Rabu, 16 Januari 2013

Persamaan Hak Di Depan Hukum

Persamaan hak dalam pandangan hukum kembali dipertanyakan oleh masyarakat, di saat kecelakaan maut BMW putra Hatta Radjasa (menteri perekonomian ) membawa korban. M.Rasyid Amrullah Hatta Radjasa telibat kecelakaan maut saat mengemudikan mobil BMW X5 B 272 HR di Tol Jagorawi Km 3,500, sekitar Cililitan Jakarta Timur. Mobil yang dikemudikannya menghantam mobil Daihatsu Luxio F 1622 CY. Akibat kejadian ini dua orang tewas dan tiga lainnya terluka.


Sebagaimana yang diungkapkan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto, Putra bungsu Menko perekonomian Hatta Rajasa mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sehingga tidak bisa dia kendalikan. “kecepatan di atas 100 km lebih”, ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto Rabu (2/1/2013). Sebelum terjadi kecelakaan Rasyid diketahui menghadiri acara di Kemang, kemudian mengantar teman wanitanya di daerah Tebet. Rasyid pulang dari Kemang pukul 01.00 WIB. lalu berada di rumah teman wanitanya hingga subuh. "

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto, mengatakan bahwa hasil tes urine yang telah dilakukan terhadap Rasyid terdapat kandungan obat maag. Sang ayah membenarkan jika anaknya memiliki penyakit maag kronis. “ada kandungan obat maag dalam tes urine”, ujar Rikwanto.

Namun, Rikwanto belum bisa memastikan apakah kecelakaan tersebut karena obat maag yang dikonsumsi oleh Rasyid sebelum kecelakaan maut tersebut terjadi. ”kita lihat hasil dokter lebih lanjut saja,“ papar Rikwanto. Akibat dari kecelakaan maut ini, putra bungsu hatta Rajasa dijerat dengan Pasal 283 junto Pasal ayat 5 pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dengan ancaman hukuman 5 tahun ke atas.



Meski demikian Polisi terkesan memberi perlakuan istimewa kepada Rasyid. Misalnya :

1. Polisi rahasiakan keberadaan Rasyid

Usai kecelakaan, Rasyid jejaknya menghilang. polisi dan keluarga bungkan saat ditanya dimana Rasyid. Polisi beralasan bahwa Rasyid masih trauma dan dirawat di Rumah Sakit. Namun Polisi merahasiakan di RS mana Rasyid dirawat. ”Kami tidak boleh memberikan informasi“. pasal 18 tentang UU Keterbukaan Informasi publik. Dimana saat dalam penyidikan kami tidak boleh memberi informasi gamblang”. ujar Kasubdit Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP Sudarmanto. Belakangan diketahui jika Rasyid dirawat di RS Pusat Pertamina. Mengapa bukan RS Polri?. Apakah hal serupa juga akan dilakukan polisi jika Rasyid bukan anak menteri ?

2. Tak hanya Rasyid Rajasa yang disembunyikan, mobil BMW SUV X5 yang dikemudikan tersangka juga diistimewakan. Polisi mengaku sempat memanggil mekanik BMW untuk memperbaiki mobil dengan pelat B 272 HR itu.

3. Polisi melakukan sejumlah tes urine kepada Rasyid Rajasa untuk mengetahui apakah yang bersangkutan mengkonsumsi narkoba atau tidak. Pengamat hukum Pidana Bambang Widodo Umar meminta Kompolnas melakukan tes serupa di rumah sakit swasta untuk mencari perbandingan apakah tes yang dilakukan Polri benar-benar objektif. Namun hal itu rupanya tidak digubris oleh Poda. Mereka beranggapan tes yang dilakukan RS Polri Kramatjati sudah objektif

4. Tidak ada sama sekali foto di TKP yang menjelaskan secara detail kronologis dari kecelakaan yang dialami Rasyid (Merdeka.com)

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keistimewaan penanganan kasus kecelakaan maut yang dialami Rasyid Rajasa ini juga akan diberikan kepada orang biasa “yang bukan anak menteri” ?



Kejadian yang nyaris sama juga terjadi di medan. Seorang ABG mengemudikan Xenia menabrak dan menewaskan bocah. Namun bedanya, tersangka langsung ditahaan Kantor Satlantas Polresta Medan sejak Selasa (1/1/2013) siang. Padahal, ABG tersebut juga trauma akibat kecelakaan yang dialaminya.

Namun, karena pengemudi Xenia itu bukan putra seorang Menteri, dia langsung ditahan. Tentu saja ini tidak adil. Lantas, bagaimanakah Islam menjelaskan tentang keadilan hukum? Adakah perlakuan istimewa yang diberikan Islam kepada pejabat dan keluarganya ketika mereka bermasalah dengan hukum? Tulisan berikut ini akan menguraikannya.



Paradigma penegakan hukum di dalam sistem kapitalisme

Ketidakjelasan kepada siapa hukum harus berpihak seringkali menimbulkan tarik ulur antar pelaku hukum. Kondisi ini akan terus terjadi di setiap negeri kaum muslimin yang menegakkan peradilan dengan asas Sekulerisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini menganggap tidak akan ada pertanggungjawaban di akhirat, karena menurut mereka, Tuhan hanya mengurus urusan ritual, dan Tuhan tidak ikut campur urusan kemasyarakatan dan kenegaraan. Jargon mereka “Berikan hak Kaisar pada Kaisar dan berikan hak Tuhan pada Tuhan.

Asas sekuler ini membentuk peradilan Kapitalisme yang selalu memihak kepada mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. Hukum hanya menjadi aturan yang dibuat untuk dilanggar. Hukum Kapitalisme adalah hukum buatan manusia yang memang tidak mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada secara serasi serta memuaskan semua pihak. Keterbatasan akal manusia dalam membuat produk hukum yang bisa menjangkau masa depan dan mengakomodir semua kepentingan yang ada, membuat hukum buatan manusia memiliki banyak celah untuk dijadikan komoditi bisnis dan menjadi alat mempermainkan rakyat.

Tidak adanya kepastian hukum buatan manusia menjadikan hukum ini sangat lemah dan rentan sekali ditafsirkan menurut kepentingan mereka yang bermain dalam proses peradilan. Bagi mereka yang memiliki uang dan kekuasaan bisa dengan mudah membeli hukum dengan menyewa pengacara yang handal untuk mendapatkan hukuman seringan – ringannya, atau bila mungkin bebas murni yang kadang dilakukan tanpa melihat bobot kesalahan yang dilakukan terdakwa.

Tentu kita masih ingat kisah nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao karena kemiskinannya divonis 1,5 bulan. Padahal harga kakao yang dicurinya tidak lebih dari Rp 10.000. Sedangkan para koruptor yang telah merugikan negara trilyunan rupiah banyak dari mereka yang akhirnya bisa “melenggang kangkung” keluar negeri. Bebas dari jeratan hukum karena kepiawaian mereka membeli hukum.

Walhasil, muncullah apa yang disebut ketidakpastian hukum. Karena paradigma proses penegakan hukum buatan manusia berdasarkan “tawar menawar” antara berbagai kepentingan yang ada di dalamnya, dengan dukungan uang dan kekuasaan.

Supremasi penegakan hukum seperti ini hanya akan menciptakan masyarakat yang apatis terhadap nilai-nilai keadilan dan bukan tidak mungkin terjangkiti putus asa hukum. Akhirnya, cita-cita kehidupan yang aman dan adil akan semakin kabur.



Peradilan Islam

Peradilan Islam adalah metode untuk menegakkan hukum syara’. Peradilan Islam memposisikan baik rakyat ataupun pejabat, si kaya ataupun si miskin, memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Siapa pun yang bersalah dihadapan hukum maka dia akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukannya.

Hal ini menegaskan, jika ada pejabat negara yang tidak menjalankan tugasnya memberikan pelayanan terhadap rakyat dalam urusan penjaminan kebutuhan pokok, maka pejabat tersebut dapat dijatuhi sanksi peradilan dengan proses peradilan yang ditegakkan oleh Mahkamah mahdzalim. Sehingga tidak ada istilah “kebal hukum“ bagi pejabat negara yang telah bersalah.

Hal ini tentu saja tidak akan kita temukan pada hukum buatan manusia yang ditegakkan di negeri – negeri Kaum muslimin saat ini. Hukum Islam adalah buatan As Syari’ (Allah) yang tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap manusia. Hukum yang dibuat As Syari’ adalah peraturan hidup yang diturunkan Allah untuk mengatur kehidupan manusia sehingga tercipta kehidupan yang tertib, adil dan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.

Metode peradilan Islam juga memberikan kepastian hukum secara riil, bukan semu, manipulasi, atau permainan. Sebab dalam peradilan Islam tidak ada banding dalam putusan hakim, harus dijalankan dan tidak boleh dianulir oleh siapa pun, termasuk oleh Khalifah/Kepala Negara. Rasul SAW bersabda : “Dari Amru bin Ash telah mendengar Rasul SAW bersabda :”Apabila seorang hakim mengambil keputusan dalam peradilan dengan ijtihadnya yang kemudian ternyata keputusannya benar, maka dia mendapat pahala dua, namun jika ternyata keputusan ijtihadnya keliru maka dia mendapat pahala satu” (HR. Bukhari).



Hukum Islam memiliki kelebihan dibandingkan hukum-hukum buatan manusia, meliputi:

Hukum Islam adalah hukum yang baik, yang ditaati oleh pemeluknya yang memandang bahwa semua manusia memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Peradilan Islam tidak memperlakukan rakyat yang melanggar hukum sebagai musuh, melainkan pelanggaran hukum saja yang harus diproses secara adil, tidak disikapi sebagi musuh yang harus dimusnahkan dengan dimata-matai, diinterogasi dan dituduh dengan berbagai fitnah dan rekayasa untuk menciptakan ketakutan.

Memberi tugas kepada kepolisian secara proporsional, mengumpulkan bukti di lapangan saja. Sedangkan semua pertanyaan yang diperlukan di BAP adalah tugas hakim menanyakannya di ruang persidangan terbuka untuk umum, dan tidak boleh dilakukan di ruang yang tertutup interogasi. Begitu juga sebaliknya, rakyat/pejabat yang telah terbukti di peradilan bersalah, maka tidak ada perlindungan hukum kepada mereka, apalagi membuat mereka yang bersalah menjadi bebas dari hukum.

Tidak boleh ada diskriminasi kekebalan hukum atas nama menjalankan tugas negara. Rasululullah SAW pernah mengingatkan bahayanya melakukan diskriminasi hukum. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan Aisyah ra, bahwa orang-orang Quraisy sedang digelisahkan oleh perkara seorang wanita Makhzum yang mencuri. Mereka berkata: Siapakah yang berani membicarakan masalah ini kepada Rasulullah saw.? Mereka menjawab: Siapa lagi yang berani selain Usamah, pemuda kesayangan Rasulullah saw. Maka berbicaralah Usamah kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: Apakah kamu meminta syafaat dalam hudud Allah? Kemudian beliau berdiri dan berpidato: Wahai manusia! Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu ialah, manakala seorang yang terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya. Namun bila seorang yang lemah di antara mereka mencuri, maka mereka akan melaksanakan hukum hudud atas dirinya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya. (Shahih Muslim No.3196)

Para penegak hukum Islam memiliki pemahaman yang kuat, bahwa peradilan Islam memiliki aspek ruhiyah, yaitu mereka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat terhadap setiap keputusan hukum yang dibuat. Sehingga proses penegakannya jauh dari unsur manipulasi dan permainan. Rasa takut yang lahir dari ketakwaan para penegak hukumnya ini yang membuat hukum Islam yang diterapkan mampu memberikan keadilan untuk semua kalangan tanpa membedakan suku, ras, etnik, agama, status sosial, rakyat ataupun pejabat.

Hukum Islam berfungsi sebagai kafarat (jawabir) atau pengganti sanksi di akhirat, sehingga ketika sudah dijatuhkan sanksi oleh peradilan Islam, maka di akhirat akan dibebaskan dari siksa neraka. Berbeda dengan hukum buatan manusia, tidak akan berfungsi seperti ini, sehingga di akhirat tetap terkena siksa neraka, kecuali jika dia bertaubat sebelum wafat dan taubatnya diterima Allah swt. Wallhua’lam. Fungsi jawabir inilah yang mendorong orang yang melanggar hukum dengan kesadaran penuh datang kepada negara minta dijatuhi sanksi, bukan mencari celah hukum untuk menghindari sanksi sebagaimana dalam sistem hukum jahiliyyah.

Seperti kasus Maiz dan Ghomidiyah, wanita dari suku Juhainah, ia menghadap Rasulullah SAW dan mengaku berzina serta minta disanksi sebagai penebusan dosanya, lalu ia dirajam hingga mati. Rasulullah SAW berkomentar tentang mereka : ” Sungguh ia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan tertutup semuanya”. Mereka mengakui pelanggaran yang dilakukannya agar mereka dikenai had (hukuman) oleh Rasulullah dan rela menanggung sakitnya had dan qishas di dunia, karena takut azab akhirat.



Hukum Islam merupakan Zawajir, yaitu hukum yang akan memberi efek jera terhadap pelakunya dan akan memberi pelajaran berharga pada masyarakat untuk tidak melakukan hal yang sama, karena akan mendapatkan sanksi yang sama, tanpa diskriminasi, adil dan kepastian hukum. Allah berfirman :” Dan di dalam qishash itu (jaminan kelangsungan) hidup bagimu ,hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa”. (TQS. Al Baqarah: 179).

Maksudnya, disyariatkannya (hukum) qishash bagi kalian, yakni membunuh si pembunuh di dalamnya terdapat hikmah yang sangat besar, yaitu menjaga jiwa. Sebab jika si pembunuh mengetahui akan dibunuh juga maka ia akan merasa takut untuk melakukan pembunuhan. Itu sebabnya di dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa manusia. Dengan Hukuman yang adil tanpa diskriminasi akan memberikan shock terapi (efek jera) yang hebat untuk tidak melakukan kejahatan.



Khotimah

Peradilan Islam adalah metode untuk menegakkan syari’at Islam. Peradilan Islam bersumber dari aturan-auran Islam yang dibuat oleh Allah (As Syari’) yang pasti membawa keadilan bagi manusia. Sebab Hukum Allah tidak akan condong atau berpihak ke salah satu pihak, layaknya hukum manusia yang amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat, sistem maupun personal yang mengambil keputusan.

Penegakkan hukum syara’ di dalam kehidupan masyarakat Islam, mengharuskan adanya 3 pilar yaitu : ketaqwaan individu, kontrol masyarakat dan penegakan hukum oleh negara. Ketika ketiga pilar ini berjalan dengan baik, maka terciptalah sebuah masyarakat yang berwibawa yang memiliki peradilan yang adil.

Sehingga prinsip Equality of Law (persamaan hak di hadapan hukum) di dalam Islam bukan hanya sebuah jargon kosong tanpa bukti. Inilah kesempurnaan hukum Islam jika dibandingkan hukum yang lain. Allah berfirman: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al Maidah:50)

Wallahu a’lam bi ashowab

0 komentar:

Posting Komentar