Polemik perebutan tanah, baik antara masyarakat dengan pengusaha ataupun antara masyarakat dengan pemerintah, belakangan ini menyisakan berbagai persoalan, hingga akhirnya masyarakat menjadi korban. Seperti kasus penggusuran terhadap warga Kampung Srikandi RT 07/RW 03, Jatinegara Kaum, Pulo gadung, Jakarta Timur, dengan PT. Buana Estate yang merasa sebagai pemilik lahan.
Warga yang tidak terima dengan keadaan ini, sepakat menempuh jalur hokum, setelah menolak tawaran Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, untuk tinggal di Rusun Pinus Elok. Warga tersebut telah digusur dari rumahnya setelah Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan PT. Buana Estate sebagai pemilik lahan yang sah. Kamto selaku Sekretaris RT 07/RW 03, Kelurahan Jatinegara Kaum, merasa yakin bahwa warga dapat memenangkan kasus ini di pengadilan. "Kami optimistis menang karena mereka (PT Buana Estate) enggak sah," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (30/5/2013).
Demikian juga kasus rencana penggusuran tanah oleh Pemda DKI terhadap warga yang tinggal di kawasan waduk pluit. Rencana penggusuran ini, juga sempat diwarnai penolakan oleh warga, meskipun secara hukum tanah ini merupakan tanah Negara, dan akan dipergunakan untuk perluasan waduk sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan banjir di DKI.
Bahkan beberapa waktu lalu, sempat ada komentar pedas dari Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama, yang menyebut bahwa pihak-pihak yang merebut tanah yang bukan haknya sebagai komunis. “Kalau merebut lahan Negara, itu namanya otak orang komunis. Itu ingetin kita ke cerita komunis yang merampok tanah orang. Kita harus tegas. Saya tidak menuduh Anda komunis loh tapi kalau Anda meminta begitu berarti Anda otak komunis. Bukan hak Anda tapi dirampok,” kata Ahok di Mall Cipura, Jakarta Barat, Sabtu (11/5/2013).
Bagaimana pandangan Islam terkait masalah ini, dan bagaimana tanggung jawab Negara dalam menyelesaikan permasalahan ini?
Penyelesaian yang Berbeda
Pada kasus penggusuran di Kampung Srikandi RT 07/RW 03, Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur, antara masyarakat dengan PT. Buana Estate, maka harus dipastikan sebenarnya secara hukum, pihak mana yang benar. Apabila memang PT. Buana Estate merupakan pihak yang sah memiliki lahan, maka sudah seharusnya warga tidak boleh untuk mempergunakan lahan tersebut dan memang harus segera meninggalkan lahan.
Adapun hal-hal yang timbul akibat dari penggusuran, terutama bagi warga yang miskin maka Negara berkewajiban memberikan bantuan yang cukup. Misalnya menyediakan rumah secara gratis, baik itu berupa rusun atau apapun bentuknya, dan akses ke pekerjaan yang mudah, sehingga dampak penggusuran tidak akan menyusahkan rakyat miskin.
Akan tetapi, apabila yang salah adalah pengusaha, maka Negara wajib memaksa pengusaha tersebut untuk membangun kembali rumah-rumah warga yang telah dihancurkan, seperti keadaan semula. Dan juga harus dibawa ke pengadilan untuk diberikan sanksi atas tindakan yang merugikan banyak orang tersebut. Bahkan, pihak-pihak yang turut mendukung terjadinya kelalaian tersebut, baik itu dari pihak pengusaha maupun pihak pemerintah, yang dengan sengaja memberikan peluang terjadinya penggusuran harus diseret ke pengadilan, untuk dijatuhi sanksi.
Adapun untuk kasus warga Pluit, memang seharusnya masyarakat tidak dibolehkan untuk menduduki fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, apalagi itu waduk. Di sisi yang lain, pemerintah tidak dibenarkan menggusur masyarakat tanpa ada solusi yang jelas dan tepat. Untuk warga pluit yang kebanyakan merupakan masyarakat miskin, Negara melalui pemda DKI memberikan bantuan secara maksimal terhadap mereka yang mengalami penggusuran demi kepentingan umum. Misalnya memberikan rusun secara gratis, tidak menyewa.
Akibat lain dari penggusuran juga harus diberikan solusi oleh Negara, misal terkait pekerjaan, dan sebagainya. Jangan kemudian asal dikasih rusun, tanpa melihat persoalan lainnya sehingga bisa menimbulkan persoalan baru. Misalkan diberikan fasilitas antar jemput untuk masyarakat yang lokasi kerjanya jauh sehingga tidak dibebani masalah biaya transportasi. Atau karena akibat penggusuran ini masyarakat tidak bisa bekerja, maka Negara wajib menyediakan pekerjaan buat masyarakatnya. Atau bisa jadi disekitar rusun dibangun sarana kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Negara Wajib Memberikan Solusi Yang Paripurna
Dalam kaitan penggusuran ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh Negara/pemda DKI, pertama Negara wajib memberikan solusi yang paripurna terhadap problem masyarakat yang timbul akibat penggusuran, mulai dari rumah, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan yang lainnya. Bukan justru mencaci masyarakatnya dengan sebutan apapun semisal komunis.
Atau bahkan mengancam warga dengan tidak akan memberikan uang kerohiman. Suatu perbuatan yang tidak mencerminkan seorang penguasa yang pantas memimpin rakyatnya. Bahkan kalau dengan sengaja seorang penguasa menelantarkan rakyatnya, maka bisa dibawa ke pengadilan untuk diberikan sanksi. Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Kebutuhan pokok masyarakat terbagi 2, yaitu kebutuhan pokok individu sebagai manusia yaitu sandang, pangan, dan papan. Dimana untuk kebutuhan pokok masyarakat sebagai individu, maka hal tersebut tidak dijamin secara langsung oleh Negara. Maksudnya adalah, jika masih ada pihak keluarga inti yang masih bisa membantu, maka kebutuhan pokok tersebut akan dibebankan ke keluarga inti tersebut, akan tetapi, jika memang tidak ada baru menjadi tanggung jawab penuh Negara.
Sementara kebutuhan pokok individu sebagai bagian dari anggota masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka hal ini akan dijamin langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara. Dalam hal ini, yang dimaksud semua rakyat adalah tidak membedakan antara kaya, miskin, bangsawan, rakyat biasa, warna kulit, dll. Rasulullah Saw bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya : ,”Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu. “(HR Muslim).
Ketidakmampuan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, tentu menjadi urusan yang harus diselesaikan oleh negara. Negara tidak bisa lepas tangan dengan mengatakan ”tidak bisa berbuat apa-apa karena itu sengketa dengan swasta”. Posisi negara memang bukan dalam ranah untuk persoalan sengketa. Akan tetapi, apa yang harus dilakukan, ketika masyarakat mendapat keadaan yang tidak mampu, akibat adanya penggusuran.
Jangan sampai negara justru membiarkan atau mengalihkan tanggungjawab kepada pihak lain. Karena sesungguhnya, pemenuhan kebutuhan pokok sebagai individu memang awalnya menjadi kewajiban individu, jika tidak mampu, menjadi tanggungjawab keluarga, jika tidak mampu juga, maka hal itu menjadi tanggungjawab negara dengan berbagai macam solusi yang diberikan, apakah dengan bantuan secara langsung maupun dengan memberikan lapangan pekerjaan, jika yang bersangkutan masih mampu untuk bekerja.
Kedua, Negara harus mengusut secara tuntas atas terjadinya penyerobotan fasilitas umum, sebelum dilakukan penggusuran ini. Pihak-pihak yang dengan sengaja terlibat, baik itu penguasa (RT, RW, Lurah, Camat, dll), preman, bahkan pengguna-pun apabila terbukti menyalahgunakan fasilitas umum untuk keuntungan pribadi, maka wajib diseret ke pengadilan untuk dijatuhi sanksi yang tegas.
Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan efek jera, tidak adil jika hanya rakyat saja yang terkena imbasnya, akan tetapi pihak-pihak yang dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya tidak turut dikenai sanksi. Hal ini dikhawatirkan bisa terulang kembali, jika tidak ada sanksi yang tegas. Penegakan hukum atas tindakan kriminal semacam ini harus ditegakkan bagi siapapun. Tidak peduli apakah orang tidak mampu, orang kaya, penguasa atau yang lainnya.
Ketiga, karena Negara wajib memberikan solusi, maka Negara tidak boleh berpura-pura memberikan solusi kepada korban penggusuran. Seperti memberi rusun tapi harus bayar sewa. Itu merupakan bentuk kedzaliman penguasa. Sepertinya baik, tapi sebenarnya ini merupakan cara halus untuk mengusir masyarakat dan lepas dari tanggung jawab.
Coba bayangkan, apabila masyarakat yang diberi rusun harus menyewa, bagaimana kalau suatu saat mereka tidak punya kemampuan untuk membayar sewa. Pasti mereka akan diusir dari rusun tersebut. Suatu bentuk solusi yang setengah hati, kelihatannya saja baik, tapi tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas. Pemenuhan solusi harus berdasar pada penyelesaian yang riil, bukan hanya merupakan pelayanan kamuflase belaka. Tentunya masyarakat bisa melihat mana penguasa yang mampu untuk melayani rakyatnya, dan mana yang hanya berpura-pura untuk itu.
Ikhtitam
Persoalan penggusuran terhadap hak tanah tentu berkaitan dengan status kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah baik oleh individu, swasta, maupun negara harus senantiasa berpegang pada syariat Islam. Tidak berhak siapapun secara syara’ mengambil hak orang lain atas kepemilikan tanahnya, termasuk oleh negara. Negara tidak bisa juga sewenang-wenang untuk melakukan penggusuran terhadap rakyat dengan mengatas namakan kepentingan negara.
Hendaknya kita mengingat kisah seorang wali (Gubernur) pada zaman Umar bin Khatab yang akan melakukan penggusuran terhadap tanah seorang Yahudi dengan alasan untuk kepentingan negara. Umar bin Khatab yang mendengar hal tersebut, mengirimkan sebuah pesan kepada walinya yang membuatnya takut karena ketegasan Umar dalam menegakkan syariat secara sempurna, tidak memandang siapa orang atau individu itu.
Karena dalam Islam, semua warga negara harus diperlakukan sama dalam hal pelayanan, termasuk dalam penegakan hukum. Dengan demikian, Islam memposisikan penguasa yang harus memahami fungsinya dengan baik sebagai seorang pelayan, bukan pihak yang dilayani rakyat. Dan Islamlah yang sudah terbukti dapat menunjukkan kesempurnaan dan keteraturan kehidupan berdasarkan akidah dan hukum Islam.
Wallahu a’lamu bishawab.
Demikian juga kasus rencana penggusuran tanah oleh Pemda DKI terhadap warga yang tinggal di kawasan waduk pluit. Rencana penggusuran ini, juga sempat diwarnai penolakan oleh warga, meskipun secara hukum tanah ini merupakan tanah Negara, dan akan dipergunakan untuk perluasan waduk sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan banjir di DKI.
Bahkan beberapa waktu lalu, sempat ada komentar pedas dari Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama, yang menyebut bahwa pihak-pihak yang merebut tanah yang bukan haknya sebagai komunis. “Kalau merebut lahan Negara, itu namanya otak orang komunis. Itu ingetin kita ke cerita komunis yang merampok tanah orang. Kita harus tegas. Saya tidak menuduh Anda komunis loh tapi kalau Anda meminta begitu berarti Anda otak komunis. Bukan hak Anda tapi dirampok,” kata Ahok di Mall Cipura, Jakarta Barat, Sabtu (11/5/2013).
Bagaimana pandangan Islam terkait masalah ini, dan bagaimana tanggung jawab Negara dalam menyelesaikan permasalahan ini?
Penyelesaian yang Berbeda
Pada kasus penggusuran di Kampung Srikandi RT 07/RW 03, Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur, antara masyarakat dengan PT. Buana Estate, maka harus dipastikan sebenarnya secara hukum, pihak mana yang benar. Apabila memang PT. Buana Estate merupakan pihak yang sah memiliki lahan, maka sudah seharusnya warga tidak boleh untuk mempergunakan lahan tersebut dan memang harus segera meninggalkan lahan.
Adapun hal-hal yang timbul akibat dari penggusuran, terutama bagi warga yang miskin maka Negara berkewajiban memberikan bantuan yang cukup. Misalnya menyediakan rumah secara gratis, baik itu berupa rusun atau apapun bentuknya, dan akses ke pekerjaan yang mudah, sehingga dampak penggusuran tidak akan menyusahkan rakyat miskin.
Akan tetapi, apabila yang salah adalah pengusaha, maka Negara wajib memaksa pengusaha tersebut untuk membangun kembali rumah-rumah warga yang telah dihancurkan, seperti keadaan semula. Dan juga harus dibawa ke pengadilan untuk diberikan sanksi atas tindakan yang merugikan banyak orang tersebut. Bahkan, pihak-pihak yang turut mendukung terjadinya kelalaian tersebut, baik itu dari pihak pengusaha maupun pihak pemerintah, yang dengan sengaja memberikan peluang terjadinya penggusuran harus diseret ke pengadilan, untuk dijatuhi sanksi.
Adapun untuk kasus warga Pluit, memang seharusnya masyarakat tidak dibolehkan untuk menduduki fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, apalagi itu waduk. Di sisi yang lain, pemerintah tidak dibenarkan menggusur masyarakat tanpa ada solusi yang jelas dan tepat. Untuk warga pluit yang kebanyakan merupakan masyarakat miskin, Negara melalui pemda DKI memberikan bantuan secara maksimal terhadap mereka yang mengalami penggusuran demi kepentingan umum. Misalnya memberikan rusun secara gratis, tidak menyewa.
Akibat lain dari penggusuran juga harus diberikan solusi oleh Negara, misal terkait pekerjaan, dan sebagainya. Jangan kemudian asal dikasih rusun, tanpa melihat persoalan lainnya sehingga bisa menimbulkan persoalan baru. Misalkan diberikan fasilitas antar jemput untuk masyarakat yang lokasi kerjanya jauh sehingga tidak dibebani masalah biaya transportasi. Atau karena akibat penggusuran ini masyarakat tidak bisa bekerja, maka Negara wajib menyediakan pekerjaan buat masyarakatnya. Atau bisa jadi disekitar rusun dibangun sarana kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Negara Wajib Memberikan Solusi Yang Paripurna
Dalam kaitan penggusuran ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh Negara/pemda DKI, pertama Negara wajib memberikan solusi yang paripurna terhadap problem masyarakat yang timbul akibat penggusuran, mulai dari rumah, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan yang lainnya. Bukan justru mencaci masyarakatnya dengan sebutan apapun semisal komunis.
Atau bahkan mengancam warga dengan tidak akan memberikan uang kerohiman. Suatu perbuatan yang tidak mencerminkan seorang penguasa yang pantas memimpin rakyatnya. Bahkan kalau dengan sengaja seorang penguasa menelantarkan rakyatnya, maka bisa dibawa ke pengadilan untuk diberikan sanksi. Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Kebutuhan pokok masyarakat terbagi 2, yaitu kebutuhan pokok individu sebagai manusia yaitu sandang, pangan, dan papan. Dimana untuk kebutuhan pokok masyarakat sebagai individu, maka hal tersebut tidak dijamin secara langsung oleh Negara. Maksudnya adalah, jika masih ada pihak keluarga inti yang masih bisa membantu, maka kebutuhan pokok tersebut akan dibebankan ke keluarga inti tersebut, akan tetapi, jika memang tidak ada baru menjadi tanggung jawab penuh Negara.
Sementara kebutuhan pokok individu sebagai bagian dari anggota masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka hal ini akan dijamin langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara. Dalam hal ini, yang dimaksud semua rakyat adalah tidak membedakan antara kaya, miskin, bangsawan, rakyat biasa, warna kulit, dll. Rasulullah Saw bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya : ,”Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu. “(HR Muslim).
Ketidakmampuan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, tentu menjadi urusan yang harus diselesaikan oleh negara. Negara tidak bisa lepas tangan dengan mengatakan ”tidak bisa berbuat apa-apa karena itu sengketa dengan swasta”. Posisi negara memang bukan dalam ranah untuk persoalan sengketa. Akan tetapi, apa yang harus dilakukan, ketika masyarakat mendapat keadaan yang tidak mampu, akibat adanya penggusuran.
Jangan sampai negara justru membiarkan atau mengalihkan tanggungjawab kepada pihak lain. Karena sesungguhnya, pemenuhan kebutuhan pokok sebagai individu memang awalnya menjadi kewajiban individu, jika tidak mampu, menjadi tanggungjawab keluarga, jika tidak mampu juga, maka hal itu menjadi tanggungjawab negara dengan berbagai macam solusi yang diberikan, apakah dengan bantuan secara langsung maupun dengan memberikan lapangan pekerjaan, jika yang bersangkutan masih mampu untuk bekerja.
Kedua, Negara harus mengusut secara tuntas atas terjadinya penyerobotan fasilitas umum, sebelum dilakukan penggusuran ini. Pihak-pihak yang dengan sengaja terlibat, baik itu penguasa (RT, RW, Lurah, Camat, dll), preman, bahkan pengguna-pun apabila terbukti menyalahgunakan fasilitas umum untuk keuntungan pribadi, maka wajib diseret ke pengadilan untuk dijatuhi sanksi yang tegas.
Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan efek jera, tidak adil jika hanya rakyat saja yang terkena imbasnya, akan tetapi pihak-pihak yang dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya tidak turut dikenai sanksi. Hal ini dikhawatirkan bisa terulang kembali, jika tidak ada sanksi yang tegas. Penegakan hukum atas tindakan kriminal semacam ini harus ditegakkan bagi siapapun. Tidak peduli apakah orang tidak mampu, orang kaya, penguasa atau yang lainnya.
Ketiga, karena Negara wajib memberikan solusi, maka Negara tidak boleh berpura-pura memberikan solusi kepada korban penggusuran. Seperti memberi rusun tapi harus bayar sewa. Itu merupakan bentuk kedzaliman penguasa. Sepertinya baik, tapi sebenarnya ini merupakan cara halus untuk mengusir masyarakat dan lepas dari tanggung jawab.
Coba bayangkan, apabila masyarakat yang diberi rusun harus menyewa, bagaimana kalau suatu saat mereka tidak punya kemampuan untuk membayar sewa. Pasti mereka akan diusir dari rusun tersebut. Suatu bentuk solusi yang setengah hati, kelihatannya saja baik, tapi tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas. Pemenuhan solusi harus berdasar pada penyelesaian yang riil, bukan hanya merupakan pelayanan kamuflase belaka. Tentunya masyarakat bisa melihat mana penguasa yang mampu untuk melayani rakyatnya, dan mana yang hanya berpura-pura untuk itu.
Ikhtitam
Persoalan penggusuran terhadap hak tanah tentu berkaitan dengan status kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah baik oleh individu, swasta, maupun negara harus senantiasa berpegang pada syariat Islam. Tidak berhak siapapun secara syara’ mengambil hak orang lain atas kepemilikan tanahnya, termasuk oleh negara. Negara tidak bisa juga sewenang-wenang untuk melakukan penggusuran terhadap rakyat dengan mengatas namakan kepentingan negara.
Hendaknya kita mengingat kisah seorang wali (Gubernur) pada zaman Umar bin Khatab yang akan melakukan penggusuran terhadap tanah seorang Yahudi dengan alasan untuk kepentingan negara. Umar bin Khatab yang mendengar hal tersebut, mengirimkan sebuah pesan kepada walinya yang membuatnya takut karena ketegasan Umar dalam menegakkan syariat secara sempurna, tidak memandang siapa orang atau individu itu.
Karena dalam Islam, semua warga negara harus diperlakukan sama dalam hal pelayanan, termasuk dalam penegakan hukum. Dengan demikian, Islam memposisikan penguasa yang harus memahami fungsinya dengan baik sebagai seorang pelayan, bukan pihak yang dilayani rakyat. Dan Islamlah yang sudah terbukti dapat menunjukkan kesempurnaan dan keteraturan kehidupan berdasarkan akidah dan hukum Islam.
Wallahu a’lamu bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar