pada niat untuk menegakkan amanah kepemimpinan sesuai dengan Hukum Allah swt sehingga mampu mengantarkan ummat ke masa kegemilangannya.
Sebagaimana ditunjukkan Khalifah Abu Bakar, Menjelang ajalnya tiba, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Mal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8.000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang datang setelahnya. Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya
Khalifah Umar bin Khatabpun tidak kalah hati – hatinya dalam menggunakan uang rakyat. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.
Khalifah ke-8 Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M) membuat langkah – langkah riil demi kebersihan harta miliknya maupun milik Ummat. Beliau membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Bahkan dikisahkan beliau rela melepaskan harta kekayaan milik pribadinya yang senilai sekitar 40.000 dinar setahun (setara 40.000 x Rp. 2.250.000 = Rp. 90.000.000.000,-,) ke Baitul Mal. Padahal Harta tersebut adalah harta sah miliknya yang diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan.
Khatimah
Demikianlah tauladan kesederhanaan para pemimpin dalam sistem Islami. Mereka adalah para pemimpin yang faqih dalam agama, memiliki keimanan yang kokoh terhadap akhirat. Cakap dalam memimpin dan memberi tauladan kepada para pegawai dan pejabat di bawahnya beserta segenap rakyatnya.
Beliau juga adalah orang yang hati – hati dalam mengelola dan menjaga harta ummat. Meraka bertindak tegas pada pejabat atau pegawai yang tidak amanah mengelola harta negara. Mereka berusaha memastikan bahwa kepemilikan harta benar – benar diberikan pada yang berhak. Jika ada pejabat publik yang memiliki kekayaan gelap, maka diperintahkan harta itu dikembalikan kepada yang berhak jika bisa ditemukan pemilik yang sah. Namun jika tidak pemilik yang sebenarnya, maka harta tersebut dikembalikan ke Baitul Maal.
Jika ummat Islam hari ini mau menegakkan Hukum Syara secara kaffah dan mau memilih pemimpin yang amanah serta menjalankan Hukum Allah dan Rasul-Nya, InsyaaLLah ummat islam akan kembali mencapai masa kejayaan dan kesejahteraannya.
Wallahua’lam bisshowab.
Dalam penelitian disertasi doktor Pramono Anung, berjudul “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen”, biaya yang dikeluarkan caleg pada Pemilu 2009 rata – rata sebesar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar. Akibatnya, saat terpilih banyak pejabat publik yang berusaha untuk mengembalikan “Political Cost” yang telah dikeluarkannya. Berbagai cara dilakukan untuk mengembalikan modal menjadi pejabat publik sehingga seringkali melewati batas halal haram.
Begitu “gemasnya” masyarakat terhadap prilaku korupsi sehingga banyak usulan sanksi terhadap pelaku pidana korupsi dengan harapan korupsi dapat diredam. Ada yang mengusulkan koruptor dihukum seberat – beratnya, bukan seadil – adilnya.
Ada yang mengusulkan hukuman mati sebagai shoch therapy, sebagaimana hukuman bagi koruptor di China. Ada pula yang menginginkan agar para koruptor dimiskinkan dan disita hartanya. Perlukah koruptor dibuat miskin? Tulisan ini mencoba memberi sedikit pembahasan perspektif Islam mengenai penanganan harta para koruptor.
Perspektif Islam
Al Baghdadi dalam Hukmul Islam fi Malil Ghulul minal Hukkam wa Muwadhafid menyatakan bahwa kekayaan gelap adalah kekayaan yang diperoleh para penguasa secara tidak sah, baik kekayaan itu berasal dari kekayaan Negara maupun kekayaan penduduk. Penghasilan yang sah bagi pejabat atau pegawai negara adalah penghasilan yang telah ditetapkan oleh Negara bagi mereka.
Islam telah mengatur bahwa Al Hakim (Penguasa / Pejabat Negara) dalam Islam, seperti Khalifah, Muawwin tafwidh serta wali bertugas sepenuhnya melayani rakyat. Khalifah, Muawwin tafwidh serta wali tidak ada waktu untuk membuka usaha atau pekerjaan sampingan lain untuk menafkahi keluarganya. Untuk itu dalam "An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam" disebutkan bahwa Al Hakim berhak atas ta'wîdh (santunan / kompensasi) untuk menafkahi diri dan keluarganya. Hal ini diberlakukan sejak masa Khalifah Abu Bakar As Shidiq.
Diriwayatkan oleh lbnu Saad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar ra yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, Anda mau kemana, hai Khalifah? Abu Bakar menjawab, Ke pasar. Umar berkata, Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?
Abu Bakar menjawab, Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku? Umar berkata, Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu. Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
Adapun para pelayan publik lain yang tidak termasuk sebagai al hakim (penguasa) seperti jihazul idari maka statusnya adalah ijaroh dan dia akan mendapatkan gaji sesuai dengan aqad tugasnya. Dalam Islam, para pelayan publik dari unsur ahkam ataupun yang lain tidak diperbolehkan menerima uang atau barang sehubungan dengan tugasnya diluar yang telah diberikan Negara untuk mereka (gratifikasi).
Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berasal dari buraidah : ”Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (imbalan), maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).
Sementara dalam QS. Al Imran : 161 Allah swt berfirman yang artinya, ”Barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya, kemudian setiap orang menerima balasan setimpal atas segala yang dilakukannya, dan mereka tidak diperlakukan secara dhalim.”
Aturan yang sedemikian ini untuk memudahkan mengantisipasi tindakan korupsi, dengan melihat gambaran penghasilan seorang pejabat publik akan sangat mudah untuk mendeteksi jika seorang melakukan tindakan korupsi.
Pada masa Umar bin Khattab, beliau senantiasa menghitung dan mencatat harta kekayaan seseorang sebelum ia diangkat sebagai pejabat. Penghitungan dan pencatatan kembali dilakukan ketika mereka mengakhiri masa jabatannya. Jika terbukti terdapat selisih harta yang dimiliki dengan jumlah gaji / kompensasi kerja yang seharusnya diterimanya ketika jabatannya berakhir maka pejabat yang bersangkutan harus membuktikan bahwa hartanya itu didapat dengan cara yang halal dan milik pribadinya.
Jika harta tersebut merupakan terkategori harta hasil korupsi atau harta kekayaan gelap yang berasal dari harta negara atau harta penduduk maka harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya diketahui. Namun jika harta korupsi tersebut tidak diketahui pemiliknya maka akan dimasukkan ke baitul mal.
Tindakan tegas bukan hanya diperuntukan kepada para pejabat publik namun juga kepada anggota keluarga pejabat publik yang memanfaatkan akses terhadap fasilitas negara. Suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab hendak menyita harta sahabat Abu Bakrah. Namun Abu Bakrah melawan seraya berkata,”Aku tidak bekerja pada anda!”. Khalifah Umar menjawab, “Ya, tapi saudaramu bekerja sebagai pengurus Baitul Maal dan bagi hasil tanah garapan di Ubullah (suatu tempat di Basrah, Irak), ia meminjamkan uang (dari Baitul Maal) kepadamu untuk berdagang!”. Umar kemudian menyita harta Abu Bakrah senilai 10.000 dinar (kurang lebih 10.000 X 2.250.000 = Rp. 22.500.000.000,-). Dana tersebut dibagi dua, Abu Bakrah mengambil sebagian dan sebagian lagi dikembalikan ke Baitul Maal.
Bahkan kholifah Umar Bin Khottob tidak segan bertindak tegas pada anggota keluarganya. Seperti kisah Ibnu Umar yang memilki domba kemudian domba tersebut digembala di padang rumput milik baitul mal. Saat hal itu terdengar oleh kholifah Umar, Beliau memutuskan domba itu disita, separoh harga domba dikembalikan pada putranya (Ibnu Umar) dan sisanya dikembalikan ke baitul mal karena domba tersebut di gembala di padang rumput milik negara (Baitul Maal).
Demikianlah para khalifah dalam hal mengurusi harta Negara, mereka benar-benar berhati-hati dalam mengurus uang umat. Sudah sepatutnya kisah mereka ini menjadi contoh buat kaum muslimin saat ini. Hal ini dikarenakan ijtihad para sahabat khulafaurrasyidin merupakan bagian dari ijma’ sahabat yang merupakan bagian dari sumber hukum Islam. Hukum dari siapa lagikah yang patut kita gunakan selain dari hukum Allah.
Firman Allah dalam Al Quran : “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (TQS. Al maidah: 49).
Dalam firman-Nya yang lain disebutkan : “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al maidah: 50)
Teladan Para Pemimpin Ummat Islam
Kehati – hatian dalam mengelola dan memanfaatkan harta milik ummat benar – benar ditunjukkan oleh para pemimpin ummat Islam di generasi terdahulu. Sikap mulia yang didasarkan pada niat untuk menegakkan amanah kepemimpinan sesuai dengan Hukum Allah swt sehingga mampu mengantarkan ummat ke masa kegemilangannya.
Sebagaimana ditunjukkan Khalifah Abu Bakar, Menjelang ajalnya tiba, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Mal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8.000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang datang setelahnya. Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya
Khalifah Umar bin Khatabpun tidak kalah hati – hatinya dalam menggunakan uang rakyat. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.
Khalifah ke-8 Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M) membuat langkah – langkah riil demi kebersihan harta miliknya maupun milik Ummat. Beliau membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Bahkan dikisahkan beliau rela melepaskan harta kekayaan milik pribadinya yang senilai sekitar 40.000 dinar setahun (setara 40.000 x Rp. 2.250.000 = Rp. 90.000.000.000,-,) ke Baitul Mal. Padahal Harta tersebut adalah harta sah miliknya yang diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan.
Khatimah
Demikianlah tauladan kesederhanaan para pemimpin dalam sistem Islami. Mereka adalah para pemimpin yang faqih dalam agama, memiliki keimanan yang kokoh terhadap akhirat. Cakap dalam memimpin dan memberi tauladan kepada para pegawai dan pejabat di bawahnya beserta segenap rakyatnya.
Beliau juga adalah orang yang hati – hati dalam mengelola dan menjaga harta ummat. Meraka bertindak tegas pada pejabat atau pegawai yang tidak amanah mengelola harta negara. Mereka berusaha memastikan bahwa kepemilikan harta benar – benar diberikan pada yang berhak. Jika ada pejabat publik yang memiliki kekayaan gelap, maka diperintahkan harta itu dikembalikan kepada yang berhak jika bisa ditemukan pemilik yang sah. Namun jika tidak pemilik yang sebenarnya, maka harta tersebut dikembalikan ke Baitul Maal.
Jika ummat Islam hari ini mau menegakkan Hukum Syara secara kaffah dan mau memilih pemimpin yang amanah serta menjalankan Hukum Allah dan Rasul-Nya, InsyaaLLah ummat islam akan kembali mencapai masa kejayaan dan kesejahteraannya.
Wallahua’lam bisshowab.
0 komentar:
Posting Komentar