Rabu, 23 Januari 2013

Rintisan Sekolah Berstandart Internasional (RSBI)

Selasa, 8 Januari 2013 MK Mengabulkan gugatan Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) yang pada bulan Desember 2011 mengajukan gugatan terhadap Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat


Alasan Mahkamah Konstitusi ini memutuskan pembubaran SBI/RSBI adalah :

1. MK tidak menafikkan pentingnya bahasa Inggris, tetapi istilah internasional sangat berpotensi mengikis kebudayaan dan bahasa Indonesia;

2. Lulusan SBI/RSBI dan SBI adalah siswa yang berprestasi tetapi tidak harus berlabel internasional;

3. SBI/RSBI membuka peluang pembedaan antara sekolah SBI/RSBI-SBI dengan non-SBI.

Tentu saja pembubaran SBI/RSBI ini memunculkan berbagai reaksi di masyarakat. Diantara mereka ada yang memberikan respon positif karena kebijakan ini akan menghilangkan kastanisasi dalam pendidikan, juga adanya pemahaman bahwa SBI/RSBI selama ini hanya menjadi peluang korupsi dan menghabiskan uang Negara.

Ada juga yang memberi respon negatif atau kecewa, terutama mereka yang telah menaruh harapan besar dan mengeluarkan biaya cukup besar dengan menyekolahkan putra mereka di sekolah SBI/RSBI atau SBI. "Sangat kecewa begitu mengetahui SBI/RSBI dihapuskan, anak saya sekarang kelas IX SMPN 3 Pontianak, yang tidak lama lagi akan memasuki ujian akhir semester, Mei mendatang," kata Diah (40) salah seorang warga di Pontianak, Kompas Minggu (20/1/2013)."Saya dan suami memang telah mempersiapkan anak saya agar masuk sekolah SBI/RSBI, dengan harapan nanti bisa menyekolahkan anak hingga di perguruan tinggi luar negeri," ujarnya.

Lalu jika memperhatikan reaksi masyarakat dan kebijakan pemerintah tentang SBI/RSBI ini, maka seharusnya keputusan yang tepat bagaimana? Apakah pembubaran ini langkah terbaik dalam pelayanan pendidikan? Bagaimanakah seharusnya standart pelayanan pendidikan agar tidak memunculkan polemik seperti SBI/RSBI ini?


Pendidikan Sekuler Vs Pendidikan Islam
SBI/RSBI yakni (Rintisan) Sekolah Bertaraf Internasional adalah sebuah program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Dimana yang ditonjolkan adalah penggunaaan bahasa pengantar bahasa Inggris, gedung yang tinggi, laboratorium yang lengkap, serta pengajarnya berkualifikasi S2.

Tujuan SBI/RSBI dan fakta pelaksanaannya di lapangan yang tidak match, membuat banyak pihak bertanya, sebenarnya SBI/RSBI ini mau dibawa kemana?. “Keberadaan SBI/RSBI saat ini pendekatannya bukan lagi mengutamakan kualitas untuk memfasilitasi keunggulan. Tapi sekarang justru mengutamakan besaran nilai uang dari para siswanya,” ungkap Ketua PB PGRI, Sulistiyo di Jakarta, Kamis (29/12). (JPPN.com).

Dipungkiri atau tidak keberadaan SBI/RSBI hanya bisa dinikmati oleh mereka yang di sekolah kota, bukan pinggiran, dan tentunya yang mampu membayar biaya besar. SBI/RSBI sekalipn tujuan awalnya menyediakan pendidikan berkualitas, tetapi keberadaannya telah melahirkan ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan. Seolah-olah negara berbisnis dengan rakyatnya dengan pembayaran yang mahal, padahal seharusnya pendidikan adalah tanggungjawab Negara.

Kalau tujuannya mencerdaskan bangsa, maka seharusnya pelayanan berlaku sama. Kalau bertujuan peningkatan kualitas pendidikan, maka semua sekolah hendaknya diberi fasilitas lengkap/ memadai untuk proses pembelajaran. Kondisi ini hanya menunjukkan gagalnya tujuan kebijakan SBI/RSBI yang telah lama dirintis.

Di sisi lain, sebagai sekolah yang berkiblat internasional (baca : barat), maka tidak heran jika kurikulum pendidikan di SBI/RSBI/SBI berbasis kurikulum sekuler. Padahal kurikulum pendidikan adalah hal yang sangat penting dan serius dalam pendidikan, jadi tidak boleh uji coba sebagaimana sains, karena dalam pendidikan yang menjadi objeknya adalah manusia, yang akan menjadi generasi di masa mendatang.

Apalagi yang berlabel sekolah negeri, mereka berapologi bahwa ini adalah sekolah negeri jadi wajar pelajaran agama sedikit. Padahal dalam hadist “Barang siapa yang dikehendaki kebaikan maka dia akan dipahamkan ilmu agama.” (H.R Bukhari dan Muslim). Maka tak salah jika dikatakan bahwa salah satu penyebab kemunduran ummat Islam adalah diberlakukan dan dipelajarinya sistem dan kurikulum pendidikan sekuler bagi anak – anak kaum muslimin. Oleh karena itu harus bijaksana dalam membuat kurikulum yang tidak merusak aqidah dan kepribadian umat serta memiliki arah yang jelas.

Pendidikan dalam Islam berasas aqidah Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk individu ber-syakhsiyah Islamiyyah (kepribadian Islam) dan membekali manusia dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan aspek kehidupan. Kurikulum yang diajarkan pada tingkat dasar dan menegah adalah tsaqafah Islam (ilmu Islam), terutama aqidah dan syari’ah kemudian ilmu pendukungnya, tafsir, ushul fiqih, nahwu, sharraf dan balaghah.

Materi tersebut diajarkan secara intensif sehingga masing-masing orang memahami dengan benar. Materi ini tidak seperti sains yang boleh memilih sesuai hobi atau kecenderungan masing-masing akan tetapi sebuah fardhu ain yang harus dituntut oleh setiap kaum muslimin.

Tidak ada dikotomi dalam pendidikan Islam antara ilmu agama dan sains. Ilmu sosial, sejarah asing, sastra dan bahasa manapun tidak boleh diajarkan ditingkat dasar atau menengah. Sains nanti diajarkan ketika sudah perguruan tinggi sehingga ilmu agama sudah mantap. Kemudian nanti bisa menghukumi sains tersebut sesuai dengan aqidah dan ajaran Islam. Jadi ilmu-ilmu dasar Islam diberikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi sesuai dengan rencana pendidikan, sedangkan ilmu terapan dan sejenisnya seperti matematika, harus dipisahkan dari ilmu peradaban dan ilmu terapan diajarkan menurut kebutuhan dan tidak terikat jenjang pendidikan tertentu.

Ujian yang dipakai adalah lisan, bukan tulis. Ujian tulis hanya dipakai kalau memang benar-benar tidak bisa memakai lisan misalnya rumus-rumus seperti matematika. Dari ujian ini seorang syaikh, kyai atau ustadz bisa mengetahui secara pasti kualitas muridnya sehingga nanti bisa merekomendasikan sang murid tersebut pantas atau tidak mengeluarkan pandangan atau pendapat dalam masalah ilmu yang ditekuninya. Bisa dibandingkan dengan produk saat ini yang ujiannya memakai sistem tulisan, sangat banyak kecurangan sana-sini dan tidak jelasnya kemampuan masing-masing murid.

Sistem kurikulum berstandart Islam ini beberapa abad diterapkan dan telah menghasilkan banyak sekali ilmuwan dan mujtahid. Kitab-kitab mereka bahkan dijadikan rujukan oleh para ilmuwan barat atau banyak kita pelajari sekarang. Beberapa tokoh diantaranya Abu Ishak Al-Kindi (ahli kedokteran, musik, filsafat), Ibnu Sina (ahli ilmu agama, filsafat, IPA, Kedokteran, matematika), Al Jabar, Al-Fihrist, dan masih banyak lagi.


Pendidikan, Tanggung Jawab Negara
Eksistensi dan kelestarian umat Islam ditentukan oleh sejauh mana penjagaan mereka terhadap tsaqafah Islamiyyah. Penjagaan umat terhadap tsaqafah Islamiyyah bergantung sepenuhnya pada perhatian mereka terhadap pendidikan umat. Pendidikan merupakan thariqah untuk menjaga tsaqafah Islamiyyah. Ketika perhatian negara dan umat terhadap pendidikan tsaqafah Islamiyyah mulai melemah, maka umat semakin jauh dari Islam, umat mengalami kemunduran hampir di seluruh bidang kehidupan.

Keadaan itu semakin diperparah dengan keberhasilan Barat memasukkan tsaqafah-tsaqafah asing, seperti demokrasi ke tengah-tengah kaum Muslim. Umat Islam pun semakin jumud (bodoh) terhadap tsaqafah islamiyyah. Akhirnya, mereka tidak mampu lagi mempertahankan eksistensi hadharah islamiyyah dan Daulah Islam sebagai akibat lemahnya pemahaman mereka terhadap Islam.

Islam mewajibkan umat untuk menuntut ilmu. Sebagaimana hadits dari Anas ibn Malik r.a ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam” (HR. Ibn Majah). Islam juga menetapkan pendidikan sebagai hajah asasiyyah sebagaimana sabda Nabi saw.: Permisalan hidayah dan ilmu yang Allah SWT sampaikan kepada diriku bagaikan air hujan yang menimpa sebidang tanah. Di antara tanah itu ada tanah baik yang mampu menyerap air dan menumbuhkan rerumputan serta pepohonan yang sangat banyak.

Di antara tanah itu ada pula tanah liat yang mampu menahan air sehingga Allah SWT memberikan manfaat kepada manusia dengan tanah tersebut; manusia bisa meminum air darinya, mengairi kebun-kebunnya dan memberi minum hewan-hewan ternaknya. Air hujan itu juga menimpa tanah jenis lain, yaitu tanah datar lagi keras yang tidak bisa menahan air dan menumbuhkan rerumputan.

Demikian-lah, ini adalah perumpamaan orang yang faqih terhadap agama Allah, dan orang yang bisa mengambil manfaat dari apa-apa yang telah Allah sampaikan kepada diriku sehingga ia bisa belajar dan mengajarkan (ilmu tersebut kepada orang lain). Ini juga perumpamaan orang yang menolak hidayah dan ilmu dan tidak mau menerima hidayah Allah SWT yang dengan itulah aku diutus (HR al-Bukhari dan Muslim).

Oleh karena ia adalah perintah agama dan merupakan kebutuhan asas manusia, maka Islam telah menjadikan negara menjamin pemenuhannya. Di dalam Kitab al-Iqtishadiyyah al-Mutsla disebutkan bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan negara. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya
(HR al-Bukhari).

Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat. Negara wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai. Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.

Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban memberikan ujrah (gaji) kepada tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara Khilafah di seluruh strata pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar (setara dengan 15 x 4.25 gr emas x Rp. 548.500 = Rp. 34.966.875,-) setiap bulan. Gaji ini diambil dari Baitul Mal.

Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam Khilafah diambil dari Baitul Mal, diantaranya dari pos kharaj (pajak tanah) serta pos milkiyyah ‘amah (misal hasil explorasi SDA). Seluruh pemasukan Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos kharaj serta pos milkiyyah ‘amah boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apapun dari rakyat.

Jika harta di Baitul Mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslim. Jika sumbangan kaum Muslim juga tidak mencukupi, maka kewajiban pembiayaan untuk pos-pendidikan beralih kepada seluruh kaum Muslim. Sebab, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran wajib—seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan — ketika Baitul Mal tidak sanggup mencukupinya.

Selain itu, jika pos-pos tersebut tidak dibiayai, kaum Muslim akan ditimpa kemudharatan. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT memberikan hak kepada negara untuk memungut pajak (dharibah) dari kaum Muslim. Hanya saja, penarikan pajak dilakukan secara selektif. Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenain pajak. Berbeda dengan negara kapitalis, pajak dikenakan dan dipungut secara tidak selektif. Bahkan orang-orang miskin pun harus membayar berbagai macam pajak atas pembelian suatu produk atau pemanfaatan jasa-jasa tertentu.

Jadi, dalam Islam biaya pendidikan seharusnya gratis, tidak benar jika ada istilah bantuan operasional sekolah. Kewajiban pemerintah adalah menjamin tersedianya pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Jadi kalau Negara telat atau tidak melaksanakan kewajibannya dalam urusan ini, maka sesungguhnya ini tanda bahwa para pemimpin lalai terhadap amanahnya melayani ummat.
Wallahu a’lam bi ashowab






0 komentar:

Posting Komentar