Minggu, 26 Februari 2012

Pengelolaan Lahan Secara Benar, Menuju Kemandirian Negara

Konflik tanah di Mesuji Lampung merupakan salah satu fakta yang sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian dan penyelesaian serius dari negara, sebab sengketa tanah tersebut telah banyak memakan korban. Di samping itu, masih banyak kasus serupa yang belum tertangani, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) terdapat 13.000 kasus sengketa tanah di Indonesia masih belum terselesaikan, periode Januari 2011 hingga Juni 2011, baru sekitar 1.333 dari 14.337 perkara tanah yang terselesaikan (www.kontan.co.id).
Sejak diberlakukan Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, hingga 2011, setidaknya 189 petani yang tewas, ditembak dan dianiaya (www.vivanews.com). Bagaimanakah pandangan Islam terhadap masalah pertanahan? Dan apa yang seharusnya dilakukan Negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan?

Hukum Kepemilikan Tanah
Kenapa tanah banyak diperebutkan orang, karena tanah memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan, misalnya untuk membangun tempat tinggal, gedung, sarana kegiatan, bahkan sebagai tempat untuk bercocok tanam. Karenaya wajar, jika terjadi konflik  antara individu dengan individu lainnya, individu dengan lembaga/yayasan, bahkan individu dengan instansi pemerintah. Meski demikian, konflik  yang terjadi hendaknya diselesaikan dengan cara yang baik dan benar, bukan dengan cara-cara kriminal yang hanya menguntungkan orang-orang kuat/besar saja, sebagaimana yang banyak terjadi dalam peradilan saat ini. Begitu pula pemilikan tanah harus diperoleh dengan cara yang benar pula.
            Islam telah menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk di dalamnya tanah adalah  milik Allah SWT, Allah berfirman : “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali.” (QS. An Nuur: 42). Kemudian Allah SWT memberikan kekuasaan kepada manusia untuk mengelolanya berdasarkan hukum-hukum-Nya. Allah SWT berfirman : “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (QS. Al Hadid: 7).
Dengan demikian, kepemilikan (milkiyah) dalam Islam, didefinisikan sebagai hak yang telah ditetapkan Allah SWT bagi manusia untuk memanfatkan suatu benda. Hukum Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, baik terkait dengan zat maupun manfaat tanah itu sendiri. Dalam Islam tanah dibagi menjadi dua macam, yaitu tanah usyriah dan tanah kharajiyah. Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, misalnya Indonesia dan Madinah, begitu juga yang termasuk dalam tanah usyriah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya Makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang. Tanah usyriah ini adalah tanah milik individu, baik zatnya maupun pemanfaatannya. Oleh karena itu, individu boleh memperjualbelikan, menghibahkan, mewariskan, mewakafkan, dan sebagainya.
Sedangkan Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan, misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian, misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. Tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin, maka secara zatnya tanah ini milik negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu, sedangkan manfaatnya adalah milik individu. Oleh karena itu,  tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan, namun tidak boleh diwakafkan karena zat tanah ini milik negara.
Adapun Islam memberikan cara kepada seseorang untuk dapat memiliki tanah, salah satunya adalah dengan cara menghidupkan tanah mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak adanya bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan dan lainnya. Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) adalah mengelola tanah untuk ditanami, dengan demikian tanah yang dihidupkannya menjadi miliknya, Nabi Saw bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu adalah hak miliknya” (HR. Imam Bukhori dari Umar). Nabi Saw bersabda: “Siapa saja yang telah memagari tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya(HR. Abu Daud).
Namun  kepemilikan atas suatu tanah akan berhenti atau pindah kepada orang lain apabila tanah tersebut dibiarkan begitu saja atau tidak dikelola selama tiga tahun.  Yahya bin Adam meriwayatkan melalui sanad Amru bin Syu’aib, beliau mengatakan : “Rasulullah Saw telah memberi sebidang tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah, kemudian mereka mengabaikkannya, lalu ada suatu kaum menghidupkannya. Umar berkata : “Kalau seandainya tanah tersebut pemberian dariku, atau dari Abu Bakar, tentu aku akan mengembalikannya, akan tetapi (tanah tersebut) pemberian Rasulullah saw.” Dia (Amru bin Syuaib) berkata : “ Umar mengatakan : “Siapa saja yang mengabaikan tanah selama tiga tahun, yang tidak dia kelola, lalu ada orang lain mengelolanya, maka tanah tersebut adalah miliknya’.”
Oleh karena itu, siapa saja yang menghidupkan tanah mati dan mengelolanya dialah yang berhak atas kepemilikan tanah tersebut. Adapun sengketa tanah yang terjadi saat ini, harus diselesaikan dengan cara dan hukum yang benar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan apalagi sampai jatuh banyak korban. Negara harus berpihak kepada kebenaran bukan kepada loby ataupun kepentingan yang menguntungkan pihak tertentu dengan mengorbankan rakyatnya sendiri. Di sisi lain, Negara mempunyai kewajiban menjamin kebutuhan pokok setiap warga negaranya yang tidak mampu seperti kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal, serta kebutuhan pokok bagi seluruh rakyatnya, yang meliputi kesehatan, pendidikan dan keamanan. Berbicara pemenuhan kebutuhan pokok, sesungguhnya berbicara bagaimana strategi pengelolaan (produksi) akan tanah pertanian dan distribusi makanan pokok secara benar.

Tanggung Jawab Negara Terhadap Produktivitas dan Pemenuhan Makanan Pokok Rakyat
Minimnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian, dan hanya menitikberatkan pada sektor industri yang selama ini dijadikan sebagai tumpuan perekonomian nasional telah mengakibatkan tumbuhnya konglomerasi dan tergerogotinya fondasi perekonomian bangsa. Padahal kalau kita perhatikan, sesungguhnya sektor pertanian memiliki peran yang sangat strategis, di mana pada tahun 2003 telah memberikan sumbangan sebesar 12% kepada PDB nasional serta menyediakan kesempatan kerja kurang lebih 60% dari total tenaga kerja keseluruhan, juga sebagai penyedia pangan bagi 220 juta penduduk dan bahan baku industri, sumber devisa, sekaligus sebagai pasar potensial bagi produk-produk manufaktur. Sektor pertanian khususnya petani pangan telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kestabilan nasional melalui ketahanan pangan.
Sudah saatnya negeri-negeri Islam melepaskan diri dari skenario kapitalisme global yang merugikan pertanian dan petaninya. Karena kapitalisme dengan konglomerasinya hanya akan memperluas kesenjangan dan menambah kemiskinan. Pada tahun 1997, 1,3 milyar penduduk dunia hidup < US$ 1/kapita/hari dan 2,8 milyar penduduk hidup < US$ 2/kapita/hari termasuk 840 juta penduduk dunia kelaparan. Lebih dari 1 milyar penduduk dunia tidak mempunyai akses cukup terhadap air, 2 milyar penduduk tidak punya akses cukup tehadap obat-obatan esensial. Bank Dunia memperkirakan 18 % dari Dunia Ketiga ekstrim miskin dan 33 % miskin. Di Indonesia sendiri terdapat 37,3 juta jiwa penduduk miskin (17,42%) dan sebagian kecil dari jumlah tersebut busung lapar (2003) (www.ekonomirakyat.org).
Jika pemerintah menjadikan sektor pertanian hanya sebagai sektor sekunder, dan lebih memprioritaskan sektor industri manufaktur, perkotaan dll maka sulit untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan pangan yang bisa dilakukan pemerintah hanyalah mengimpor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), total beras impor yang masuk Indonesia hingga September 2011 telah mencapai 1,9 juta ton atau senilai 8,48 trilliun yang berasal dari Vietnam, Thailand, AS, Cina, India, Pakistan dan negara lainnya.
Impor boleh-boleh saja, akan tetapi hanya untuk sesaat, ketika negara sudah mampu memproduksi sendiri, maka negara tidak boleh lagi mengimpor, kecuali individu atau swasta. Karena ketergantungan impor makanan pokok dapat dijadikan senjata oleh negara lain untuk melumpuhkan perekonomian, politik hingga keamanan negara, sebagaimana yang dilakukan negara-negara Kapitalisme saat ini terhadap negeri-negeri kaum muslimin, seperti embargo makanan terhadap rakyat Palestina dan sebagainya. Oleh karena itu, negara harus membangun kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyatnya, dalam hal ini negara wajib menyediakan kebutuhan makanan pokok berupa beras sebagai makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia.
Untuk membangun kemandirian tersebut sektor pertanian harus mendapatkan perhatian yang serius dari negara. Negara harus bertanggung jawab terhadap masalah produksi beras tanpa menggantungkan kepada petani. Negara juga tidak boleh mengandalkan dan memaksa petani  untuk swasembada beras, terserah rakyat mau menanami lahannya dengan padi atau jenis tanaman yang lain. Negara harus berusaha sendiri dalam produksi beras tersebut dengan menyediakan segala sesuatunya agar produksi beras secara kualitas dan kuantitas dapat tercapai.
Karena itu, negara harus menyiapkan lahan sendiri untuk produksi beras tersebut, bukan malah menyibukkan diri dengan menanam tanaman sekunder yang bukan termasuk makanan pokok, seperti kopi, kakao, karet, tembakau, teh, tebu, kelapa sawit, dll. Kewajiban negara adalah melayani urusan rakyat bukan berbisnis, berbisnis adalah urusan individu atau swasta. Oleh karena itu, sudah semestinya perusahaan-perusahaan milik negara seperti Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) harus mengalihkan produksinya dari produk-produk pertanian sekunder ke produk-produk pertanian pokok seperti beras, jagung, ketela, sagu, dll, yang semuanya itu hanya berorientasi kepada kepentingan rakyat.
Untuk menunjang tercapainya pemenuhan kebutuhan pokok, negara juga harus mempunyai industri berat sendiri yang menunjang pertanian, seperti : mesin pembajak (traktor), mesin penanam biji-bijian, alat penebar pupuk, mesin pemotong, dll, tidak boleh bergantung kepada negara lain baik mesin /alat lainnya maupun suku cadangnya. Negara boleh membeli mesin/alat pertanian, tetapi hanya untuk sesaat saja sambil menciptakan mesin/alat pertanian sendiri. Di samping itu, negara juga harus mempunyai laboratorium dan tenaga ahli di bidang pertanian untuk meneliti dan menciptakan inovasi baru produk-produk unggulan pertanian yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas makanan pokok. Apabila hal itu dilakukan, maka negara akan mandiri dan tidak lagi bergantung kepada negara lain.
Negara juga harus bertanggung jawab terhadap kondisi kebutuhan pangan rakyatnya, rakyat miskin harus dijamin kebutuhan makannya secara cuma-cuma, negara juga harus mengontrol harga beras di pasaran, jika harga beras melambung tinggi, maka negara harus melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga tersebut. Peran seperti Bulog (Badan Usaha Logistik) harus dioptimalkan untuk operasi pasar demi kestabilan harga, bukan sebagai alat untuk berbisnis.
Oleh karena itu, jika negara lalai terhadap tanggung jawabnya, maka dapat diajukan kepengadilan, jika terbukti salah, maka qodhi  makamah madzolim dapat menjatuhi sanksi. Tanggung Jawab negara harus melayani semua kebutuhan rakyat bukan kepentingan kapitalisme, karena pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya...” (HR. Bukhari dan Muslim).  Wallahu a’lam bishshowab.

0 komentar:

Posting Komentar