Selasa, 07 Mei 2013

Sikap Ummat Terhadap Ulama'

Masyarakat masih berdatangan ke lokasi kecelakaan yang menewaskan Ust. Jeffry Al Buchori (Uje). Bunga dan ucapan belasungkawa menghiasi lokasi. Warga silih berganti mendatangi Jalan Gedung Hijau Raya No 17, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sabtu (27/4/2013). Mereka terlihat meletakkan bunga mawar dan menempelkan kertas berisi ucapan belasungkawa antara lain bertuliskan "Mohon doanya untuk Ustad Jeffry Al Buchori, mari ummat membaca surah Al-Fatihah".



Banyak warga yang datang hanya untuk berdoa di depan pohon tempat terjadinya kecelakaan. Pemandangan serupa juga bisa dilihat di makam Uje di Karet Tengsin, Jakarta. Masih banyak warga yang mendatangi makam, kebanyakan dari mereka memang datang untuk memberikan doa. Tapi mirisnya, ada juga yang terindikasi melakukan “ritual” tambahan selain berdo’a untuk almarhum.

Tindakan ghuluw (berlebihan) juga terlihat dari sebagian masyarakat yang mengumpulkan serpihan motor beliau sebagai rasa fanatiknya. Dan beberapa hari ini beredar foto, penampakan awan menyerupai orang yang tengah berdoa. Dengan cepat foto itu beredar ke berbagai situs dan media sosial, termasuk Youtube, dengan keterangan bahwa awan itu berada di atas pemakaman Ustadz Jefri Al Buchori, dan diyakini itu sebagai tanda-tanda husnul khotimah.

Ada yang perlu diluruskan terhadap sikap masyarakat kepada ulama’. Ada sebagian masyarakat yang cenderung berlebihan (ghuluw) dalam memperlakukan ulama’, hingga mengarah kepada “pengkultusan”, sebagian yang lain memperlakukan ulama’ sebatas sarana mendapatkan simpati dan kekuasaan. Sebenarnya, siapakah yang disebut ulama’ dan bagaimana seharusnya ummat harus bersikap terhadap ulama’ ?



Posisi Ulama dalam Islam

Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fail dari kata dasar : ’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu. Dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Al-Quran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama, diantaranya tersebut dalam firman Allah swt : “Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (TQS. Al-Mujadalah: 11.

Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (TQS. Fathir: 28).

Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu. (HSR. Ibnu Hibban)

Pengertian ulama juga telah didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dalam sebuah definisi yang lengkap. Ibnul Qayyim mengatakan, ilmu adalah mengetahui kebenaran berdasarkan dalil. Tidaklah ilmu itu sama dengan taklid. Jadi ulama adalah orang yang mengetahui pendapat yang benar berdasarkan dalil. Ilmu yang dimiliki seseorang itu beda-beda. Ada orang yang ilmunya luas sehingga dia mengetahui hukum mayoritas permasalahan agama. Jika ada permasalahan yang tidak dia ketahui hukumnya orang tersebut memiliki kemampuan untuk mengetahui hukumnya.

Berdasarkan dari dalil-dalil Alqur’an dan hadits serta pendapat ulama, dapat disimpulkan bahwa ulama’ memiliki pengertian dan karakteristik yang khas :

1. Ulama adalah orang yang memiliki ketinggian ilmu (tsaqofah Islam)

2. Ulama adalah orang yang beriman dan takut kepada Allah

3. Ulama adalah orang yang menyampaikan semua risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW (tanpa menambahi, mengurangi, atau menyembunyikan)



Ulama menempati posisi yang mulia dalam agama Islam. Melaluinya, ilmu Islam dapat tersampaikan dari generasi ke generasi hingga zaman ummat. Melalui ceramah dan tulisan mereka mampu memberikan tuntunan yang benar kepada umat, sehingga umat tidak tersesat. Maka wajarlah jika Islam benar-benar memuliakan mereka dengan menyebutkan, "Para ulama pewaris para nabi." Bahkan Al-Qur'an sendiri telah menyebutkan keutamaan mereka. Banyak ayat yang menerangkannya, di antaranya:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran: 18)



Allah memuliakan para ulama dengan memberikan kesaksian bahwa mereka termasuk hamba-hamba-Nya yang bertauhid dan ikhlas beribadah kepada-Nya. ini merupakan keistimewaan agung dan maqam mulia yang dimiliki mereka. Al-Qurthubi rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini: dalam ayat ini terdapat dalil tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ulama. Jika ada seseorang yang lebih mulia daripada ulama pastinya Allah akan menggandengkan penyebutan mereka dengan nama-Nya dan nama malaikat-Nya sebagaimana Dia menyebutkan ulama.



Macam – Macam Ulama’

Dalam khasanah Islam dikenal dua jenis ulama, yakni : ulama baik yang mengajak ke pintu syurga dan ulama su’ (jahat) yang menyeru ke pintu neraka. Mengukur baik buruknya seorang ulama’ tidaklah diukur berdasarkan popularitasnya, atau kehebatannya dalam berpidato, tetapi diukur berdasarkan ukuran syara’. Ulama’ yang baik adalah ulama’ yang senantiasa berpegang teguh kepada aqidah dan hukum Islam, menjadikan aqidah dan hukum Islam sebagai satu-satunya standar pemikiran, perbuatan dan problem solving.

Sedangkan ulama yang su’ adalah ulama yang tidak menjadikan aqidah dan hukum Islam sebagai standar pemikiran, perbuatan dan problem solving, ulama yang tidak menyampaikan kebenaran Islam justru menyembunyikannya sebagaimana firman Allah : "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati." (TQS. Al-Baqarah: 159)

Ulama yang dicela dalam ayat ini adalah mereka yang menipu umat dengan menyembunyikan kebenaran yang telah dibawa para rasul. Mereka menampilkan kebenaran apa yang tidak sebenarnya, karena pesanan dan kepentingan. Maka mereka diancam dengan laknat dari Allah dan para hamba-Nya. Dampak dari penyimpangan mereka sangat dahsyat. Kebenaran bisa dinilai kesesatan, begitu juga sebaliknya.

Bukan satu atau dua orang yang akan tersesatkan karenanya, tapi ribuan bahkan jutaan. Karenanya jika mereka bertaubat, taubatnya tidak seperti taubat dari kemaksiatan lainnya. Taubatnya diberi syarat, memberikan penjelasan dan melakukan perbaikan. "Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (TQS. Al-Baqarah: 160)

Dari Ziyad bin Hudair Radhiyallahu 'Anhu , ia berkata: Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu berkata kepadaku : Tahukan engkau apa yang akan merobohkan Islam? Aku menjawab : Tidak (tahu). Beliau berkata : Yang akan merobohkan Islam adalah penyimpangan ulama, debatnya munafik dengan Al-Qur'an, dan hukum para pemimpin penyesat." (Atsar Shahihi riwayat Ibnul Mubarak dalam al-Zuhud wa al-Raqaiq, al-Faryabi dalam Sifah al-Nifaq wa Dzam al-Munafikin, Ibnu Abdil Barr dalam Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlih, Al-Darimi dan selainnya. Dishahihkan al-Albani dalam al-Misyhkah)



Bersikap terhadap Ulama

Sungguh agama Islam memberika posisi yang mulai bagi orang – orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Oleh karena itu wajar jika ummat memberi penghormatan dan kemulian pada para ulama. Ada beberapa penghormatan yang dapat ummat lakukan pada para ulamanya, diantaranya :

1. Bersyukur pada Allah

Fardlu kifayah hukumnya di setiap zaman memiliki mujtahid. Para mujtahid inilah yang akan membantu ummat menggali hukum atas perbuatan-perbuatan yang belum ada di masa Rasulullah SAW. Oleh karena itu selayaknya ummat bersyukur Allah swt karena masih mengijinkan keberadan para ulama di masa ini, sebab salah satu tanda akhir zaman adalah diangkatnya ilmu dengan diwafatkannya para ulama yang hanif (lurus).

2. Menaati Ulama dalam Kebaikan

Ulama adalah orang yang berilmu, namun ulama juga manusia yang tidak maksum. Ulama tidak terlepas dari salah dan dosa, maka hendaknya ummat mentaati para ulama dalam hal kebaikan dan meninggalkan para ulama yang menyerukan pada Sekulerisme (memisahkan urusan kehidupan dari agama), Pluralisme (semua agama sama) dan Liberalisme (memahami nash berdasarkan pikiran akal yang bebas), padahal ketiga aliran tersebut telah difatwakan bertentangan dengan ajaran Islam oleh MUI. Mentaati ulama semata demi ketaatan dalam beribadah kepada Allah swt dan bukan dalam rangka bersikap fanatik atau kultus pada ulama tertentu.

3. Mengikuti Bimbingan dan Arahannya

Rasulullah SAW membuat sebuah garis yang lurus lalu bersabda, “Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kiri garis lurus itu lalu bersabda, “Ini adalah jalan-jalan yang bercabang (darinya). Pada setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya.” Beliau lalu membaca firman Allah, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya….” (Al-An’am: 153) [HR. Ahmad].


Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Barang siapa yang mengikuti para ulama berarti dia mengikuti jalan yang lurus. Adapun yang menyelisihi ulama dan tidak memedulikan hak-hak mereka berarti dia telah keluar (dan mengikuti) jalan setan. Dia telah memisahkan diri dari jalan yang lurus, yaitu jalan Rasul-Nya dan yang ditempuh para sahabat.” (Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama).



4. Mengembalikan Urusan Ummat pada Ulama

Allah swt berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (TQS. An - Nahl: 43). Dalam menangani masalah, ummat hendaknya bertanya pada ahlinya. Jika sakit bertanya pada dokter, hendak membangun gedung meminta saran pada arsitek, maka dalam urusan kehidupan dunia dan akhirat maka hendaknya bertanya pada ulama.


Khatimah

Banyak orang yang salah dalam memuliakan ulama. Ketika masih hidup mereka memperlakukannya dengan sangat berlebihan hingga mengarah pada pengkultusan, dan ketika sudah wafat mereka juga memperlakukannya dengan berlebihan semisal mengambil tanah kuburan, mengkeramatkan kuburannya. atau meniru kebiasaan orang kafir dengan membuatkan patung atau yang lainnya. Kita ingat kisah Lata dan Uzza, tuhan para kaum kafir Qurays.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa sebelumnya Lata adalah nama seseorang yang sangat saleh dan dermawan. Setelah dia meninggal, orang orang sering berkumpul di samping kuburannya untuk mengenang kebaikan dan kewaliannya. Bahkan mereka membuatkan patung sebagai pengagungan atas kelebihan yang pernah dilakukannya. Seiring dengan perjalanan waktu, bibit syirik ini pun tumbuh dan mekar, bercabang cabang, mengakar dan berkembang biak. Mereka telah berpengharapan penuh dengan menyembah patung Lata, tak lagi sekedar kumpul kumpul mengenang kewaliannya.

Bukan dengan cara seperti itu islam memuliakan ulama’. Terhadap Ulama yang baik yang sesuai dengan kriteria syara’ maka ummat harus memuliakannya dengan senantiasa mengikuti nasehat dan petunjuknya namun tidak sampai pada perbuatan mengkultuskan atau memperlakukan dengan berlebihan (ghulul). Termasuk ketika ulama’ tersebut sudah wafat, maka cara memuliakannya dengan senantiasa mengamalkan ajarannya agar bisa menjadi amal jariyah bagi ulama tersebut.

Wallahu a’lam bi ashowab.

0 komentar:

Posting Komentar