Senin, 24 September 2012

Sertifikasi Da'i


Dalam sebuah diskusi di Sindoradio, bertajuk "Teror Tak Kunjung Padam" di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9/2012), Prof. Dr. Irfan Idris, mewacanakan sertifikasi dai dan ustadz. "Dengan sertifikasi, maka pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi," ujarnya. (www.hidayatullah.com/09092012).

Sebelumnya Sosiolog Universitas Nasional, Nia Elvina, MS.i, mengusulkan bahwa Kementerian Agama bisa mewacanakan untuk melakukan sertifikasi ulama sehingga mempunyai kredibilitas yang tinggi. "Jika dosen dan guru pun bisa disertifikasi, apakah tidak mungkin juga dilakukan bagi ulama," kata Nia Elvina (www.antaranews.com/03092012)

Ide ini dianggap wacana yang aneh, maka tak ayal ide para akademisi ini ditolak oleh sejumlah ulama. "Panggilan kiai atau ustadz itu yang menyebutkan masyarakat, bukan pemberian dari Pemerintah. Pemerintah terlalu jauh kalau ngurusi hal-hal seperti ini," tegas Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Hal senada juga diungkapakan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, KH. Ma’ruf Amien,’ "Untuk apa sertifikasi seperti ini? Sertifikat ulama ini dari masyarakat, bukan dari pemerintah. Jadi, tidak perlu sertifikasi seperti itu," jelasnya (www.voa-islam.com). Membaca situasi opini ini, Ansyad Mbai (Ketua BNPT) membantah pihaknya menggulirkan isu sertifikasi ulama di Indonesia. Menurut Ansyad yang benar adalah Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mencontohkan Singapura yang melakukan sertifikasi ulama.



Mencontoh Singapura ?

Singapura adalah sebuah Negara kecil yang diapit oleh dua negeri muslim, Indonesia dan Malaysia. Singapura telah menerapkan kebijakan yang represif terhadap umat Islam. Di Singapura, gerak-gerik umat Islam selalu diawasi. Bukan hanya ulama’nya, tetapi juga umatnya. Untuk mengontrol dan mengawasi para ulama’, Singapura menerapkan kebijakan sertifikasi ini. Bagi siapapun yang tidak mempunyai sertifikat (tauliah), meski secara keilmuan dan kualifikasi keulamakannya diakui, tetap tidak bisa memberikan ceramah di muka umum. Mereka tidak bisa memberikan khutbah, ceramah maupun kajian, baik di masjid maupun di tempat terbuka.

Tidak hanya itu, naskah khutbahnya pun mereka dikte, dimana setiap Jum’at, mereka hanya diperbolehkan membaca naskah khutbah yang disediakan oleh Majelis Ugama Islam (MUIS) Singapura. Jika mereka melanggar, mereka akan dicabut tauliah-nya, dan bisa dijerat dengan UU ISA. Di setiap masjid, dan tempat-tempat umat Islam berkumpul, special branch (SB) atau intel ditempatkan. Tidak hanya itu, CCTV pun di pasang di mana-mana, termasuk di dalam masjid, untuk mengintai gerak-gerik umat Islam di sana, dan memonitor isi khutbah atau kajian yang disampaikan. (www.eramuslim.com)

Hal ini sebenarnya wajar dilakukan oleh negeri seperti singapura yang merupakan kaki tangan Amerika dan Israel di Asia Tenggara. Mereka telah menerapkan paradigma dakwah islam sebagai lawan politik sehingga melakukan control terhadap dakwah islam secara overdosis. Oleh karena itu tentu saja singapura tidak layak dijadikan teladan bagi negeri kita dalam mengambil kebijakan dalam urusan keagamaan.



Dakwah, Perintah Allah !

Sesungguhnya gelar ulama datang dengan sendirinya seiring kealiman seseorang berdasarkan pengakuan masyarakat. Kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Ulama bukan orang yang memegang SIM (surat izin mubaligh) dari lembaga tertentu untuk bisa ceramah atau dakwah dimimbar-mimbar, forum tertutup maupun terbuka. Sebuah pembodohan jika berupaya membangun mindset masyarakat (umat Islam) untuk menerima atau menolak ulama berdasarkan ada tidaknya sertifikat yang dimiliki seseorang

Ulama’ adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ yang artinya,“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda ra).

Ide sertifikasi ini seolah-olah telah menjadi sebuah opini untuk menghalangi manusia beramar ma’ruf nahi mungkar, menghalangi atau setidaknya membatasi amal melaksanakan perintah Allah untuk berdakwah. Ide ini merupakan bentuk perendahan terhadap para ulama atau para aktivis dakwah yang melanjutkan aktivitas para nabi. Jika dakwah dilarang maka tak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada ummat ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673).

Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)

Sesungguhnya dakwah adalah kewajiban semua orang yang meyakini Allah dan rasulNya. Dakwah bukan hanya kewajiban para ulama, kyai, ustadz, tuan guru, teuku ataupun syeikh belaka, namun dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Sebagaimana firman Allah swt,” Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (TQS. Al Fushillat : 33). Bahkan Rasulullah SAW menegaskan pula dengan sabdanya : “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).

Artinya setiap muslim mempunyai tanggung jawab menjalankan dakwah islam sesuai kemampuannya (kadar ilmunya). Oleh karena itu menjadi tidak relevan jika seorang sosiolog mengusulkan pada Kementerian Agama untuk melakukan sertifikasi ulama sehingga mempunyai kredibilitas yang tinggi, dengan alasan ada mantan narapidana, preman atau artis bisa jadi mubaligh.

Apapun statusnya, jika dia seorang muslim maka wajib baginya mendakwakan islam sesuai batas pengetahuannya. Maka benarlah apa yang dikatakan Ketua Mahmakah Konstitusi Mahfud MD, “Sertifikasi ustadz itu berbahaya, di dalam Islam siapa pun dapat menjadi ustadz, orang yang mengerti satu ayat saja diharuskan berdakwah, saya sangat tidak setuju, negara malah menekan rakyatnya, bukan melindunginya. Ini melanggar HAM dan harus kita lawan, ini lebih orde baru dari orde baru,” ujar Mahfud yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia.



Kualifikasi Ulama

Siapa yang berdakwah dalam islam tidak ada syarat khusus, setiap individu punya kewajiban berdakwah. Dalam islam hanya ditetapkan syarat-syarat khusus seorang boleh menjadi mujtahid atau ahli hadits, seorang boleh mengajarkan ilmunya ataukah tidak. Jadi yang menjadi patokan bukan memiliki sertifikat atau ijazah atau tidak, tapi izin dari gurunya yang telah mendidiknya.

Dr. Abdurrahman Al Baghdady menuliskan bahwa dalam sejarah kejayaan Islam di masa lalu, pendidikan Islam menggunakan teknik muhadlarah (diskusi) untuk menguji kemampuan seseorang (siswa). Jika telah selesai seseorang menuntut ilmu tertentu, kitab tertentu atau keahlian khusus lainnya maka akan disebar undangan pada para dewan guru untuk diadakan sebuah sidang yang dihadiri oleh ulama dan ilmuwan.

Jika telah tampak kecakapan seseorang dalam sidang tersebut maka ia mendapat sejumlah hak, diantaranya : 1. Mengajarkan ilmunya, 2. Meriwayatkan hadist Rasulullah Muhammad SAW yang berasal dari gurunya, 3. Berfatwa, 4. Hal lain sesuai kapasitas keilmuannya, 5. Ijazah/sertifikat sebagai “bonus’” atas keberhasilannya lulus ujian. Tekhnik muhadlarah dianggap tekhnik terbaik untuk mengukur kemampuan seseorang sehingga ia layak mengajar, berfatwa, berijtihad dll dan bukan hanya sekedar mengejar title atau selembar ijazah.

Jika seorang muslim ingin meningkatkan kualifikasi dirinya dari seorang mubaligh yang menjalankan kewajiban dakwah islam menjadi seorang ulama yang berhak berijtihad maka ia harus memenuhi syarat tertentu. Ini merupakan syarat khusus untuk menjadi mujtahid yang diperbolehkan berijtihad dan tidak semua orang bisa dikategorikan mujtahid.

Syarat-syarat mujtahid antara lain Menguasai Al Qur’an dan As Sunah, menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan, mengetahui asas – asas ushul fiqh, memahami nasakah dan mansukh ayat, asbabun nuzul ayat, serta mengetahui ijma’ dan keputusan – keputusan hukum sebelumnya. Jadi dalam Islam, jika seseorang telah memenuhi syarat-syarat mujtahid baru ia boleh berijtihad. Semua ini telah menjadi ketentuan hukum syara’, telah ada dalam aturan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu tidak layak membuat standart sendiri, sebab syarat dakwah atau mujtahid telah ditetapkan oleh syari’at.



Khatimah

Sesungguhnya dakwah islam adalah kewajiban yang ditetapkan Allah swt terhadap hamba – hambaNya yang beriman. Kewajiban dakwah ini setara dengan kewajiban kaum muslimin yang lain seperti Sholat, zakat, puasa, haji, menuntut ilmu, berbakti pada orang tua dll. Setiap orang wajib beramal sesuai kemampuanya, berkontribusi pada dakwah islam dengan ilmunya, tenaganya, ide dan pemikirannya, hartanya dsb.

Barangsiapa melaksanakan kewajiban ini maka ia termasuk orang yang beruntung (lihat QS. Al Imran : 104) dan barangsiapa yang meninggalkannya maka ia adalah orang yang merugi. Maka selayaknyalah jika setiap muslim terlibat dalam kegiatan syiar islam, tanpa lupa untuk terus menambah ilmu dan kemampuannya. Dan sungguh menjadi sebuah ironi jika para pengemban dakwah dihalangi untuk beramal karena suatu alasan yang tidak ditetapkan oleh syara’.

Wallahu a’lam bi ashowab

 




0 komentar:

Posting Komentar