Senin, 30 Juli 2012

Ukhuwah Di Tengah Perbedaan


Alhamdulillah, Ramadhan 1433 H sudah berjalan sepekan. Pemerintah telah menetapkan masuknya bulan Ramadhan 1433 H pada Sabtu (21/7/2012) lalu. Sayangnya Ramadhan kali ini kembali diwarnai perbedaan. PP Muhamadiyah jauh hari telah menetapkan 1 Ramadhan dimulai pada tanggal 20 Juli 2012.
Adanya beberapa saksi yang melihat hilal di lokasi ru'yatul hilal di Cakung, Jakarta Timur tidak cukup meyakinkan pemerintah untuk memutuskan Ramadhan bersama pada tanggal 20 Juli.  Sementara Sejumlah negeri Islam, dan Negara – Negara di Eropa, Amerika, Afrika, dan beberapa negara di Asia, termasuk  Arab Saudi menetapkan 1 Ramadhan 1433 H dimulai pada 20 Juli 2012.
Perbedaan ini bukanlah yang pertama kali terjadi, bahkan perbedaan awal dan akhir ramadhan serta penetapan 10 dzulhijjah ini masih berpotensi terjadi di masa depan. Silang pendapat ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap sabda Nabi Muhammad saw:
”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.”
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kata-kata ”kira-kirakanlah” berarti ”sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari”. Alasan jumhur fuqaha memegangi penafsiran tersebut adalah karena adanya hadits shahih Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi Saw bersabda:
”Jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari.”
Namun ada pula fuqaha yang berpendapat bahwa penafsirannya adalah ”kirakanlah dengan memakai hisab (perhitungan)”. Menurut Rasyid Ridha perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab.
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.
Sementara Mustafa Az-Zarqa menjelaskan bahwa para fuqaha terdahulu menentang penggunaan hisab adalah karena (1) hisab pada zaman itu masih spekulatif, dan (2) karena hisab masih tercampur dan berbau penujuman (astrologi). Adapun pada zaman sekarang hisab telah mencapai perkembangan spektakuler dan memiliki akurasi yang tinggi serta telah terbebas dari cemaran penujuman.
Lebih jauh para ulama hisab mendalilkan ijtihadnya berdasarkan pada firman Allah swt :
Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (QS. ar-Rahman, 55:5)
serta
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (QS. Yunus, 10: 5).
Cara memahaminya adalah bahwa pada surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5, Allah swt menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan Bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat.
Artinya kedua metode, baik hisab dan rukyat sesungguhnya sama – sama memiliki landasan dalil yang kuat. Keduanya juga merupakan hasil ijtihad dari para ulama yang mempunyai kapabilitas untuk menggali hukum (istinbath) berdasarkan dalil syara. Jika rukyat mendapat dukungan dari keempat imam mazhab, maka hisab sendiri juga dirintis oleh seorang ulama besar pada generasi tabi’in, Mu’arrif Ibn ‘Abdillah Ibn as-Syikhkhir (w. 95 H/714 M).
Para ulama berpandangan bahwa penggunaan ilmu falak sesungguhnya sangat bersesuaian dengan fakta dalam mengetahui peredaran matahari dan bulan serta tidak ada keraguan di dalamnya. Maka sesungguhnya yang demikian itu memberikan bukti yang qath’iy dan meyakinkan berdasar dalil naqli di dalam memahami fakta.
Allah swt berfirman dalam QS. Al Baqarah : 185 yang artinya,”….. Barangsiapa diantara kamu menyaksikan (datangnya) bulan itu, maka berpuasalah……”, adalah kesaksian (syahida) terhadap datangnya bulan (syahra) ramadhan. Sesungguhnya yang diwajibkan adalah berpuasa di bulan ramadhan. Adapun persaksian datangnya bulan itu dapat menggunakan hisab ataupun rukyat yang merupakan uslub (cara) dalam rangka mengetahui bulan, karena uslub adalah cara untuk menetapkan sesuatu menurut jenisnya.
Oleh karena itu ummat hendaknya tidak berselisih mengenai metode mana yang akan digunakan untuk menetapkan awal dan akhir ramadhan. Ijtihad seorang mujtahid adalah hukum syara’, sehingga ummat yang meyakini hasil ijtihad tersebut dipersilakan berkomitmen menjalankan ijtihad tersebut dalam keseharian sembari menghormati perbedaan pendapat diantara kaum muslimin, terutama perbedaan pendapat yang berkaitan dengan masalah cabang (furu’iyyah).
Bahkan sebenarnya perbedaan metode (hisab ataupun rukyat) bukanlah faktor utama penyebab terjadinya perbedaan penetapan awal dan akhir ramadhan ini. Perbedaan ini justru lebih disebabkan oleh faktor politis. Keputusan ini lebih bersifat politis, karena memang yang dihadapi tidak lagi hukum atau teknis, tetapi masalah yang berkaitan dengan politik juga, yakni semangat kebangsaan (nasionalisme) sempit.
Sebab realitasnya sebagian ummat islam Indonesia telah memulai Ramadhan 1433 H bersamaan dengan mayoritas ummat Islam di luar negeri, sebagaimana juga pada 1 syawal 1432 H tahun kemarin sebagian ummat islam Indonesia juga berhari raya bersamaan dengan kebanyakan hari raya negeri islam yang lain. Artinya hasil hisab (wujudul hilal) memiliki hasil yang konsisten dengan hasil rukyat (internasional).
Rukyat internasional sendiri adalah metode yang juga diperkenankan oleh syara. Sebagaimana hasil diskusi Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Syria & Lebanon dengan tema "Penyatuan Itsbat Awal/akhir Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah" pada 8 September dan 9 Oktober 2007 yang lalu, menyatakan diperbolehkan bagi pemerintah (sah) menjadikan ru'yatul hilal internasional sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, karena ini sesuai dengan pendapat jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) serta sesuai dengan kemaslahatan umat Islam pada zaman sekarang.
Namun negeri ini memilih mengikuti pendapat mazhab syafi’I yang condong kepada rukyat lokal yang berlaku satu mathla’, yang kurang lebih radius 24 farsakh (sekitar 120 KM). Sesungguhnya pendapat ini adalah pendapat yang benar sesuai dengan syara’. Namun pada prakteknya batas rukyat mathla’ ini berubah menjadi rukyat wilayatul hukmi, yaitu bahwa bila hilal terlihat di mana pun di wilayah wawasan Nusantara, dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Konsekuensinya, meskipun wilayah kita dilewati oleh garis penanggalan Islam Internasional yang secara teknis berarti bahwa wilayah Indonesia terbagi atas dua bagian yang mempunyai tanggal hijriyah yang berbeda, penduduk melaksanakan puasa secara serentak. Artinya pengambilan keputusan lebih dipengaruhi oleh faktor ego nasionalisme yang sempit, karena setiap negeri Islam akhirnya memutuskan sendiri – sendiri penetapan awal dan akhir ramadhannya.
Padahal ummat Islam adalah ummat yang satu. Tiada beda antara muslim Indonesia, Malaysia, arab Saudi, amerika ataupun yang lain. Wajibnya sholat bagi muslim di Asia juga berlaku bagi muslim di benua lain. Wajibnya puasa bagi muslim india juga berlaku bagi muslim di tempat lain. Hajinya setiap muslim di seluruh penjuru bumi juga hanya satu, yakni di Baitullah.
Dari sini terlihat bahwa faktor fiqih dan teknis yang beraneka ragam itu harus disatukan, dan itu tidak bisa selain dengan suatu otoritas yang legitimate baik secara real politis maupun secara syar’i, yang akan mengadopsi salah satu pendapat yang dapat berlaku secara universal bagi seluruh kaum muslimin. Keberadaan seorang Khalifah sebagai amirul mukminin dapat menghilangkan perselisihan karena tabbaninya merupakan perintahnya juga wajib ditaati ummat, sebagaimana kaedah syara : amru imam yarfa’ul khilaf, perintah imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat.
Sungguh kaum muslimin saat ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengawal mereka dalam menegakkan syariat Allah dan Rasul-Nya. Seorang pemimpin yang taat pada Allah dan Rasulullah. Pemimpin yang mengambil kepetusan berdasarkan aqidah dan hukum Islam, dan bukan pemimpin yang mengambil keputusan berdasarkan pemikiran mabda (ideology) ghairu islam.
Oleh karena itu jika ummat ingin dan mengawali dan mengakhiri ramadhan sesuai dengan hukum syara, maka silakan memilih menggunakan metode hisab ataupun rukyat dan beramal sesuai dengan keyakinannya tersebut. Toh keduanya adalah sama – sama metode yang dibenarkan oleh syara. Namun jika ummat menginginkan persatuan, maka kepemimpinan tunggal atas kaum muslimin adalah jawabannya !
Wallahu a’lam bi ashowab.






0 komentar:

Posting Komentar