Jakarta dan kota-kota besar lainnya terancam banjir, untuk Jakarta ancaman banjir datang dari berbagai penjuru, air dari atas/air hujan, dari bawah, dengan amblasnya tanah yang mencapai 5-10 cm per tahun di bawah permukaan air laut. Hal ini akan berakibat banjir Rob, masuknya air laut ke daratan dari semua arah, sehingga Jakarta terancam terendam air dari segala penjuru.
Menurut Pengamat Transportasi dan Perkotaan Yayat Supriatna, tanah di Jakarta sudah tidak mampu lagi menyerap air hujan, karena mayoritas sudah ada bangunan di atasnya. Sistem drainase juga mengalami kelumpuhan. Seperti yang ada di Thamrin dan Sudirman. Menurut Yayat, sebagian drainase di Jakarta tidak berfungsi optimal karena sungai belum dikeruk. Selain itu, kontur tanah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut.
Curah hujan 50-100 mm dengan durasi 3-5 jam saja, Jakarta kebanjiran. Itu tanpa kiriman hujan dari Bogor. Bahkan untuk memastikan beberapa penyebab ini, beberapa waktu lalu tanpa sungkan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo langsung masuk ke gorong-gorong untuk mengecek kondisi gorong-gorong. Menurut Jokowi, diameter gorong-gorong terlalu kecil. "Ya, gimana gorong-gorongnya 60 sentimeter seperti itu ya jelas kurang dong," kata Jokowi saat meninjau gorong-gorong di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (26/12/2012).
Sebenarnya sudah lama diketahui bahwa negeri ini mempunyai curah hujan yang cukup tinggi, namun sepertinya Negara/pemerintah kurang melakukan antsipasi yang baik. Ini terlihat dengan terjadinya banjir yang sudah mulai meresahkan dan memakan korban. Perlu diketahui, rata-rata curah hujan di Indonesia masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 -3000 mm/tahun.
Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama. Bahkan ada indikasi setiap tahun jumlah curah hujan akan meningkat. Hasil pengamatan di stasiun sinoptik dan simulasi skenario iklim menggunakan model ARPEGE Climat versi 3.0, diperkirakan periode 2010-2039 akan terjadi peningkatan jumlah curah hujan di atas wilayah Indonesia.
Hal tersebut ditandai melalui perubahan zonasi wilayah hujan dengan anomali positif zona konveksi, peningkatan temperatur, dan evaporasi terutama pada zona konveksi tertinggi di sepanjang Selat Malaka, Laut Banda, Laut Karimata, dan Laut Arafura. Demikian dilaporkan Haris Syahbuddin dan Tri Nandar Wihendar dalam tulisannya yang berjudul “Anomali Curah Hujan Periode 2010-2040 di Indonesia” (Badan Litbang Pertanian)
Dengan kondisi ini, Negara harus melakukan manajemen pengelolaan air yang baik. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh Negara antara lain:
1. Membangun sistem drainase yang cukup baik. Seperti rencana DKI yang akan membuat Deep Tunnel Reservoir System (DTRS), maupun 10.000 resapan air merupakan salah satu cara yang cukup baik.
2. Pengembalian fungsi SITU dengan cepat untuk menampung air hujan yang turun.
3. Normalisasi daerah resapan, wilayah puncak pembangunan harus dihentikan bahkan kalau perlu dibongkar, dan pihak-pihak yang telah memberikan ijin beserta yang mendirikan bangunan harus diseret ke pengadilan untuk diberikan sangsi yang tegas.
4. Pemanfaatan air yang melimpah dari aliran sungai, misal utk air minum, PLTA. yang dapat dilakukan dalam bentuk mikrohidro ataupun pikohidro yang biayanya relatif kecil.
5. Normalisasi sungai-sungai dan penataan di kawasan aliran sungai untuk mengurangi bahaya banjir.
6. Pelarangan pengambilan air tanah (dalam jumlah besar) yang dapat mengurangi tingkat penurunan permukaan tanah.
Islam Menjaga Kelestarian Bumi Dengan Hukum-Hukum
Persoalan banjir muncul bersumber dari faktor alam maupun faktor manusia. Sebenarnya manusia telah diberi akal dengan kemampuannya oleh Allah swt untuk mengatasi berbagai persoalan dengan dibimbing dengan aturan-aturan yang diturunkan oleh Allah swt, yaitu berupa Al Qur’an dan Sunnah Rasul saw yang mengikat manusia secara baik, agar alam ini dapat dihuni manusia secara baik.
Namun manusia dengan keserakahannya dan kesombongannya menganggap dirinya lebih paham dibanding Allah yang menciptakannya, sehingga mereka mengkufuri dengan membuang aturan hukum dari Allah swt dan menggantinya dengan aturan hukum yang mereka buat sendiri yang akibatnya justru merusak keseimbangan alam dalam mengelola dunia. Allah berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (سورة الروم، آية: 41)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar Rum : 41)
Ada beberapa kerusakan yang dilakukan manusia, akibat mengganti aturan Allah dalam hidup di bumi dengan aturan salah yang mereka buat sendiri, sehingga bukan saja tidak memecahkan masalah yang sebenarnya, malah memunculkan banyak masalah berikutnya yang tidak mampu mereka selesaikan sendiri, akibat dari pemahamannya dan pengetahuan yang dangkal dan keliru.
Oleh karena itu aturan-aturan itu harus dirombak dan diluruskan, Dalam hal ini meliputi aturan-aturan sebagai berikut:
· Kaifiyah Mu’alajah (Metode problem solving). Kepala daerah wajib menjaga bumi yang menjadi wilayah kekuasaannya agar tetap dapat terjaga dengan baik, sehingga rakyat dapat hidup normal sebagai manusia, dan wajib menghilangkan berbagai bahaya yang mengancam mereka baik dari sebab pergeseran keseimbangan alam secara alamiyah yang mampu ditanggulangi manusia, maupun kerusakan dari hasil perbuatan dari penduduk di wilayah mereka berkuasa.
Contoh, masalah air harus dikelola dengan benar, mata air sebagai sumber air minum sebagai milik umum tidak boleh dihamburkan untuk mengisi kolam renang hotel-hotel dan orang kaya, atau untuk dijual secara besar-besaran, akan berakibat menurunnya permukaan tanah dan menyulitkan rakyat terhadap kebutuhan air minum.
Selanjutnya terhadap air sungai atau hujan yang melimpah, kepala daerah wajib mengelolanya dengan baik, misalnya dijadikan bendungan untuk pembangkit listrik. Contoh lainnya, seharusnya setiap yang membahayakan orang lain atau diri sendiri diharamkan dan dapat dikriminalkan, sekarang hanya dianggap sebagai persoalan moral yang tidak ada sanksi hukumnya. (La dhororo wala dhiroro), contoh kasus membuang sampah ke sungai, termasuk membuang limbah pabrik ke sungai, jika terbukti di pengadilan menimbulkan banjir, atau merusak lingkungan hidup yang dapat mengarah kepada kerusakan bumi, maka setiap pelakunya harus dikenai sanksi hukum ta’zir, misalnya dipenjarakan atau didenda.
· Kaifiyah Tanfidz, metode pelaksanaan yang dipegang oleh Negara harus dilaksanakan dengan baik dan benar dan didukung dengan anggaran yang cukup, pengetahuan yang memadai dan SDM yang berkemampuan. Hal ini harus demikian adanya, sebab kepala daerah diminta tanggung jawab atas kebutuhan pokok rakyatnya termasuk didalamnya kebutuhan akan keselamatan dari berbagai bahaya, seperti bahaya banjir.
(Al- Imamu Ro’in wahua masulun an ro’iyyatih) Seorang pemimpin adalah penggembala, yang akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Artinya tindakan-tindakan Negara yang dilakukan oleh seorang pemimpin harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum di pengadilan, bukan sekedar pertanggung jawaban politik kepada wakil rakyat.
· Kaifiyah tathbiq, metode penegakan, kepemimpinan yang meninggalkan kewajiban pelayanan kepada rakyat, seharusnya dapat diproses secara hukum melalui pengadilan, meskipun termasuk dalam tindakan Negara, sebab tindakan Negara yang melanggar hukum masuk dalam kategori kejahatan Negara. Misalnya membiarkan penyebab banjir yang mestinya bisa diatasi oleh manusia, maka termasuk meninggalkan kewajiban melayani urusan rakyat. Dalam hal ini kepala daerah bisa diajukan ke pengadilan untuk dijatuhi sanksi ta’zir. Sebagaimana rakyat yang membuang sampah sembarangan yang terbukti di pengadilan menyebabkan banjir, dapat diproses ke pengadilan, bukan dengan sanksi moral belaka, tetapi dengan sanksi hukum ta’zir (penjara/denda).
· Kaifiyah hamlud dakwah, Opini umum harus dibangun terus menerus dengan menunjukkan tegakknya aturan yang berlaku terhadap negara dan berlaku terhadap rakyat secara baik. Kepala daerah menunjukkan dan menampakkan tindakan Negara yang baik dan benar dengan menegakkan kewajiban Negara. Dan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap para kriminal dan orang-orang fasiq, sehingga kesejahteraan dan keadilan menjadi sesuatu yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari, bukan menjadi hal yang langka dan diskriminatif.
Demikian juga kepala daerah melakukan langkah nyata dan terukur dan terencana secara baik. Masyarakat juga tidak segan-segan memperkarakan kepala daerah yang lalai terhadap kewajiban menjaga rakyat dari berbagai ancaman bencana yang bisa diprediksi manusia, dan bukan bencana yang di luar kemampuan manusia untuk mengatasinya. Sebab “Al-Imamu ro’in, wahua masulun an roiyyatih” Pemimpin adalah penanggung jawab urusan rakyat, dan dia harus diminta tanggung jawab tentang urusannya itu.
Pertanggungjawaban pemimpin bukan sekedar politis, tetapi harus dapat dipidanakan, meskipun atas nama kebijakan Negara, sebab Negara adalah organisasi umum yang dijalankan oleh manusia, dia tidak maksum dan tidak boleh dianggap suci sebagai wakil Tuhan, sebab Tuhan hadir di setiap ruang dan waktu tidak perlu di wakili siapapun. Jika pemimpin tidak melakukan kewajibannya, dia harus di ajukan ke pengadilan hukum untuk dijatuhkan sanksi pidana, bukan dibawa ke pengadilan politik dan etika dihadapan wakil rakyat untuk basa-basi sanksi moral untuk melindungi korp kekuasaan.
Sehingga tidak akan bisa tidur nyenyak pemimpin-pemimpin yang rakyatnya kebanjiran, yang diakibatkan dari faktor-faktor sebab akibat yang dalam jangkauan kekuasaan manusia, (seperti kewajiban kepala daerah membangun drainase dengan kapasitas yang cukup untuk menyalurkan air, baik membuat saluran air, mengeruk dan memperluas sungai untuk memaksimalkan daya tampungnya, dan seterusnya) karena kepala daerah yang tidak berbuat seperti itu mereka bisa dipidanakan, maka pemimpin-pemimpin kepala daerah itu harus diajukan ke pengadilan guna proses pengadilan hukum pidana bukan pengadilan politik dan etika dihadapan wakil rakyat untuk diganjar sanksi moral dengan penyesatan opini yang menyatakan bahwa sanksi moral lebih berat dari pada pidana untuk penyelamatan korp penguasa dan kroni-kroninya.
Jika hukum-hukum Allah swt yang menjadi rahmat seluruh alam semesta diberi kesempatan memecahkan persoalan manusia termasuk persoalan banjir, pasti akan dapat menyelesaikan dengan tuntas, menggerakkan dan memaksa setiap kepala daerah memenuhi kewajiban melayani rakyat, menjauhi larangan menindas dan menjajah rakyat sendiri, dan memaksa mereka terus menerus mengontrol lingkungan bumi agar tetap layak dan normal untuk kehidupan.
Sehingga manusia yang beriman dan bertaqwa menjadi manusia terbaik menjadi saksi atas berlakunya hukum Allah swt. Dengan menegakkan pengadilan atas pelaggaran aturan hukum Allah swt baik berupa meninggalkan kewajiban maupun melakukan tindakan haram di seluruh aspek kehidupan. Allah berfirman, dalam surat Al Hajj, ayat 78:
لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ (الحج:78)
“Supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia”.
Wallahu a’lamu bi shawab
0 komentar:
Posting Komentar