Rabu, 26 Juni 2013

Pernikahan Dini

Ditemukannya pernikahan dengan gadis belia yang dilakukan beberapa public figure di negeri ini, menjadikan pernikahan dini kembali diperbincangkan. Apalagi ketika plan Indonesia melakukan survey terkait dengan hal ini, menghasilkan data 44% anak perempuan yang menikah dini mengalami KDRT dengan tingkat frekuensi tinggi, sedangkan 56% sisanya mengalami KDRT dengan tingkat frekuensi rendah. 




 Penelitian dilakukan di 8 kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari – April 2011. Dari penilitian itu dikatakan bahwa ada 33,5% usia rata-rata pernikahan 16 tahun. Dari sini kemudian muncul pemikiran agar usia pernikahan dinaikkan.

Sedangkan pada masalah perceraian, pada tahun 2008 mencapai 200.000 kasus per 2jt pasangan menikah, pada tahun 2009 naik menjadi 250.000 kasus, tahun 2010 terdapat 285.184 kasus. Terbanyak adalah pihak istri yang mengajukan gugat cerai yaitu sekitar 70%, dengan alasan penyebab perceraian terbesar adalah masalah ekonomi. Rata-rata penyebab perceraian dipicu lantaran suami tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. (http://m.republika.co.id). Sejauh ini, pernikahan dini menjadi “tersangka utama” terjadinya KDRT dan perceraian di negeri ini.


Pernikahan dini = KDRT + Perceraian ?

Pernikahan dini adalah, 1) pernikahan dini adalah institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga (Lutfiati, 2008). 2) pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan (Nukman, 2009). Ada beberapa faktor terjadinya Pernikahan di usia dini, diantaranya : karena sudah tidak sekolah, karena cinta, telah melakukan hubungan haram, hamil sebelum nikah, ekonomi, adat, dll. Biasanya beberapa faktor tersebut memicu seseorang untuk secepatnya memutuskan untuk menikah.

Jika melihat dari hasil survey plan Indonesia, mereka hanya meneliti perilaku KDRT untuk pelaku pernikahan dini sebanyak 33,5%, sedangkan perilaku pelaku pernikahan “tidak dini” tidak diteliti. Wajar jika penelitiannya menghasilkan tudingan miring terhadap pernikahan dini. Apalagi fakta KDRT dengan frekuensi tinggi dan rendah juga tidak jelas, termasuk apa alasan melakukan perilaku KDRT yang dimaksud.

Dari Bogor hal lain dilaporkan, “Januari sampai April, kasus KDRT yang kami tangani mayoritas karena ekonomi.” Kata Kanit Perlindungan perempuan dan anak (PPA) Polres Bogor Kota, IPDA Mellisa Sianipar. Dia menambahkan, Kasus KDRT banyak terjadi pada keluarga yang menikah antara usia 20-35 tahun yang masih memiliki emosi cukup tinggi dan masing-masing mau menang sendiri. Disini terlihat bahwa bukan pernikahan dini yang menjadi penyebab utama KDRT, tetapi terjadi akibat tidak ada yang mau mengalah antara suami istri.

Selain itu, juga karena masalah tuntutan ekonomi yang berat di tengah masyarakat kapitalistik. Kalau sudah terjadi seperti ini, biasanya berujung pada perceraian. Thobib Al-Asyhar menjelaskan bahwa Peningkatan pendapatan perkapita yang berimbas pada makin tingginya tingkat perekonomian masyarakat berimbas pada semakin tingginya daya beli dan gaya hidup masyarakat, melahirkan banyak tuntutan yang semula tak terpikirkan oleh suami atau istri. Fenomena meningkatnya gaya hidup melahirkan banyak tuntutan yang kadang sulit dipenuhi pasangan. (http://m.republika.co.id).

Banyaknya Kasus KDRT yang terjadi dalam pernikahan memang cukup memprihatinkan, namun yang perlu diperhatikan adalah, makna KDRT itu sendiri harus jelas. Mana yang masuk aktifitas KDRT dan mana yang bukan. Sampai saat ini, banyak orang sangat subyektif menilai suatu aktifitas masuk kategori KDRT. Terkadang kata-kata nasehat agak keras pun dianggap sebagai KDRT karena dianggap mempengaruhi psikologis seseorang, apalagi memukul (padahal tidak menyakitkan/melukai) sudah dituding KDRT. Inilah yang terjadi bila penilaian KDRT tidak ada standarisasi yang jelas.

Selanjutnya memperhatikan penyebab munculnya KDRT. Apakah ketidakmampuan istri atau suami memahami hak dan kewajibannya, ataukah karena faktor ekonomi atau pernikahan dengan tujuan tidak benar atau bahkan menikah karena terpaksa (hamil di luar nikah, dipaksa ortu, dll). Masalahnya, banyak orang menikah tanpa didasari dengan niatan dan pemahaman yang benar, sehingga berpengaruh besar pada kehidupan rumah tangganya, termasuk pernikahan pada usia muda. Ada pula pasangan yang tidak memiliki kesiapan ilmu dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Dari sini, tidak heran jika rumah tangganya menjadi gonjang ganjing yang berakhir pada perceraian. Na’udzu biLlah.


Pernikahan dalam Islam

Perkawinan merupakan pengaturan hubungan antara unsur maskulin dan feminin, dengan kata lain, perkawinan mengatur interaksi antara laki – laki dan perempuan dengan aturan yang khas. Peraturan yang khas ini mengharuskan adanya pengaturan hubungan lawan jenis dalam bentuk tertentu yang diikat dalam lembaga pernikahan.

Melalui hubungan semacam ini, akan menghasilkan proses perkembangbiakan sekaligus pelestarian keturunan, hingga terbentuk sebuah keluarga. Atas dasar inilah, peraturan kehidupan khusus (hayatul khas) dijalankan. (Lihat Muhadharah wa Halaqah II, hal 188). Islam telah menganjurkan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Dalam hal ini Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Ada 3 orang yang berhak ditolong oleh Allah : 1. Seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah, 2. Orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatannya, 3. Makatib (budak) yang bekerja demi memerdekakan dirinya.

Mengenai pernikahan di usia dini, pada dasarnya Islam membolehkan laki-laki menikahi perempuan di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan: “Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hafal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (boleh).”

Sebagaimana fakta Rasulullah saw menikahi ummul mukminin Aisyah ra di usia dini, serta Firman Allah SWT :

وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَه مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaq [65]: 04).


Hukum mubah berarti bisa dilaksanakan jika dipandang mendatangkan manfaat, bisa pula ditinggalkan jika dipandang mendatangkan mudharat lebih besar. Tidak dilarang, tidak pula diserukan. Ibnu Mas’ud ra menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Wahai pemuda, siapa saja diantara kalian mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab sesungguhnya hal itu akan dapat menundukkan pandangan serta memelihara kemaluan. Siapa saja yang tidak mampu melakukannya hendaknya melakukan shaum, karena shaum adalah perisai baginya.”


Mencegah KDRT dan Perceraian Dini

Mencegah KDRT dan perceraian dengan mencegah pernikahan dini adalah tindakan yang gegabah. Sebab, secara fitrah manusia dimungkinkan menikah pada usia dini. Apa jadinya jika remaja yang sudah siap menikah dihalang-halangi untuk menikah hanya karena khawatir terjadi KDRT? Tentu bahayanya akan jauh lebih besar.

Pergaulan bebas akan semakin merajalela, yang justru memicu problem yang lebih besar, seperti penyebaran HIV/AIDS, rusaknya morak, juga memicu pernikahan dini secara terpaksa akibat hamil di luar nikah. Oleh karena itu, KDRT seharusnya tidak dicegah dengan melarang pernikahan dini.

Menilik beberapa faktor pemicu KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka tindakan KDRT dan perceraian dini dapat dicegah dengan pertama, mempersiapkan diri dengan baik ketika berniat untuk menikah. Persiapan yang dimaksud bukan saja persiapan materi atau jasmani, namun meliputi persiapan mental, baik menyangkut penguatan akidah, pemahaman hukum-hukum Islam khususnya tentang kehidupan suami isteri, memperkuat kepribadian Islami dan sebagainya.

Ibnu Mas’ud ra menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Wahai pemuda, siapa saja diantara kalian mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab sesungguhnya hal itu akan dapat menundukkan pandangan serta memelihara kemaluan. Siapa saja yang tidak mampu melakukannya hendaknya melakukan shaum, karena shaum adalah perisai baginya.”

Kedua, konsisten untuk turut andil dalam upaya mengubah kehidupan sekuler kapitalistik yang menyebabkan beban persoalan keluarga kian berat. Oleh karena itu hendaknya seorang muslim tidak menikah ataupun menjalani pernikahannya dengan perspektif kapitalis yang menekankan urusan pernikahan hanya seputar masalah harta dan hubungan seksual belaka.

Padahal Rasulullah saw bersabda yang artinya,”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : karena hartanya (li maalliha), karena keturunannya (li nasabihaa), karena kecantikannya (li jamaaliha), karena agamanya (li diiniha). Oleh karena itu, pilihlah wanita karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung.”

Sementara bagi para wanita dan orang tua / walinya, Rasulullah saw juga pernah bersabda yang artinya,”Jika ada seorang (pria) yang hendak melamar datang pada kalian sedangkan agama dan akhlaqnya kalian ridhai, maka kawinkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, hal itu dapat memunculkan fitnah di atas dunia dan kerusakan yang besar.”(HR. At Tirmidzi).

Kedua nash di atas jelas menunjukkan agar seorang muslim menjadikan agama dan akhlaq sebagai panduan dalam memilih pasangan serta menjalani kehidupan berkeluarganya, tidak berorientasi pada masalah harta semata, juga tidak disebutkan batasan usia menikah secara khusus.

Khatimah

Sungguh Allah swt telah menganugerahkan pada manusia potensi akal dan potensi kehidupan. Potensi kehidupan ini terdiri atas 2 hal, yakni kebutuhan jasmani dan naluri, yang terdiri atas naluri terhadap lawan jenis (gharizatu nau’), naluri membela diri (gharizatu baqo’) dan naluri beribadah (gharizatu tadayyun).

Kesemua potensi manusia tersebut, baik kebutuhan jasmani maupun naluri, haruslah dipenuhi manusia dalam kehidupannya. Jika naluri tidak terpenuhi niscaya manusia akan menjadi galau, gelisah dan semacamnya, bahkan jika kebutuhan jasmani (makan, minum, istirahat dsb) tidak terpenuhi akan dapat mengantarkan manusia dalam kebinasaan.

Oleh karena itulah Allah swt menurunkan Syariat Islam sebagai panduan hidup bagi hamba-Nya untuk memenuhi potensi kehidupannya secara baik, bahkan mendatangkan maslahat dunia akhirat. Termasuk dalam hal ini syariat Munakahat (pernikahan) sebagai solusi atas pemenuhan naluri lawan jenis (gharizatu nau’).

Dalam Islam pernikahan bukanlah masalah usia, namun masalah kesiapan menanggung beban tanggung jawab. Bukan pula sekedar persiapan ekonomi, namun yang lebih penting persiapan ilmu dan iman untuk senantiasa beramal sesuai tuntunan Allah swt dan rasul-Nya dalam menjalani kehidupan (berkeluarga) sehingga mampu menggapi pernikahan sakinah, mawaddah wa rahmah.

Wallahu a’lam bi ashowab

0 komentar:

Posting Komentar