Rabu, 03 Juli 2013

Sambut Ramadhan Dengan Taqarrub Illallah

Seiring bergulirnya waktu, tanpa terasa kini sudah berada di ujung bulan Sya’ban. Itu artinya, sebentar lagi akan sampai di bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan. Termaktup dalam ayat-Nya bahwa:”Bulan Ramadhan ialah bulan (awal) turunnya Al-Qur’an, berupa petunjuk untuk manusia dan penjelasan tentang petunjuk itu dan menjadi penegak kebenaran, membedakan antara yang hak dan yang bathil…”(TQS. Al Baqarah: 185).




Menyambut datangnya tamu agung ini, sudah selayaknya kita berbahagia. Hal ini sesua dengan hadist Rasulullah seperti tercantum dalam kitab Tarjamah Duratun Nasihin (hal 13) bahwa Rasulullah SAW bersabda “Siapa lega hati, menyambut kehadiaran bulan Ramadhan, pasti Allah mengharamkan tubuhnya atas mereka apa saja.”

Namun sayangnya, bentuk kegembiraan ummat ini sering berwujud kegembiraan duniawi. Seperti terlihat dalam sejumlah berita di media massa, dalam kurun menjelang ramadhan ini, nampak berita seputar : Tiket KA hari raya hampir habis, Harga sembako naik, Pedagang mengalami kenaikan omzet penjualan, Bank siap menerima penukaran uang kecil dsb. Jarang disebut pemberitaan tentang kegembiraan ummat menyambut ramadhan dengan kegiatan – kegiatan yang sifatnya persiapan untuk beribadah full time, khususnya di bulan Ramadhan.

Tentu agar bisa lebih bermakna, maka dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan ini, umat bukan hanya sekedar bergembira ria secara duniawi saja. Namun ada beberapa hal yang patut direnungkan dalam menyambut Ramadhan, diantaranya : Pertama. Ummat hendaknya bisa menyadari bahwa Ramadhan merupakan bulan yang dapat menginggatkan kaum muslimin akan pentingnya kesatuan umat.

Meskipun kaum muslimin masih dihadapkan pada fakta perbedaan metode hisab dan rukyat dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, akan tetapi semua umat Islam diseluruh dunia sepakat bahwa Bulan Ramadhan adalah bulan suci, dimana pada bulan tersebut telah datang perintah Allah untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang berlaku untuk seluruh umat Islam di dunia ini.

Sungguh perbedaan Hisab dan Rukyat bukanlah perbedaan antar kelompok dalam internal ummat Islam, namun perbedaan ijtihad antar mujtahid. Bahkan jika ditelisik lebih jauh, perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan disebabkan oleh perbedaan metode, tapi lebih karena rujukan yang diambil adalah hasil hisab dan rukyat berdasarkan nasionalisme. Seandainya rujukan hasil hisab dan rukyat yang diambil adalah hasil hisab dan rukyat internasional, insyaaLLah seluruh muslim di muka bumi akan memulai dan mengakhiri Ramadhan bersama.

Perbedaan jumlah rakaat dalam sholat tarawihpun seharusnya tidak menghapus semangat kaum muslimin untuk berlomba-lomba menjalankan amal sholeh dalam mengisi setiap detik di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Memang, umat Islam berbeda pendapat tentang jumlah rakaat tarawih, karena tidak adanya satu pun dalil yang shahih dan sharih yang menyebutkan bilangan shalat tarawih, sehingga beberapa tafsir ulama yang menghasilkan bilangan rakaat tarawih 11, 13, 23, 36, 39 rakaat. Namun haruslah disadari bahwa perbedaan yang ada hanyalah masalah furu’iyah (cabang) saja, sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Hendaklah umat senantiasa mengedepankan ukhuwah Islamiyyah.

Kedua. Hendaklah umat menjadikan Ramadhan sebagai moment istimewa untuk semakin ber-taqorrub kepada Allah. Sudah menjadi mafhum di masyarakat, bahwa bulan Ramadhan selalu dimaknai sebagai bulan untuk perbaikan diri. Oleh karenanya, di bulan ini semua kaum muslimin berlomba-lomba untuk menambah kuantitas dan kualitas ibadahnya.

Itu artinya, di bulan ini, dalam diri umat seakan-akan muncul kesholehan jama’i. Semua tiba-tiba bisa berubah menjadi alim. Yang biasanya tampil di TV dengan busana seadanya, tiba-tiba hadir dalam busana tertutup. Jadi sungguh ajaib, bulan Ramadhan memang bisa digunakan sebagai tonggak untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Didalam buku Taqarrub Ilallah (Khazanah Islam, 1994) disebutkan bahwa definisi Taqarrub kepada Allah adalah setiap aktivitas yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah SW, baik berupa pelaksanaan kewajiban, sunnah-sunnah nafilah, maupun bentuk-bentuk ketaatan lainnya. Pengertian taqarrub kepada Allah tidak terbatas pada aktivitas ibadah mahdoh semata, sebagaimana diduga oleh kebanyakan kaum muslimin di masa kini.

Namun pengertian taqarrub mencakup pula seluruh aktivitas dalam muamalat, akhlaq, math’umat (yang berkaitan dengan makanan), malbuusat (yang berkaitan dengan pakaian) bahkan uquubat (pelaksanaan sanksi-sanksi hukum di dunia oleh negara). Dalam hadist qudsiy Allah berfirman: “Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Kusukai daripada menjalankan kewajibannya.” (Shahih Bukhari Juz XI/292,297).

Oleh karena itu, hendaknya bulan Ramadhan dijadikan momentum yang meningkatkan kualitas amal wajib atau menjalankan kewajiban yang selama ini terlalaikan. Secara tidak sadar ummat Islam hari ini hanya fokus menjalankan kewajiban sholat 5 waktu, namun melalaikan kewajiban – kewajiban lain seperti kewajiban menutup aurat, thalabul ilmy, amar ma’ruf nahi munkar, dll. Padahal tidak ada bedanya antara kewajiban yang satu dengan yang lain, baik fardlu ain maupun fardlu kifayah, semuanya harus dilaksanakan oleh setiap individu yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya.

Di Bulan penuh berkah ini banyak sekali majelis ilmu digelar, baik di masjid, musholla, radio, televisi, sekolah dsb. Jadi ini moment yang tepat untuk memulai kebiasaan melaksanakan kewajiban menuntut ilmu, bil khusus ilmu agama. Apalagi Rasulullah SAW telah memotivasi ummatnya untuk senantiasa menuntut ilmu dengan haditsnya yang menyebutkan :



رَكْعَةٍ مِائَةَ تُصَلِّيَ اَنْ مِنْ لَّكَ خَيْرٌ اللَّهِ كِتَابِ مِنْ اَيَةً فَتُعَلِّمَ تَغْدَوْا لَأَنْ ، أَبَاذَرٍّ يَا

(ماجة ابن) رَكْعَةٍ أَلْفَ تُصَلِّيَ اَنْ مِنْ خَيْرٌ ،يُعْمَلْ لَمْ اَوْ بِهِ عُمِلَ الْعِلْمِ مِنَ بَابًا فَتُعَلِّمَ تَغْدُوْا وَلَأَنْ



“Hai Abu Dzar, Apabila kamu pergi dan menuntut ilmu satu ayat saja dari Al-Qur’an, itu lebih baik dari pada sholat 100 rakaat, dan sesungguhnya apabila kamu menuntut ilmu satu bab yang kamu ketahui, baik diamalkan atau tidak, lebih baik bagi mu dari pada sholat 1000 rakaat”.(HR. Ibnu Majah).

Di bulan penuh rahmat ini, serasa juga mengkondisikan ummat Islam untuk senantiasa menutup aurat. Begitu mudah ditemukan ummat Islam berpakaian Islami. Para pemuda hilir mudik mengenakan baju taqwa dan celana panjang atau sarung untuk menutup auratnya, sementara para muslimah berhijab dengan nyaman.

Namun yang perlu yang diingat, baju bukan semata asesoris. Dalam Islam, baju (malbusat) adalah salah satu piranti syariat untuk menutup aurat. Oleh karena itu, jika telah mengenakan hijab hendaknya bersikap konsisten dan istiqomah walaupun Ramadhan telah berakhir. Sebab Rasulullah saw telah mengingatkan ummatnya yang melalaikan kewajiban menutup aurat dengan sabdanya :

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].

Ketiga. Umat hendaklah memahami bahwa Islam mempunyai prioritas amal. Dalam hukum Islam, dikenal adanya ahkamul khomsa (hukum yang lima) yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Dengan hadirnya bulan puasa ini, maka kita digembleng untuk bisa memilih prioritas amal. Dalam hal ini, umat dilatih oleh Allah SWTuntuk tidak larut dalam amal-amal sunnah saja tapi luput menjalankan kewajibannya. Harus dipahami bahwa sebagai muslim, maka kita harus selalu mendahulukan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan kepada Allah. Selanjutnya ia haruslah menjadikan amal nafilah sebagai tambahannya.

Amal nafilah adalah setiap aktifitas yang merupakan tambahan dari amal yang wajib, misalnya shadaqoh, sholat sunnah, tadarrus dsb. Sungguh meningkatnya derajat seorang muslim bukan karena ia menjalankan ibadah sunnah tapi meninggalkan kewajiban atau malah menyemarakkan perbuatan bid’ah. Namun meningkatnya martabat itu terjadi karena seorang muslim menjalankan kewajibannya dan menambahkan amalnya dengan ibadah sunah.

Mengenai amal nafilah ini Rasulullah SAW bersabda “Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya Aku menjadi pendengarannya yang ia mendengarnya dan Aku menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya. Dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan. Dan Aku menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika dia meminta kepadaKu niscaya akan Kuberi. Dan jika dia memohon perlindungan kepadaKu, niscaya akan kulindungi.” (Shahih Bukhari).

Keempat. Hendaklah umat memahami bahwa hadirnya bulan Ramadhan merupakan tonggak untuk mengenyahkan pemikiran sekuler dari muka bumi. Kenapa demikian? Karena pemikiran sekuler jika dibiarkan akan meracuni kejernihan pemikiran umat. Pemikiran sekuler tersebut membuat umat hanya berfikir dan memahami bahwa bulan Ramadhan hanyalah moment untuk meningkatkan ibadah ruhiyah saja.

Imam Ibnu Hajar menyampaikan bahwa: ”Bertaqorrub kepada Allah itu berarti menjalankan seluruh kewajiban, baik fardlu ain, maupun fardhu kifayah. Sehingga bisa pula diambil pengertian darinya bahwa pelaksanaan perbuatan-perbuatan yang fardlu adalah aktifitas yang paling disukai Allah SWT. Mulai dari pelaksanaan sholat, pembayaran zakat, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu, bersikap jujur, berjihad fisabilillah, beramar ma’ruf nahi munkar, ikhlas, memakan makanan yang baik, menutup aurat, sampai melaksanakan hukum-hukum dalam politik, ekonomi dan kemasyarakatan.

Pendek kata, setiap muslim harus menjadikan syari’at Allah sebagai miqiyas amal (standart perbuatan) dalam seluruh aspek kehidupan. Bukannya malah menerima sebagian dan menolak sebagian. Jadikan semua perbuatan bernilai ibadah dengan cara senatiasa mengikatkan setiap perbuatan pada aturan Allah swt. Dengan menanggalkan sekulerisme seraya beramal sesuai syariat, maka insyaaLLah amal duniapun bisa bernilai akhirat (ibadah).

Semoga dengan merenungkan 4 hal diatas, kita semakin bersemangat dalam menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Maka, mari berfastabiqul khoirot ! (FA)

0 komentar:

Posting Komentar