Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami penyidikan kasus dugaan korupsi
proyek pengadaan kitab suci Al Quran dan laboratorium komputer untuk madrasah
tsanawiyah. KPK telah menetapkan anggota Komisi VIII sekaligus anggota Badan
Anggaran DPR RI, Zulkarnaen Djabar sebagai tersangka penerima suap. Putra
sulung Zulkarnaen, Dendi Prasetia Zulkarnaen Putra yang menjabat sebagai
Direktur Utama di PT Karya Sinergi Alam Indonesia juga ditetapkan sebagai
tersangka.
Pasangan
bapak dan anak ini diduga menerima hadiah berupa uang senilai Rp 4 miliar lebih
terkait proyek pengadaan di Kemenag tahun 2011-2012. Zulkarnaen bersama Dendi
diduga telah mengarahkan anggaran dan mempengaruhi pemenangan rekanan untuk
tiga proyek Kemenag, antara lain proyek pengadaan laboraturium untuk madrasah
tsanawiyah tahun 2011 senilai Rp 31 miliar, pengadaan kitab suci Al Quran tahun
2011 senilai Rp 20 miliar dan pengadaan Al Quran tahun 2012.
Mengguritanya kasus korupsi telah membuat rakyat menjadi resah terlebih
kasus ini menyentuh bagian yang seharusnya sakral dan religious, yakni korupsi
pengadaan al qur’an. Berbagai pendapatpun
bermunculan menuntut hukuman yang tegas pada pelaku tindak pidana
korupsi. Diantara mereka ada yang mengusulkan pemiskinan pelaku korupsi, hukuman pengasingan bagi
koruptor di pulau tersendiri, bahkan
ada yang mengusulkan agar mereka dihukum mati seperti
di Cina.
MUI
dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV yang berlangsung pada 29
Juni-2 Juli 2012 di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, menyatakan aset
pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti berasal dari korupsi adalah bukan
milik pelaku. Karenanya, aset tersebut harus dirampas dan diambil oleh negara, sedangkan pelakunya tetap dihukum pidana.
Apapun
usulannya, yang jelas masyarakat menginginkan kasus korupsi dapat diberantas
tuntas. Lalu apakah masih bisa tindak korupsi ini diberantas?
Penyebab Korupsi
Korupsi
didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau
perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau
orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 231). Definisi lain
menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat
atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika
Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital
Library, 2003).
Faktanya, korupsi yang terjadi di negeri ini sudah menjadi
lingkaran setan dan persoalan sistemik artinya perbuatan ini bukan hanya
kinerja individu tapi sudah menjadi kinerja secara berkelompok dan mengakar
kuat sehingga agak sulit diberantas.
Menurut
Erika Evida, sebab-sebab terjadinya korupsi adalah 3 (tiga)
faktor berikut : Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan
perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua,
budaya warisan pemerintahan kolonial. Ketiga, sikap mental pegawai yang ingin
cepat kaya dengan cara tak halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada
pengetahuan pada bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat
pemerintah. (Erika Evida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya,
USU Digital Library, 2003).
Pendapat diatas sebenarnya masih sebab-sebab parsial saja atau bukan
penyebab utama. Sebenarnya yang menjadi penyebab utama adalah kerusakan sistem.
Semua sistem yang berasal dari aqidah kufur atau ideologi kufur barat pasti
akan melahirkan problem korupsi bukan hanya individunya tapi sudah menjadi
problem sistemik. Sebagai contoh problem ini tidak hanya terjadi di negeri kita
tapi juga banyak bermunculan dinegara-negara seperti Amerika, Eropa, cina, dan
sebagainya.
Faktor
ideologis (kapitalis) tersebut
terwujud dalam nilai-nilai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berkiblat
kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Faktor ini benar-benar
telah merusak tatanan sistem suatu negara. Negara menjadi bobrok, pejabat
menjadi tidak amanah dan hanya berfikir mendapat kekuasaan, sementara masyarakat yang didominasi pengusaha hanya berfikir mendapat
keuntungan.
Sebagai
contoh, kerusakan sistem yang mendorong korupsi adalah
sistem demokrasi melalui pilkada. Tingginya biaya politik
untuk menjadi Kepala daerah atau menjadi anggota legislatif menjadi faktor
pendorong maraknya korupsi kepala daerah. Hingga tahun 2012 ada 173 kepala daerah
(gubernur/bupati/walikota) yang tersangkut berbagai kasus korupsi.
Selain
faktor sistem sebagai faktor utama, kita juga tidak boleh melupakan ada faktor
lain penyebab korupsi diantaranya : Pertama, faktor lemahnya karakter
individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua,
faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang
berawal dari inisiatif masyakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang
lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi
bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.
Hukum Korupsi
Korupsi
dalam Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah
penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi
mencuri (sariqah), sebab definisi
mencuri (sariqah) adalah mengambil
harta orang lain secara diam-diam. Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang
mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan
seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepadanya.
Korupsi
hukumnya haram. Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy
bin ‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai
kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami
(menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap
kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu,
kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… . Siapa yang kami beri
tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang
diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak
diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa saja yang mengambil harta
saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan
ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai
Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun
sekecil kayu siwak” (HR Muslim,
an-Nasai).
Dilihat
dari aspek keharamannya maka jelaslah
tindak pidana korupsi ini harus dihilangkan/diberantas, baik ada yang
menuntutnya ataupun tidak. Tanpa ada tuntutan dari rakyat pun sudah merupakan
kewajiban pemerintah untuk mengusut, menyelidiki, dan mengadili para
pelaku-pelakunya. Mengenai penanganan atau pemberantasan korupsi ini, apakah
pemerintah sudah melakukan upaya? Tentu saja sudah.
Di
Indonesia sudah dibentuk KPK yang mempunyai misi melakukan pemberantasan
korupsi. Lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan untuk mencegah korupsi seperti
BPK dan Bawasda juga ada. Berbagai undang-undang juga sudah dibuat untuk
memberantas korupsi, di antaranya UU no 31/1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, UU no 20/2001 tentang perubahan atas UU no 31/1999, dan UU No
28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi
dan nepotisme). Namun bagaimana hasilnya? Boleh dikatakan pemberantasan korupsi
di Indonesia masih belum memuaskan, jika tak bisa dikatakan gagal. Indonesia
sudah berkali-kali menjadi juara negara paling korup di Asia.
Mencegah
Korupsi Menurut Syariah Islam
Pada
dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Oleh karenanya
untuk menghapus korupsi sampai ke akar-akarnya tentunya harus dengan menghapus
faktor penyebab utamanya yang rusak yaitu ideologi kapitalis yang bobrok yang
mendasari negeri ini.
Tak
dapat dipungkiri, di Indonesia berlaku pluralisme sistem hukum. Pluralisme
sistem hukum ini sebenarnya adalah warisan kafir penjajah, bukan inisiatif asli
bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Dalam sistem hukum plural ini terdapat
3 (tiga) sistem hukum; yaitu sistem hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem
hukum Barat.
Jadi, pada dasarnya sistem hukum plural ini tidak bersumber dari aqidah Islam. Allah SWT berfirman :”Laa yusyrik fi
hukmihi ahadan.” Artinya, Allah
tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum. (QS Al-Kahfi : 26). Maka, sistem
hukum plural yang syirik dan warisan kafir penjajah ini sudah semestinya
dihapuskan dari muka bumi. Melaksanakan sistem syirik ini bagi kami sama saja
dengan melanggengkan penjajahan di negeri ini.
Dengan
diterapkannya Syariah Islam (nantinya) sebagai satu-satunya sistem hukum
tunggal di negeri ini, maka Syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang
sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif)
maupun penindakan (kuratif). Selain itu
pada masa kejayaannya dulu kasus korupsi dalam Islam sangat rendah, mengapa
demikian? Selain karena sistem yang shahih, Islam juga memiliki penanganan
secara preventif.
Ada 6
(enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam antara lain : Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan
integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam,
mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah
(kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah).
Nabi
SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari
Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab
pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau
karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya,
dan kaum mukminin.”
Kedua, Negara wajib
melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin
Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah
menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak
menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu
akan menumpuk….”
Ketiga, negara wajib
memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja
yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah.
Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau
kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak
berkhianat.”
Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para
aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah
kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.”
(HR
Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW
berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan
suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan
bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para
pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Umar
sangat tegas dan serius dalam melakukan penghitungan harta ini. Menurut
kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengkalkulasi
harta kepala daerah Sa’ad bin Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa).
Putranya
ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta
gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri,
unta anaknya itu gemuk karena digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul
Mal di padang gembalaan terbaik.
Ketika
Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “ Aku tidak
bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul
Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk
modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan
penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal). Bahkan Muhammad
bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru
setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Kelima, pengawasan oleh negara dan masyarakat.
Sesungguhnya Hukum syara bisa tegak di muka bumi karena dilaksanakan oleh tiga
pilar utama, yakni : (a) ketaqwaan individu, dimana seseorang menjaga dirinya
sedini mungkin untuk tidak terlibat dalam kemaksiatan (korupsi) sebagai
implementasi keimanannya pada Allah & rasul-Nya, (b) kontrol masyarakat,
dimana kaum muslimin disyariatkan untuk
saling beramar ma’ruf nahi munkar,
(c) Penegakan Hukum / sanksi oleh Negara.
Sanksi
bagi koruptor disebut ta’zir, yaitu
sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa
mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim,
bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah),
pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu
hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman
ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat). hadis dari Jabir bin Abdullah,
Rasulullah SAW bersabda : Tidak
diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan
[termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR Abu Dawud).
Khatimah
Sebenarnya
kelima hal penanganan korupsi diatas sudah dilaksanakan, akan tetapi mengapa
korupsi masih juga belum dapat diberantas? Sekali lagi semua karena faktor
sistem yang rusak. Karena itu jika ummat ingin negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,
maka satu – satunya pilihan adalah meninggal sistem kapitalisme dan hijrah
menuju sistem Hukum Islam sebagaimana telah terbukti Islam berjaya selama
hampir 14 abad namun tindak kejahatan korupsi sangat rendah. Wallahu
a’lam bi showab
0 komentar:
Posting Komentar