Minggu, 15 Juli 2012

Penanganan Korupsi Yang Menggurita



Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kitab suci Al Quran dan laboratorium komputer untuk madrasah tsanawiyah. KPK telah menetapkan anggota Komisi VIII sekaligus anggota Badan Anggaran DPR RI, Zulkarnaen Djabar sebagai tersangka penerima suap. Putra sulung Zulkarnaen, Dendi Prasetia Zulkarnaen Putra yang menjabat sebagai Direktur Utama di PT Karya Sinergi Alam Indonesia juga ditetapkan sebagai tersangka.
Pasangan bapak dan anak ini diduga menerima hadiah berupa uang senilai Rp 4 miliar lebih terkait proyek pengadaan di Kemenag tahun 2011-2012. Zulkarnaen bersama Dendi diduga telah mengarahkan anggaran dan mempengaruhi pemenangan rekanan untuk tiga proyek Kemenag, antara lain proyek pengadaan laboraturium untuk madrasah tsanawiyah tahun 2011 senilai Rp 31 miliar, pengadaan kitab suci Al Quran tahun 2011 senilai Rp 20 miliar dan pengadaan Al Quran tahun 2012.
Mengguritanya kasus korupsi telah membuat rakyat menjadi resah terlebih kasus ini menyentuh bagian yang seharusnya sakral dan religious, yakni korupsi pengadaan al qur’an. Berbagai pendapatpun bermunculan menuntut hukuman yang tegas pada pelaku tindak pidana korupsi. Diantara mereka ada yang mengusulkan pemiskinan pelaku korupsi, hukuman pengasingan bagi koruptor di pulau tersendiri, bahkan ada yang mengusulkan agar mereka dihukum mati seperti di Cina.
MUI dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV yang berlangsung pada 29 Juni-2 Juli 2012 di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, menyatakan aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti berasal dari korupsi adalah bukan milik pelaku. Karenanya, aset tersebut harus dirampas dan diambil oleh negara, sedangkan pelakunya tetap dihukum pidana.
Apapun usulannya, yang jelas masyarakat menginginkan kasus korupsi dapat diberantas tuntas. Lalu apakah masih bisa tindak korupsi ini diberantas?

Penyebab Korupsi
Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003).
Faktanya, korupsi yang terjadi di negeri ini sudah menjadi lingkaran setan dan persoalan sistemik artinya perbuatan ini bukan hanya kinerja individu tapi sudah menjadi kinerja secara berkelompok dan mengakar kuat sehingga agak sulit diberantas.
Menurut Erika Evida, sebab-sebab terjadinya korupsi adalah 3 (tiga) faktor berikut : Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya warisan pemerintahan kolonial. Ketiga, sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara tak halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah. (Erika Evida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003).
Pendapat diatas sebenarnya masih sebab-sebab parsial saja atau bukan penyebab utama. Sebenarnya yang menjadi penyebab utama adalah kerusakan sistem. Semua sistem yang berasal dari aqidah kufur atau ideologi kufur barat pasti akan melahirkan problem korupsi bukan hanya individunya tapi sudah menjadi problem sistemik. Sebagai contoh problem ini tidak hanya terjadi di negeri kita tapi juga banyak bermunculan dinegara-negara seperti Amerika, Eropa, cina, dan sebagainya.
Faktor ideologis (kapitalis) tersebut terwujud dalam nilai-nilai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Faktor ini benar-benar telah merusak tatanan sistem suatu negara. Negara menjadi bobrok, pejabat menjadi tidak amanah dan hanya berfikir mendapat kekuasaan, sementara masyarakat yang didominasi pengusaha hanya berfikir mendapat keuntungan.
Sebagai contoh, kerusakan sistem yang mendorong korupsi adalah sistem demokrasi melalui pilkada. Tingginya biaya politik untuk menjadi Kepala daerah atau menjadi anggota legislatif menjadi faktor pendorong maraknya korupsi kepala daerah. Hingga tahun 2012  ada 173 kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) yang tersangkut berbagai kasus korupsi.
Selain faktor sistem sebagai faktor utama, kita juga tidak boleh melupakan ada faktor lain penyebab korupsi diantaranya : Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.

Hukum Korupsi
Korupsi dalam Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah), sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam. Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepadanya.
Korupsi hukumnya haram. Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… . Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak(HR Muslim, an-Nasai).
Dilihat dari aspek keharamannya maka jelaslah tindak pidana korupsi ini harus dihilangkan/diberantas, baik ada yang menuntutnya ataupun tidak. Tanpa ada tuntutan dari rakyat pun sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengusut, menyelidiki, dan mengadili para pelaku-pelakunya. Mengenai penanganan atau pemberantasan korupsi ini, apakah pemerintah sudah melakukan upaya? Tentu saja sudah.
Di Indonesia sudah dibentuk KPK yang mempunyai misi melakukan pemberantasan korupsi. Lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan untuk mencegah korupsi seperti BPK dan Bawasda juga ada. Berbagai undang-undang juga sudah dibuat untuk memberantas korupsi, di antaranya UU no 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU no 20/2001 tentang perubahan atas UU no 31/1999, dan UU No 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Namun bagaimana hasilnya? Boleh dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum memuaskan, jika tak bisa dikatakan gagal. Indonesia sudah berkali-kali menjadi juara negara paling korup di Asia.

Mencegah Korupsi Menurut Syariah Islam
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Oleh karenanya untuk menghapus korupsi sampai ke akar-akarnya tentunya harus dengan menghapus faktor penyebab utamanya yang rusak yaitu ideologi kapitalis yang bobrok yang mendasari negeri ini.
Tak dapat dipungkiri, di Indonesia berlaku pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem hukum ini sebenarnya adalah warisan kafir penjajah, bukan inisiatif asli bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Dalam sistem hukum plural ini terdapat 3 (tiga) sistem hukum; yaitu sistem hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem hukum Barat.
Jadi, pada dasarnya sistem hukum plural ini tidak bersumber dari aqidah Islam.  Allah SWT berfirman :”Laa yusyrik fi hukmihi ahadan.” Artinya, Allah tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum. (QS Al-Kahfi : 26). Maka, sistem hukum plural yang syirik dan warisan kafir penjajah ini sudah semestinya dihapuskan dari muka bumi. Melaksanakan sistem syirik ini bagi kami sama saja dengan melanggengkan penjajahan di negeri ini.
Dengan diterapkannya Syariah Islam (nantinya) sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, maka Syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif). Selain itu pada masa kejayaannya dulu kasus korupsi dalam Islam sangat rendah, mengapa demikian? Selain karena sistem yang shahih, Islam juga memiliki penanganan secara preventif.
Ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam antara lain : Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah).
Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”
Kedua, Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan  kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Umar sangat tegas dan serius dalam melakukan penghitungan harta ini. Menurut kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengkalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa).
Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk karena digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik.
Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal). Bahkan Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Kelima, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Sesungguhnya Hukum syara bisa tegak di muka bumi karena dilaksanakan oleh tiga pilar utama, yakni : (a) ketaqwaan individu, dimana seseorang menjaga dirinya sedini mungkin untuk tidak terlibat dalam kemaksiatan (korupsi) sebagai implementasi keimanannya pada Allah & rasul-Nya, (b) kontrol masyarakat, dimana  kaum muslimin disyariatkan untuk saling beramar ma’ruf nahi munkar, (c) Penegakan Hukum / sanksi oleh Negara.
Sanksi bagi koruptor disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat). hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR Abu Dawud). 

Khatimah
Sebenarnya kelima hal penanganan korupsi diatas sudah dilaksanakan, akan tetapi mengapa korupsi masih juga belum dapat diberantas? Sekali lagi semua karena faktor sistem yang rusak. Karena itu jika ummat ingin negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, maka satu – satunya pilihan adalah meninggal sistem kapitalisme dan hijrah menuju sistem Hukum Islam sebagaimana telah terbukti Islam berjaya selama hampir 14 abad namun tindak kejahatan korupsi sangat rendah. Wallahu a’lam bi showab




0 komentar:

Posting Komentar