Rabu, 24 April 2013

Fenomena Main Hakim Sendiri

Tindak kekerasan oleh massa dalam bentuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, pada saat ini menjadi fenomena yang hangat dalam masyarakat. Harian Kompas (16 Juni 2000) mencatat selama tahun 1999 s/d Mei 2000 di wilayah Jabotabek saja telah terjadi 46 peristiwa kekerasan dengan korban tewas dan dibakar massa sebanyak 67 orang. Korban tersebut semuanya adalah pelaku tindak kriminal, seperti pencurian sepeda motor, perampasan mobil/taksi, pencurian ternak dan sebagainya.





Kasus terbaru di Jember, Seorang menjambret lantaran tak memiliki penghasilan halal untuk membelikan susu anaknya. Bapak satu anak yang tinggal di Desa Wonosari, Kecamatan Puger, Jember ini babak belur dihajar massa saat kepergok menjambret di kawasan poros jalan Desa Umbulsari. (jaringnews.com). Bahkan di sejumlah tempat terjadi tindakan main hakin sendiri oleh oknum aparat, dimana mereka mengambil tindakan sendiri terhadap tersangka sebelum pelaku diadili di pengadilan.

Main hakim sendiri merupakan suatu tindak pidana, yaitu perbuatan sewenang-wenang terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu kejahatan. Main hakim sendiri terjadi karena keretakan hubungan antara penjahat dan korban yang tidak segera diselesaikan, atau apabila telah diselesaikan hasilnya dirasakan tidak adil bagi korban atau keluarga korban, sehingga tidak dapat mengembalikan hubungan baik antara pelaku dan keluarga korban.

Di sisi lain hasil survei Lingkaran Survei Indonesia menyebut bahwa 56,0% publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8% menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2% tidak menjawab. Peneliti LSI Dewi Arum kepada pers di Jakarta, Minggu (7/4/2013), mengatakan temuan survei LSI tersebut menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.

Dewi menjelaskan, survei khusus LSI mengenai kondisi penegakan hukum di Indonesia itu dilakukan melalui “quick polling” pada tanggal 1-4 April 2013. Responden tinggal di kota maupun desa, berpendidikan tinggi maupun rendah, mereka yang berasal dari ekonomi atas maupun ekonomi bawah.

Namun demikian, mereka yang tinggal di desa, dan berasal dari ekonomi bawah dan berpendidikan rendah, ternyata lebih tak puas jika dibandingkan dengan mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi. “Hal ini disebabkan karena mereka yang berada di desa dan dari kelompok ekonomi bawah, lebih sering menghadapi kenyataan diperlakukan tidak adil jika berhadapan dengan aparat hukum,” ujarnya.

Ketidakpuasaan responden terhadap penegakan hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 37,4% (Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2% (Oktober 2010), sebesar 50,3% (September 2011), sebesar 50,3% (Oktober 2012) dan terakhir 56,6% (April 2013). Dewi menjelaskan, tingginya ketidakpuasaan terhadap penegakan hukum sejatinya menjadi sinyal kewaspadaan bagi pemerintah maupun bangsa Indonesia.

Dalam survei tersebut, LSI juga menemukan responden yang setuju tindakan menghukum sendiri pelaku kejahatan (main hakim sendiri) sebesar 30,6%, sedangkan mereka yang tidak setuju dengan tindakan main hakim sendiri apapun alasannya atau mereka yang masih tetap percaya pada proses hukum sebesar 46,3%, dan 23,1% responden tidak menjawab. (antara news.com).



PENYEBAB MAIN HUKUM SENDIRI

Menurut LSI, ada empat faktor yang menyebabkan publik ingin main hakim sendiri yaitu rendahnya kepercayaan publik terhadap aparat hukum akan bertindak adil, proses hukum mudah diintervensi, banyak politisi yang terjerat kasus korupsi dan pembiaran penegakan hukum. Peneliti LSI mengatakan, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dapat memunculkan anarkisme. “Tak berlebihan dan mengherankan jika dikatakan bahwa maraknya kasus main hakim sendiri yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia merupakan refleksi dari ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum yang dilakukan Negara,” kata Dewi Arum.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, tidak adanya kepastian hukum, proses hukum yang panjang, berbelit, mahal dan melelahkan mengakibatkan mereka mengambil langkah hukum sendiri, seperti aksi anarkis massa di Palopo, hingga penjambret yang dihajar massa di Jember. Lemahnya law enforcement juga membuat orang menjadi berani bertindak jahat.

Banyak sekali kasus pembunuhan, mutilasi dan perampokan yang berada disekeliling kita, bahkan jambret dan pencuri justru menjadi profesi, akibat tiadanya hukum yang tegas serta memberikan efek jera dan adil. Kondisi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Kepuasan terhadap penegakan hukum di Indonesia berada pada titik terendah. Hanya 29,8 persen yang menyatakan puas terhadap penegakkan hukum di tanah air. Sementara sisanya, 56,0 persen menyatakan tidak puas.

Berbagai sebab yang melatarbelakangi tindakan main hakim sendiri, baik yang dikemukakan oleh Lembaga Survei maupun Pemerintah dan masyarakat, sebenarnya telah membuktikan lemahnya sistem penegakkan hukum saat ini. Proses hukum yang diberlakukan maupun hukuman yang diberikan kepada tindak pelaku kejahatan, telah dirasakan tidak memberikan keadilan bagi masyarakat, sehingga masyarakat lebih memilih untuk menghakimi sendiri. Meskipun tindakan main hakim sendiri juga tidak bisa dibenarkan sebagai solusi.

Dalam Islam, orang akan berpikir seribu kali untuk melakukan pembunuhan (main hakim sendiri) terhadap pelaku kejahatan, karena dia tahu, konsekuensinya adalah dibunuh (efek jera). Abu ‘Aliyah mengatakan dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa “Allah menjadikan Qishas sebagai jaminan keberlangsungan hidup : Betapa banyak orang yang ingin membunuh, tapi kemudian mengurungkan niatnya karena takut dirinya dibunuh (qishas)”. Tidak pandang bulu siapapun yang melakukan baik rakyat, pejabat ataupun konglomerat. Sebagaimana penggalan dalam Sabda Nabi, “Andaikan Fathimah binti Muhammad mencuri niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Dalam pandangan Islam, asal seseorang adalah bebas tuduhan (الاصل براءة الذمة), sehingga seseorang tidak boleh dihukum tanpa adanya proses pembuktian di pengadilan. Ketika melihat suatu kemaksiatan terjadi, seorang muslim bisa mencegahnya dengan tiga hal, yaitu dengan tangan, lisan dan hati.

Maksud merubah dengan tangan adalah menggunakan kekuasaan oleh pihak yang berwenang, misalnya hakim / qodli. Jika tidak mempunyai kekuasaan, maka bisa mencegah dengan lisan dengan cara melaporkan adanya kemaksiatan pada yang berwenang atau bersaksi di pengadilan, tentunya hakim dalam sistem Islam yang akan menegakkan proses hukum maupun memberikan sanksi secara adil, sesuai aturan Islam. Jika masih tidak mampu, setidaknya menolak atau membenci kemaksiatan tsb dengan hati, Namun menolak dengan hati adalah selemah-lemahnya iman.



AKSI BALAS DENDAM

Sebagian orang berprasangka bahwa sanksi Islam, sebagaimana qishas, adalah hukuman yang kejam. Hal ini karena mereka memakai sudut pandang HAM-Barat yang melihat dari sisi pelaku, bukan sudut pandang Islam yang memandang dari sisi korban. Padahal Allah berfirman dalam al-Qur’an



[٢:١٧٩]وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS:Al-Baqarah 179)

Dalam kitab Tafsir al-Lubab Fi’ulumil Kitab, Jilid 3 hal 228 (Marji’ul Akbar) dijelaskan : “Sesungguhnya dalam syari’at qishas terdapat jaminan kehidupan. Pertama, kehidupan bagi orang yang ingin membunuh, apabila dia mengetahui akan dibunuh jika melakukan pembunuhan niscaya dia akan membatalkan niatnya. Kedua, kehidupan bagi korban, karena orang yang ingin membunuhnya takut diqishas sehingga dia tidak berani untuk melakukan pembunuhan.

Ketiga, kehidupan bagi selain kedua di atas, adanya jaminan kehidupan bagi orang yang berkeinginan untuk membunuh dan ingin dibunuh. Keempat, dengan hidupnya orang ingin membunuh dan dibunuh nomor 3 di atas, maka terdapat jaminan kehidupan terhadap orang yang ta’asshub kepada keduanya. Karena datangnya fitnah yang besar disebabkan adanya pembunuhan.”

Dalam ayat tersebut disebutkan dalam qishas terdapat jaminan kelangsungan hidup bagi umat yang menggunakan akalnya (berpikir). Sebelum sanksi qishas dijatuhkan, ditanyakan terlebih dahulu kepada pihak ahli waris akan keridhaannya. Apabila ahli waris ridha maka hukum qishas dibatalkan dan diganti dengan denda diyat, sehingga dengan diyat kelangsungan hidup ahli waris bisa terjamin.

Pun saat diqishas, jika pelaku menjadi tulang punggung keluarga, maka di dalam Islam ada baitul mal yang akan mencukupi pada saat keluarganya tidak mampu memenuhi kebutuhan. Penegakan hukum yang tegas dan adil bagi korban maupun pelaku adalah salah satu solusi yang diberikan Islam agar kasus main hakim sendiri bisa dihindarkan.

Maka Islam wajib diterapkan secara menyeluruh karena Allah sudah mengaturnya dengan sempurna dan paripurna. Dalam setiap kasus - yang sudah, sedang dan yang akan terjadi - jika umat tidak memutuskan dengan adil sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an, maka kedhaliman akan terus terjadi. Yang punya kekuatan bisa menggunakan kekuatannya, sedangkan rakyat jelata hanya bisa pasrah menyimpan dendam. Dan tidak ada jaminan mereka tidak melampiaskannya pada anak-cucu pelaku.



KHATIMAH

Umat tidak boleh merasa ngeri terhadap hukum Islam, seperti qishas, karena hukum Islam bukan hukum jalanan yang asal bunuh atau asal hukum. Tidak sebagaimana saat ini, yang terjadi adalah hukum rimba (main hakim sendiri). Siapa yang kuat (kaya dan berkedudukan) maka dia bisa kebal terhadap hukum dan bisa memenangkan perkara. Akibatnya, sebagian masyarakat mendukung tindakan main hakim sendiri, bahkan hingga terjadi hilangnya nyawa, karena merasa hal tersebut adalah balasan yang layak.

Padahal pemberian hukuman adalah kewenangan hakim. Seharusnya umat lebih mendukung penegakan pengadilan Islam, karena seseorang bisa dinyatakan bersalah setelah proses pembuktian di pengadilan. Kasus Jambret dihajar massa di Jember dan sejumlah peristiwa lain hendaknya menjadi ibrah bagi umat Islam untuk kembali ke hukum Islam. Tidak perlu menunggu kerusakan yang lebih besar dari perbuatan main hakim sendiri.

Al-Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan akal bukan perasaan di dalam menyelesaikan persoalan. Allah swt memberikan petunjuk kepada manusia, tentunya untuk kemaslahatan, sehingga seseorang yang mengingkari petunjuk tersebut niscaya akan tersesat dan mengalami kerusakan dalam hidupnya baik di dunia terlebih di akhirat.

Sebagaimana perkataan Sayyidina Umar : “نحن قوم اعزنا الله بالاسلام فاذا ابتغينا العزة بغيره اذلنا الله” (Kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan agama Islam, maka apabila kita mencari kemulian di luar Islam, justru Allah menghinakannya). Perkataan Sayyidina Umar ini terbukti saat ini. Umat benar-benar “dihinakan” Allah dengan hukum jalanan / perbuatan main hakim sendiri, karena tidak diterapkannya ajaran Islam, yang di dalamnya terdapat sanksi Islam yang adil.

Wallahu a’lam bi ashowab



0 komentar:

Posting Komentar