Kasus pencurian sandal jepit di palu sulawesi tengah menambah daftar potret buram peradilan di Indonesia. Istilah peradilan negeri ini yang seperti pisau agaknya memang sulit dihindarkan. Tumpul keatas ketika mengadili orang-orang atas (baca : orang kaya atau pejabat) dan tajam ke bawah jika mengadili orang-orang bawah (orang miskin atau rakyat jelata).
Adapun kronologi versi Komisi Perlindungan Anak menyebutkan pada 27 Mei 2011 Anggota Brimob Palu, Briptu Ahmad Rusli Harahap dan Briptu Simson J. Sipayung, kehilangan sandal merek "Eiger". Kehilangan ini bukan kehilangan pertama. Tiga remaja, AAL, 15 tahun, FD (14), dan MSH (16), yang kebetulan ada di sekitar lokasi, diinterogasi oleh Briptu Simson dan Briptu Rusdi. Interogasi berupa penganiayaan berlangsung tiga jam. Pada 28 Mei 2011 setelah meminta visum di rumah sakit, orang tua AAL melaporkan Briptu Rusdi dan Briptu Simson ke Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Palu dengan tuduhan penganiayaan.
Merasa dilaporkan AAL, Briptu Rusdi dan Briptu Simson pun melaporkan AAL ke kepolisian dengan tuduhan pencurian. Tanpa ada barang bukti yang memadai, AAL sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kasus AAL masuk ke Pengadilan Negeri Palu pada 20 Desember 2011 (www.tempo.com/04012012). Akhirnya hakim Pengadilan Negeri Palu memutus AAL bersalah. Meski demikian, AAL tidak dipidana dengan hukuman penjara. Seperti tuntutan Jaksa Penuntut Umum, AAL dikembalikan kepada orang tua untuk mendapatkan pembinaan. (www.republika.co.id/04012012) Sementara Polda Sulteng menghukum Briptu Ahmad Rusdi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J Sipayang 21 hari karena terbukti menganiaya AAL.(www.detiknews.com/04012012)
Kasus ini mendapat perhatian luas dari publik karena dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat, mengingat hal ini hanya masalah hilangnya sebuah sandal yang sesungguhnya nilai rupiahnya tidak seberapa. Terlebih tersangka kasus ini adalah seorang anak sekolah yang menurut hukum negeri ini masih tergolong anak di bawah umur. Sementara di pihak lain sejumlah kasus bernilai milyaran bahkan trilliunan rupiah yang melibatkan para pejabat publik tak kunjung diadili atau masuk pengadilan namun tidak mendapatkan keadilan. Sayangnya ending dari kasus ini tercipta keputusan “setengah hati”, AAL terbukti bersalah namun tidak dihukum. Seharusnya, keputusan hakim tegas dan tidak ambigu, jika terbukti terdakwa bersalah maka harus dikenai sanksi, dan jika tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan secara murni.
Sistem Peradilan Islam
Pengadilan adalah tempat untuk mencari keadilan. Oleh karena itu peradilan Islam ditegakkan kepada seluruh rakyat tanpa membedakan suku, ras, etnik, agama, kaya atau miskin. Semua orang bisa diadili tidak peduli rakyat ataupun pejabat, meliputi kasus besar ataupun kecil. Fungsi peradilan Islam sebagai penegakan syari’at Islam yang Rohmatal lil’alamin, memberlakukan metode hukum dan sistem pembuktian yang Islami. Peradilan Islam tidak memperlakukan rakyat yang melanggar hukum sebagai musuh, melainkan untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran hukumnya saja. Pengadilan berfungsi menentukan pihak yang benar dan salah kemudian memberi sanksi pada pihak yang bersalah sesuai kesalahannya. Pengadilan juga menentukan pihak yang berhak dan tidak berhak kemudian memberikan kepada masing-masing pihak sesuai dengan haknya.
Tugas kepolisian hanya mengumpulkan bukti-bukti di lapangan saja. Sedangkan semua pertanyaan yang diperlukan adalah tugas hakim yang menanyakan saat di ruang persidangan. Pertanyaan tidak boleh dengan cara diinterogasi/di ruang tertutup. Sedangkan siapa saja yang menuduh/menuntut kemudian ternyata dia tidak bisa membuktikan tuduhannya maka dia akan dikenai pelanggaran fitnah dan akan terkena sanksi ta’zir.
Metode peradilan Islam juga memberikan kepastian hukum secara riil, bukan manipulasi atau permainan. Jika seorang hakim/Qodhi sudah menetapkan keputusan hukuman maka hukuman itu harus dilaksanakan, keputusan itu tidak bisa dianulir lagi. Tidak seperti pengadilan yang sedang berjalan saat ini yang bisa melakukan upaya hukum lanjutan beberapa kali sehingga keputusan berubah-ubah. Oleh karena itu dalam Islam juga memiliki metode pembuktian dan semuanya tetap dilandasi oleh aspek ruhiyah yang kuat.
Metode Pembuktian dalam Islam
Untuk membuktikan benar atau tidaknya dakwaan maka proses pembuktian merupakan perkara yang amat menentukan. Oleh karena itu, Islam telah menetapkan jenis pembuktian yang diakui legalitasnya yaitu:
a. Pengakuan
Jika seseorang telah mengaku telah melakukan suatu tindakan kriminal di pengadilan maka qâdhi (Hakim) tidak serta merta menerima pengakuan itu hingga ia yakin bahwa pengakuan tersebut lahir dari kesadaran orang tersebut. Hal ini didasarkan pada sikap Rasulullah saw. yang tidak langsung menerima pengakuan Maiz yang mengaku telah berzina. Abu Abdullah bin Buraidah meriwayatkan: Maiz bin Malik al-Aslami mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, saya telah menzalimi diri saya dan telah berzina. Saya berharap Anda bersedia mensucikan saya.” Namun, Rasulullah menolaknya. Pagi harinya ia datang lagi dan berkata, “Ya Rasulullah, saya telah berzina.” Lalu ia ditolak lagi. Rasulullah kemudian mengirim utusan kepada kaumnya dan bertanya, “Apakah kalian mengetahui ada yang buruk pada akal Maiz dan kalian mengingkarinya?” Mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui kecuali akalnya sama dengan orang shalih di antara kami.” Lalu Maiz datang ketiga kalinya. Rasul mengutus lagi utusan untuk mengetahui akalnya, namun tidak ada yang ganjil darinya. Tatkala ia datang keempat kalinya maka Rasul membuatkan lubang untuknya dan memerintah-kan orang-orang untuk merajamnya. Lalu ia pun dirajam (HR Muslim)
b. Sumpah
Adapun sumpah yang dijadikan sebagai bayyinât sumpah yang atas peristiwa yang telah terjadi. Itu dilakukan setelah seseorang diminta oleh qâdhi di pengadilan. Sumpah pihak pendakwa atau terdakwa tidak sah jika tidak diminta oleh qâdhi. Demikian pula isi sumpah adalah sebagaimana yang dimaksudkan oleh qâdhi bukan yang dimaksudkan oleh pihak yang bersumpah. Jika, misalnya, ia bersumpah dengan ungkapan tauriyah (peryataan bersayap) atau dengan syarat yang disamarkan maka yang berlaku adalah apa yang dimaksudkan oleh hakim. Ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw: ”Sumpah itu berdasarkan niat dari pihak yang meminta sumpah” (HR Muslim).
c. Kesaksian
Hukum memberikan saksi adalah fardhu kifayah. Dengan kata lain, jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan. Dengan pemahaman ini seorang saksi tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan sebab bersaksi merupakan perbuatan yang bernilai pahala. Sebagaimana sabda rasulullah SAW dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, jika kamu tidak mampu maka cegahlah dengan lisanmu dan jika kamu tidak mampu juga maka cegahlah dengan hati. Dan itulah selemah-lemahnya iman (HR. Muslim). Salah satu cara mencegah / menghentikan seseorang dari melakukan kemunkaran secara lisan adalah dengan bersaksi di depan pengadilan. Kesaksian ini harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara langsung pada peristiwa tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah saw.: Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun jika tidak, maka tinggalkanlah (HR al-Baihaqi dan al-Hakim )
Syarat saksi yaitu: balig, berakal dan adil. Sifat adil merupakan hal yang penting. Definisi adil adalah orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya. Orang-orang yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: orang yang mendapat sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), anak yang bersaksi kepada bapaknya dan bapak kepada anaknya, istri kepada suaminya dan suami kepada istrinya, pelayan (al-khâdim) yang lari dari pekerjaannya serta orang yang bermusuhan dengan terdakwa. Kesaksian palsu merupakan salah satu perbuatan yang sangat dikecam di dalam Islam. Rasulullah saw. Bersabda : Dari Anas dari Nabi saw. beliau bersabda, “Dosa-dosa yang paling besar adalah menyekutukan Allah, membunuh orang, durhaka kepada kedua orangtua dan berkata bohong atau beliau bersabda bersaksi bohong (HR al-Bukhari).
c. Dokumen tertulis
Penggunaan dokumen tertulis menjadi landasan yang tak terpisahkan dalam perkembangan tsaqâfah Islam, seperti pada ilmu fikih dan hadits. Demikian juga pada masa Rasulullah hingga Khalifah dan qâdhi setelahnya juga banyak bertumpu pada dokumen. Dokumen setidaknya ada tiga jenis, yaitu dokumen yang bertandatangan, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak bertanda tangan. Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi pendakwa hanya diterima jika dihadirkan di pengadilan
Idrok Shilah Billah
Islam menjadikan bukti yang lahiriah yang menjadi dasar dalam pengadilan sehingga peluang terjadinya rekayasa oleh pihak yang berperkara dalam menghadirkan bukti-bukti di pengadilan dapat saja terjadi. Hal ini memang tidak ditampik oleh Islam. Oleh karena itu aspek ruhiyah (Idrok Shilah Billah = kesadaran hubungan dengan Allah) menjadi pokok kunci dalam segala hal termasuk dalam pengadilan. Artinya setiap orang yang beriman hendaknya beramal dengan kesadara bahwa setiap perbuatannya di dunia akan dipertanggungjawabkannya di akhirat pada pengadilan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya : “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (TQS. Al Hijr : 92-93).
Rasulullah saw. juga bersabda: Sesungguhnya kalian berselisih di hadapanku dan boleh jadi sebagian dari kalian lebih fasih dalam berargumentasi dari yang lain sehingga saya memutuskan berdasarkan apa yang saya dengar darinya. Siapa yang saya berikan padanya hak saudaranya maka janganlah ia mengambilnya karena sesungguhnya saya telah memberikan untuknya bagian dari neraka (HR al-Bukhari-Muslim).
Demikian pula halnya dengan qâdhi. Peluang untuk memanipulasi hukum sangat terbuka lebar karena di tangannyalah keputusan berada. Rasulullahpun mengingatkan para qodhi ini dengan sabdanya, “Qadhi ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. Qâdhi yang masuk surga adalah qâdhi yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya; sementara qâdhi yang mengetahui kebenaran lalu ia menyimpang darinya ketika memutuskan perkara maka ia di neraka. Demikian pula qâdhi yang memutuskan perkara dengan jahil maka ia pun masuk neraka.” (HR Abu Daud).
Dengan penerapan sistem peradilan Islam, metode pembuktian dalam Islam disertai aspek ruhiyah yang kuat akan didapat hasil keputusan pengadilan yang adil dan kepastian hukum. Tidak seperti saat ini, keadilan menjadi barang mahal yang sulit dicari. Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah?
WalLâhu a’lam bish Shawâb.
0 komentar:
Posting Komentar