Pertengahan Desember lalu publik mendapat suguhan berita tentang kasus sengketa di Kecamatan Mesuji (Sumatra Selatan) dan Kabupaten Mesuji (Lampung). Media banyak memberitakan dan mengulas kasus yang menyita perhatian publik negeri ini pasca diadukannya kasus ini ke DPR oleh sejumlah perwakilan masyarakat.
Kabupaten Mesuji Lampung bergolak akibat adanya tiga kasus konflik klaim tanah yang tumpang tindih antara penduduk lokal dan pelaku bisnis perkebunan Kelapa sawit. Kasus-kasus tersebut adalah : Pertama, Kasus yang pertama adalah pengelolaan lahan adat di Talang Pelita Jayam Desa Gunung Batu di dalam kawasan hutan tanam industri Register 45 Way Buaya pada tahun 2006 dan mengakibatkan kematian Made Asta pada 6 November 2010. Kedua, kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1533 hektar antara warga desa Sei Sodong dan PT. Sumber Wangi Alam yang berakhir dengan meninggalnya dua petani yang diduga dibantai di tengah kebun kelapa sawit pada 21 April 2011. Ketiga, sengketa antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning dengan PT. Barat Selatan Makmur Investindo dan mengakibatkan kematian Zaini pada 10 November 2011.(www.beritasatu.com/17122011)
Bila kita menilik kembali kronologi kasus Register 45 Mesuji Lampung maka kita ketahui banyak sekali kejanggalan yang terjadi dan kebijakan tumpah tindih kepemilikan lahan yang dikemudian hari berkembang menjadi sengketa tanah antara rakyat dan pengusaha sawit. Dalam sejarahnya pada tahun 1989 dibangun perkampungan di areal register 45 Sungai Buaya di dalam areal register 45. Didalam areal Register 45 sudah ada kampung bahkan kampung-kampung lainnya banyak terbentuk sejak akhir 80-an. Namun pada tahun 1991 Departemen Kehutanan memberikan areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri sementara kepada PT silva Inhutani Lampung di Register 45 Sungai Buaya Lampung seluas 32.600 Ha. Selanjutnya pada Tanggal 17 Pebruari 1997 Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan tentang pemberian Hak Pengusahaan HTI atas areal hutan seluas 10.500 Ha pada perusahaan yang sama. Terang saja keputusan ini mendapat penolakan dari masyarakat sekitar. Masyarakat Kampung Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kec. Way Serdang Kab Tulang Bawang Menuntut Reclaimming lahan kepada Gubernur Lampung pada tahun 1999. Menurut tokoh adat ketiga kampung tersebut, akibat terbitnya SK No. 93/Kpts-II/1997 tentang Pemberian Hak Pengusahaan HTI atas Areal Hutan seluas ± 43.100 Ha. kepada PT SIL, desa mereka masuk dalam kawasan dikuasai PT. SIL, Padahal daerah tersebut bukan hutan namun perkampungan penduduk, bahkan didaerah ini sudah banyak fasilitas umum seperti 3 (tiga) buah SD, dan 1 (satu) SMP, 3 (tiga) Masjid, 6 (enam) Mushalla, 2 (dua) Gereja, dan 3 (tiga) Pura. (http://walhi.or.id/15122011)
Repotnya lagi SK tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang dikeluarkan Pemerintah cenderung mengobral fasilitas pada pemilik modal dan kurang memberi dukungan pada masyarakat setempat. Berdasarkan Surat Dirjen Pengusahaan Hutan No. 1727/IV-PPH/1994 tanggal 29 Juni 1994 perihal Persetujuan Perluasan areal HTI PT SIL menjadi 43.100 Ha, PT SIL mendapat konsesi selama 45 tahun dengan persyaratan mudah, diantaranya : Melakukan penataan batas areal kerja selambatnya 2 tahun sejak ditetapkan SK, artinya saat SK tersebut dikeluarkan belum ada batas jelas atas lahan tsb. Hal ini memungkinkan pengusaha “berimprovisasi” untuk menentukan batas lahannya sendiri. Ketidakjelasan batas lahan ini juga memicu sengketa dan saling klaim diantara para pihak.
Perusahaan juga baru mendapat beban kegiatan secara nyata dan sungguh-sungguh selambatnya 6 bulan setelah SK diterbitkan. Selain itu investor hanya ditarget menanami 1/10 dari luas areal yang diberikan dalam waktu 5 tahun dan sisanya digarap dalam kurun waktu 25 tahun. Artinya 90% lahan (sekitar 38.000 ha) diperbolehkan menganggur tidak terawat. Sungguh ironis, ketika kebanyakan rakyat kesulitan mendapat lahan pertanian untuk dikelola sebagai seumber kehidupannya, Pemerintah justru memberi ruang kepada pemodal besar untuk menelantarkan lahannya yang luasnya mencapai ribuan hektar.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Berry Nahdian Furqan, dalam diskusi mengenai konflik Mesuji, di Jakarta,menyatakan Persoalan di Mesuji sudah sangat terang benderang. Konflik lahan itu berawal dari ketidakberesan pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam mengatur kepemilikan lahan antara perusahaan dan rakyat. (www.voanews.com/19122011)
Sementara itu Anggota komisi III DPR dari fraksi Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, menilai kejadian di Mesuji akan dijadikan bahan evaluasi semua peraturan yang menyangkut lahan. Didi Irawadi mengatakan, “Ini merupakan momentum kami untuk memperbaiki berbagai peraturan yang dianggap kurang berpihak pada rakyat. Peraturan itu harus adil dan proporsional antara kepentingan rakyat dan investor. Peraturan harus memakmurkam rakyat di kawasan eksploitasi tambang dan perkebunan. Ya, Pasal-pasal RUU pertanahan belum selesai, karena masih harus kami kaji mendalam.” (www.voanews.com/18122011)
Namun belum tuntas solusi konflik Mesuji, muncul konflik tanah di Bima Nusa Tenggara Barat, konflik perselisihan tanah areal Pertambangan PT Sumber mineral Nusantara dengan areal pemukiman warga kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu. Memang konflik perebutan tanah sering terjadi di negeri ini, baik antara sesama rakyat maupun rakyat dengan perusahaan atau dengan negara. (Seputar Indonesia.com)
HUKUM-HUKUM PERTANAHAN
Sesungguhnya bumi, air, udara dan alam semesta seluruhnya adalah ciptaan Allah dan oleh karenanya hak kepemilikan pada awalnya hanya milik al khaliq sebagaimana firman-Nya :”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (TQS An-Nuur [24]: 42). Namun Allah swt kemudian menetapkan syariat yang menjadi sebab kepemilikan bagi manusia termasuk menetapkan syariat kepemilikan tanah seseorang dengan enam sebab, Yakni Jual Beli, warisan, hibah/hadiah, menghidupkan tanah mati , memagari tanah, dan pemberian negara secara cuma-cuma. Inilah perspektif awal hukum pertanahan dalam Islam.
Pada masa jahiliyah sebelum datangnya islam, manusia membatasi kepemilikan tanahnya dengan cara membawa anjingnya ke tempat yang tinggi dan kemudian menyuruhnya melolong. Batas terdengarnya lolongan anjing itulah yang menjadi batas kepemilikan sang tuan tanah. Namun setelah datangnya Islam, maka turunlah syariat memagari tanah (tahjiir), yaitu membuat batas-batas tanah yang menunjukkan atas pembagian tanah dan membatasinya dengan batas-batas tertentu, seperti menaruh/membuat bebatuan, pagar, dinding, tiang-tiang besi, dan sejenisnya. Tanah yang dipagari / di batasi ini adalah tanah yang tidak produktif dan bukan hak milik siapapun. Memagari tanah sama seperti menghidupkan tanah. “Siapa saja yang membatasi tanah dengan dinding, maka ia berhak atas tanah itu.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dari Samurah). Seseorang boleh memagari tanah seluas yang diinginkan dan kemudian ia berhak mengelolanya. Namun jika dalam waktu tiga tahun tanah miliknya terbengkalai maka hak kepemilikan tanah tersebut hilang dengan sendirinya dan Negara berhak mengambil alih tanah tersebut untuk dibagikan pada orang lain yang membutuhkan. Rasulullah SAW bersabda : “Sebelumnya tanah itu milik Allah dan rasul-Nya, kemudian setelah itu milik kalian. Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka ia menjadi miliknya. Dan tidak ada hak bagi yang memagari setelah (menelantarkan tanahnya) selama tiga tahun.” (HR. Baihaqi dari Thariq). Umar bin Khaththab pernah berkata, “Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan.” Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Konsekuensinya timbul syariat lain yang dikenal dengan Al-Iqtha’
Al-Iqtha’ adalah tanah yang diberikan oleh negara kepada individu secara gratis. Tanah ini sudah dihidupkan tapi tidak ada pemiliknya. Dengan demikian negara memilikinya, dan negara berhak memberikan kepada rakyat yang membutuhkan secara gratis/cuma-cuma.
Adapun Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut, atau menjadikan tanah tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tanah mati adalah tanah yang tidak kelihatan bahwa tanah tersebut pernah dimiliki seseorang. Tidak tampak adanya bekas pagar, bangunan atau tanaman budidaya yang sengaja ditanam. Tidak ditemukan seseorang yang memiliki atau memanfaatkannya. Menghidupkan tanah mati berarti memakmurkannya, yaitu menjadikannya layak untuk lahan pertanian, seperti menanaminya pohon, membuat bangunan di atasnya, atau membuat sesuatu yang menunjukkan atas pemakmuran tanah. Sebagaiman sabda Rasulullah saw, yang artinya : “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Abu dawud, Tirmidzi dan Ahmad). Dan sabda beliau “Siapa saja memakmurkan tanah yang tidak dimiliki siapapun, maka dia berhak atas tanah itu.” (HR. Ahmad dari Aisyah)
Berdasarkan nash-nash di atas bahwa sesungguhnya Islam melarang seseorang memiliki tanah dengan tujuan untuk sekedar menguasai tanpa adanya pengelolaan, karena sesungguhnya tanah boleh dimiliki seseorang apabila tanah tersebut dimanfaatkan/dikelola bukan sekedar untuk investasi. Seseorang boleh memiliki tanah berapapun luasnya asal dikelola secara produktif dengan cara menanami atau mendirikan bangunan di atasnya.
Sementara itu dalam ideology kapitalis dengan ide kebebasan kepemilikannya memperkenankan (pemilik modal) untuk sebebas-bebasnya memiliki tanah, tidak masalah apakah untuk dikelola ataupun sekedar untuk investasi dikumpulkan sebanyak-banyaknya tanpa adanya pengelolaan. Hal ini menyebabkan pendistribusian tanah hanya menumpuk pada orang-orang tertentu [orang kaya], sedangkan orang yang tidak punya modal namun mempunyai kemampuan untuk mengelola tanah kesulitan memperoleh lahan untuk dikelola untuk mata pencahariannya. Akibatnya mereka hanya menjadi buruh tani atau buruh kebun dan hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal Allah SWT sudah mengingatkan: “…..supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (TQS. Al Hasr : 7).
Khatimah
Sungguh Negara memiliki peran besar dengar kewenangannya untuk mengatur kepemilikan lahan sebagai bagian riayah / pelayanannya pada ummat. Negara harus memiliki konsep landreform yang pro rakyat serta didukung oleh pencatatan administrasi yang baik agar tidak terjadi tumpang tindih kepemilikan ataupun kepemilikan lahan yang berlebihan karena hal itu bertentangan dengan hukum Allah swt dan berpotensi melahirkan banyak konflik pertanahan.
Wallahu a’lam bi ashowab
0 komentar:
Posting Komentar