Kamis, 19 Januari 2012

Penjajahan & Korupsi, Antara Retorika & Fakta


Bertambah hari kita saksikan semakin kencang wacana mempersoalkan kelangsungan upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi ternyata hanya dianggap sebagai sebuah retorika semata. Berdasarkan hasil survey Lembaga Survei Indonesia (LSI), menyatakan bahwa telah terjadi tren penurunan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum secara nasional. Terlebih lagi menurut catatan Lembaga Survei Indonesia (LSI), sepanjang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, baru kali ini temuan survei menunjukkan, bahwa lebih banyak rakyat yang menilai penegakan hukum dalam kategori buruk, dibanding yang menilai baik.
Dari survei LSI yang dilansir tersebut, juga didapat kecenderungan pandangan publik yang menilai penegakan hukum begitu buruk. Secara politis, menurunnya persepsi publik itu juga berakibat pada anjloknya elektabilitas Partai Demokrat sebagai pendukung utama pemerintahan Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Mereka yang diwawancarai dalam survei itu juga tidak meyakini bila partai politik pemenang Pemilu 2009 itu akan kembali berjaya di pemilu berikutnya.
Di sisi lain kita melihat bahwa pemberantasan korupsi merupakan salah satu bahan retorika berbagai pihak khususnya penyelenggara Negara dalam melakukan pidato dan sejenisnya. Tentu hal ini tidak sejalan dengan fakta yang terungkap di masyarakat, yang menyatakan bahwa pemberantasan korupsi semakin lama semakin jauh dari harapan masyarakat.
            Semakin santernya wacana ini membuat kita bertanya, apakah korupsi tidak bisa diberantas? Apakah persoalan saat ini hanya berkutat pada persoalan korupsi? Tentunya pertanyaan ini bukan untuk menempatkan korupsi sebagai persoalan yang tidak penting.

Terjebak dalam Isu Korupsi
            Isu korupsi saat ini memang seolah menjadi trending topic setiap saat, apalagi jika ada kontroversi tentang pemberantasan korupsi seperti akhir-akhir ini, berdasarkan hasil survei LSI yang menyatakan kecenderungan ketidakpercayaan terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di negeri ini. Kasus-kasus korupsi dan hasil-hasil atas pemberantasan korupsi hanya akan menjadi bahan retorika para pejabat dalam berpidato yang secara eksistensinya tidak ada nilainya sama sekali.
            Terpilihnya ketua KPK yang baru pun seolah memberikan suntikan harapan yang besar bagi negeri ini dalam pemberantasan korupsi. Sehingga harapan-harapan baru itu menjadi sebuah harapan bersama terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan terpilihnya ketua KPK yang baru akan mampu memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini?. Jawabannya adalah mungkin. Pemberantasan korupsi janganlah digantungkan hanya dengan terpilihnya ketua KPK yang baru, akan tetapi sebenarnya yang menjadi persoalan utama penyelesaiannya adalah dengan penerapan sistem yang benar dalam pemberantasannya. Selama sistem yang berjalan membuka peluang dan mendukung untuk terciptanya tindak pidana korupsi maka berganti siapapun ketua KPK-nya akan tetap tidak akan merubah keadaan dunia korupsi di negeri ini.
            Korupsi memang menjadi salah satu tindakan yang harus diberantas di negeri ini. Namun kita juga harus mencermati, bahwa opini pemberantasan korupsi tidak pernah berhenti sesaatpun dari perbincangan masyarakat di negeri ini. Bukan dalam arti mengecilkan upaya pemberantasan korupsi, akan tetapi jangan sampai opini pemberantasan korupsi ini merupakan skenario untuk melakukan blow up opini agar korupsi menjadi trending topic dan menjadi perhatian masyarakat. Sehingga seolah-olah persoalan utama bagi negeri ini adalah pemberantasan korupsi. Padahal kalau mau kita cermati korupsi merupakan salah satu persoalan dari sekian banyak persoalan di negeri ini.
            Jangan sampai opini pemberantasan korupsi ini diciptakan hanya untuk mengarahkan mindseat masyarakat bahwa korupsi merupakan persoalan utama masyarakat di negeri ini. Walaupun sebenarnya persoalan penjajahan Kapitalisme yang masih mencengkeram negeri ini menjadi persoalan penting yang seharusnya menjadi perhatian serius bagi masyarakat. Karena disinilah justru berbahayanya praktek-praktek penjajahan kapitalisme yang masih mencengkeram negeri ini.

Penjajahan Kapitalisme Mengintai
            Hiruk pikuk dan euphoria isu pemberantasan korupsi yang terjadi di negeri ini hendaknya menjadi perhatian serius bagi masyarakat. Akan tetapi, terhadap persoalan lain yang justru lebih penting yaitu persoalan imperialisme gaya baru di negeri ini, kita menjadi lupa. Bagaimana mungkin kita euphoria dengan persoalan-persoalan korupsi tetapi kita acuh terhadap bahaya yang sebenarnya sedang dan akan terus mengancam masyarakat di negeri ini, yaitu penjajahan. Kalau mau kita lihat fakta yang ada, bahwa euphoria pemberantasan korupsi sesungguhnya tidak sebanding dengan hasil dari pemberantasan korupsi yang dihasilkan. Bagaimana tidak, pemberantasan korupsi hanya bisa memberikan manfaat kembalinya uang negara yang sangat kecil. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan praktek-praktek imperialisme yang telah membawa harta dari dalam negeri dalam jumlah yang fantastis.
            Berdasarkan data, bahwa sepanjang tahun 2010, dari hasil penangkapan dan eksekusi terhadap kasus korupsi, KPK baru bisa mengembalikan keuangan negara sebanyak Rp189 miliar. Jumlah tersebut berasal dari hasil eksekusi yang telah diserahkan ke kas Negara/kas Daerah sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (BNPB). Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan tingkat bahaya imperialisme ekonomi di negeri ini yang justru merugikan masyarakat di negeri ini. Berdasarkan data laporan keuangan Freeport pada 2008, total pendapatan Freeport adalah US$ 3,703 miliar dengan keuntungan US$ 1,415 miliar. Adapun penerimaan negara dari Freeport melalui pajak maupun royalti hanya US$ 725 juta. Bisa dilihat penerimaan negara lebih kecil daripada Freeport.
Ini terbalik dengan sektor migas, dimana pemerintah mendapat bagian yang lebih besar. Bila ditarik hingga lima tahun ke belakang, periode 2008-2004, berdasarkan laporan Freeport dinyatakan Freeport menerima total pendapatan US$ 17,893 miliar. Bila diasumsikan pengeluaran biaya operasi dan pajak 50 persen, maka total penerimaan bersih Freeport adalah US$ 8,964 miliar. Sementara itu total pendapatan negara dalam kurun waktu 2004-2008 lewat royalti mencapai US$ 4,411 miliar. Padahal saat ini wilayah penambangan Freeport mencapai 2,6 juta hektare atau setara 6,2 persen luas Provinsi Papua. Luas wilayah operasi Freeport ini mengalami kenaikan yang sangat besar bila dibandingkan awal aktivitas eksplorasinya pada 1967. Saat itu luas wilayah konsensi hanya 10.908 hektare. Begitu pula dengan potensi biji logam yang awalnya sebesar 32 juta ton, naik menjadi 2 miliar ton pada 1995, dan pada 2005 potensi tambang Grasberg mencapai 2,822 juta ton metrik bijih logam.
            Freeport merupakan salah satu contoh saja bagaimana praktek-praktek penjajahan melanda negeri ini yang sebenarnya merupakan bahaya besar yang melanda negeri ini. Padahal masih banyak lagi seperti tambang Newmont dan berbagai perusahaan pengelola bahan tambang, serta terjadinya privatisasi BUMN yang sangat merugikan negeri ini.
            Dalam bidang pendidikan juga terjadi demikian. Tidak semua rakyat dan masyarakat saat ini mampu mendapatkan akses pendidikan bagi anak-anak mereka. Apalagi dalam tingkat perguruan tinggi yang mungkin saat ini hanya bisa dijangkau oleh para pemilik uang. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki uang tidak punya akses untuk melanjutkan pendidikan. Bagaimana seharusnya negara menjamin kebutuhan pokok masyarakat dalam dunia pendidikan, bukan justru melakukan tindakan-tindakan berupa men-swastanisasi badan pendidikan, sehingga istilah ”orang miskin dilarang sekolah” tidak akan muncul di tengah-tengah masyarakat. Penerapan gaya pendidikanpun mengikuti gaya penjajahan kapitalisme, seperti dengan pengiriman mahasiswa-mahasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan studi di negeri-negeri Barat.
Secara kasat mata memang tidak ada yang salah kalau menuntut ilmu sampai pada negara-negara Barat. Yang menjadi pertanyaan adalah mahasiswa-mahasiswa negeri ini dikirim untuk mempelajari dan memahami peradaban-peradaban barat. Tujuannya, supaya hegemoni peradaban barat senantiasa dihembuskan kepada para mahasiswa yang belajar tentang peradaban-peradaban barat yang selanjutnya akan menjadi da’i dari peradaban barat di negerinya sendiri. Kalau memang mau konsisten ingin meningkatkan science maka seharusnya mahasiswa dikirim ke barat dalam rangka untuk mempelajari science dan teknologi. Hal ini tentunya akan menjadikan negeri-negeri berkembang akan menjadi segeri yang semakin maju science dan teknologinya.
            Dalam bidang kesehatan, tampak negara tidak menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan kesehatan masyarakat. Yang terjadi adalah masyarakat-masyarakat miskin tidak bisa mengakses pemenuhan kebutuhan kesehatan dirinya. Yang terjadi justru adanya diskriminasi terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sehingga istilah ”yang boleh sakit hanya orang kaya” adalah ungkapan yang sedikit banyak menggambarkan kondisi masyarakat yang dijajah oleh negaranya sendiri. Negara memungut berbagai macam pungutan kepada masyarakat, mengelola harta-harta kepemilikan umum masyarakat yang nilainya tidak terhitung (minyak, tambang, dll) tetapi justru rakyat tidak bisa mengakses itu semua, justru akses kesehatan hanya diperoleh orang-orang tertentu saja.
            Hal tersebut baru merupakan gambaran kecil imperialisme yang terjadi di negeri ini yang dilakukan oleh kapitalisme. Karena sesungguhnya yang sangat berbahaya bagi negeri ini adalah imperialisme peradaban yang mengintai negeri ini. Karena sesungguhnya kapitalisme senantiasa berusaha menancapkan hegemoninya dalam perkembangan peradaban manusia di dunia. Salah satu indikasi bahwa imperialisme peradaban mengancam negeri ini, adalah dengan semakin dekatnya penerapan sistem-sistem di negeri ini yang banyak berkiblat pada kapitalisme yang secara tidak langsung membuka jalan lebar bagi kapitalisme untuk melakukan penjajahan.
Sistem sosial dan sistem politik di negeri ini misalnya, yang masih mengekor pada peradaban kapitalisme, di beberapa tempat justru terbukti tidak mampu membawa manfaat tapi justru membawa mudharat yang sangat besar bagi manusia. Maka, pengalihan perhatian masyarakat hanya kepada persoalan pemberantasan korupsi adalah sebuah upaya nyata dalam mengalihkan perhatian masyarakat pada kesibukan persoalan-persoalan kecil akan tetapi melupakan aktivitas penjajahan yang dilakukan oleh kapitalisme.
            Ini menjadi salah satu bukti bahwa sebenarnya persoalan imperialisme di negeri ini merupakan bahaya besar yang melanda dan mengintai negeri ini. Dan hal ini tentunya lebih berbahaya dibandingkan kasus-kasus pemberantasan korupsi, yang membuat masyarakat di negeri ini terlena. Dan hendaknya masyarakat melihat secara proporsional bahwa persoalan besar yang mengancam negeri ini adalah penjajahan yang sedang dan akan berlangsung di negeri ini.
Tentunya kitalah yang dapat memilih apakah kita akan terbawa dengan opini publik yang sebenarnya justru akan membentuk mindset masyarakat tidak dapat mengetahui prioritas persoalan yang dihadapi berupa penjajahan yang melanda negeri ini. Dan seharusnya masyarakat akan semakin tahu dan sadar bahwa sistem selain Islam tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan di negeri ini secara komprehensif. Sebaliknya, Islam akan menjawab segala problematika yang dihadapi masyarakat bahkan menjawab apa yang belum terjadi di masa yang akan datang termasuk masalah pemberantasan korupsi dan penjajahan.
Wallahu a’lamu bishawab.

0 komentar:

Posting Komentar