Kamis, 18 April 2013

Kuota Caleg Perempuan

Komisi Pemilihan Umum tetap pada putusannya memberlakukan kuota calon legislator perempuan sekurang-kurangnya 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil). Kuota itu wajib dipenuhi oleh partai politik. Bagi parpol yang tidak dapat memenuhinya, tetap dapat menjadi peserta pemilu di dapil tersebut, hanya saja tidak dapat mengajukan caleg. (http://politik.news.viva.co.id)




Kesulitan Parpol untuk memenuhi kuota membuatnya melakukan segala cara untuk memenuhi kuota tersebut. Beberapa parpol memenuhi kuota dengan memasukkan anggota keluarga perempuan seperti anak perempuan, istri, menantu, ipar ataupun kerabat lain. Hal ini memungkinkan terjadinya parpol dinasti yang terjadi pada masa orde baru.

Terdapat pro dan kontra terhadap peraturan KPU tentang kuota 30% untuk perempuan dalam caleg. Peraturan ini dinilai kaku dan memaksa bagi parpol yang akan mengikuti pemilihan caleg. KPU dinilai hanya mementingkan masalah kuantitatif bukan kualitatif, hanya sebagai syarat bukan sebagai suatu kebutuhan dalam melaksanakan peraturan tersebut yang tertuang dalam UU No. 8 tahun 2012.

KPU beralasan bahwa representasi perempuan dalam berpolitik masih rendah, sementara affirmasi tidak berlaku mengikat. Caleg perempuan yang diharapkan adalah caleg perempuan yang cerdas yang dapat memperjuangkan suara kaumnya (kaum perempuan) seperti dalam hal pemenuhan hak-hak perempuan, sehingga kepentingan perempuan dapat terakomodir dalam pembuatan kebijakan negara.

Lalu bagaimana Islam memandang perempuan dalam partisipasi di ruang publik? Termasuk hak politik perempuan?

Kedudukan Wanita di Depan Syariat Islam

Di masyarakat kapitalis, seorang perempuan yang belum berperan dalam ranah publik, dianggap individualistik, sehingga generasi yang dihasilkan pun layak diragukan kualitasnya untuk meneruskan penjagaan kualitas umat manusia selanjutnya. Wanita harus dioptimalkan dalam 2 sektor, yaitu sektor domestik dan publik. Wanita dalam sektor domestik memiliki kewajiban untuk mencetak generasi yang berkualitas untuk bangsa, sedangkan wanita dalam sektor publik merupakan peran wanita dalam berpolitik.

Hal ini tidak lepas dari campur tangan kaum feminis yang mereka anggap sebagai perjuangan untuk penyetaraan hak-hak wanita dan laki-laki. Kaum feminis berusaha agar perempuan dapat berkiprah dalam bidang apa pun dan dapat bersaing atau bahkan mengalahkan kaum laki-laki. Faktanya, yang terjadi adalah kaum wanita berusaha untuk menandingi laki-laki dalam segala hal hingga diluar batas fitrahnya sebagai wanita. Wanita menangani urusan laki-laki dan begitu sebaliknya, wanita menangani urusan laki-laki, ketimpangan pun tidak dapat dihindari.

Setelah sekian lama dihidupkan, para pengemban pemikiran feminisme menduga mereka telah berhasil membawa kaum wanita dalam mencapai kemajuan yang sama dengan pria dalam berbagai bidang kehidupan, seperti: ekonomi, politik dan sosial. Berlakunya UU Pemilu th 2003 pasal 65 ayat 1, yang menyatakan batas minimal keterwakilan wanita sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai peserta pemilu sebesar 30%, sesungguhnya juga merupakan usaha kaum feminis.

Mereka berpikir semakin banyak wanita yang menjadi anggota legislatif maka para wanita bisa “berperan lebih” dalam isu-isu kewanitaan, karena dalam demokrasi, suara terbanyak identik dengan kebenaran, sebagaimana pemeo vox populi vox dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan.

Berbeda dengan Kapitalisme, Hukum-hukum Islam yang ada, tidak dimaksudkan sebagai hukum yang melayani kepentingan pria saja, atau kepentingan wanita saja, tetapi dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan kehidupan keduanya, sebagai manusia ciptaan Allah Swt. Secara jelas dapat dilihat bahwa masyarakat merupakan komunitas manusia yang terdiri dari kaum pria dan kaum wanita, sehingga realitas seperti ini tidak perlu memunculkan pandangan ada tidaknya kesetaraan antara pria dan wanita dalam sistem interaksi keduanya.

Jika problem kehidupan diantara pria dan wanita sama, maka ketentuan syariat Islam atas keduanya adalah sama. Sebagaimana laki-laki wajib mengerjakan sholat, berdakwah, menuntut ilmu, bersilaturahim, maka begitupun wanita. Pria dan wanita memiliki hak yang sama. Namun jika perbedaan gender (jenis kelamin) tersebut melahirkan problem yang berbeda antara pria dan wanita, maka Islam memberlakukan syariat yang berbeda atas keduanya, sesuai kondisi yang ada. Namun perbedaan ini hanya dalam beberapa perkara yang spesifik saja.

Jika kita menenggok kehidupan umat Islam di masa lalu, sejak kehidupan Rasulullah Saw di Madinah, yang kemudian dilanjutkan oleh Khulafa’ur Rasyidin sampai runtuhnya kekuasaan Islam pada awal tahun 1924, selama lebih dari 10 abad hukum untuk kaum wanita dan kaum pria tidak pernah menimbulkan masalah dalam kehidupan mereka. Seluruh hukum Islam bisa diterapkan dalam kehidupan manusia, sebab agama Islam adalah akidah dan syari’at yang pasti sesuai dengan fitrah manusia baik pria maupun wanita.

Keterwakilan Kaum Wanita

Dalam Islam tempat asal seorang wanita adalah di rumahnya. Allah swt berfirman,
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait (keluarga rumah tangga Nabi SAW) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (TQS. Al-Ahzab [33] : 33).

Meski konteks ayat ini ditujukan pada istri dan keluarga Rasul, implikasi hukum dari ayat ini juga ditujukan pada wanita dan keluarga muslim. Di sinilah, ruang hidup utama wanita ditentukan oleh Allah swt sesuai dengan fitrahnya. Sebuah perintah untuk menjaga kemuliaan dirinya dengan tidak mengumbar kecantikannya dan menjaga diri di dalam rumah. Ya, peran wanita di area domestik adalah posisi yang mulia dalam Islam dengan menjadikan ummu wa rabbatu al-baiti (ibu dan pengatur rumah tangga) sebagai tugas utama para muslimah.

Namun tidak berarti muslimah tidak boleh sama sekali beraktivitas di luar rumah. Rasul saw bersabda, "Janganlah kalian larang kaum wanita pergi ke masjid-masjid Allah." (Muttafaq 'Alaih). Dalam berbagai periwayatan di sirah Rasul, adanya majelis-majelis dan pembinaan Rasul pada para wanita zaman itu menunjukkan bahwa Islam pun mengizinkan kehadiran para wanita di ranah publik, terutama dalam hal menuntut ilmu dan amar ma'ruf nahi munkar.

Aisyah ra terkenal dengan aktivitasnya menyampaikan hadits ke sahabat, bahkan menjadi qadhi hisbah (hakim pasar). Termasuk kisah-kisah mengenai isteri-isteri Nabi yang ikut serta dalam peperangan hingga kisah para wanita yang mengkritik Khalifah Umar ra atas ketidak adilannya dalam penerapan mahar.

Pun demikian di ranah politik, para wanita memiliki hak yang sama dengan kaum pria. Mereka memiliki hak memilih ataupun hak dipilih. Sebagaimana diriwayatkan Nabi SAW pada tahun ke -13 setelah bi’tsah beliau, yaitu tahun ketika beliau hijrah, beliau pernah didatangi oleh 75 orang muslim. 73 diantaranya adalah pria dan 2 orang wanita. Mereka semuanya membaiat beliau pada baiat aqobah II,yaitu baiat untuk berperang dan baiat politik.

Setelah mereka membaiatnya, Rasulullah saw bersabda:”pilihkanlah untukku 12 pemimpin diantara kalian, agar mereka bisa bertanggungjawab (menjadi wakil) atas kaumnya dalam urusan mereka”. Pernyataan ini merupakan perintah dari beliau kepada seluruhnya, agar mereka memilih pemimpin dari semuanya, beliau tidak mengkhususkannya hanya untuk pria, juga tidak dikecualikan bagi para wanitanya.

Disamping itu, pada masa Khalifah umar bin khatab, bila beliau mensosialisasikan suatu keputusan, beliau senantiasa meminta pendapat kaum muslimin terhadap keputusan tersebut. Beliau selalu mengundang kaum muslimin ke masjid. Umar mengundang pria ataupun wanita dan mengambil pendapat mereka secara keseluruhan.

Dalam struktur Kekhilafahan Islam memang dikenal adanya majelis umat, yaitu majelis yang terdiri dari orang – orang yang mewakili suara (aspirasi) kaum muslimin, agar menjadi pertimbangan Khalifah dan tempat Khalifah meminta masukan dalam urusan – urusan kaum muslimin. Mereka mewakili ummat dalam melakukan muhasabah (koreksi/kontrol) terhadap para penguasa/pemimpin Negara (hukkam).

Majelis ummat merupakan wakil semua orang dalam menyampaikan pendapatnya, baik secara pribadi ataupun kelompok. Anggota majelis umat berasal dari dua kategori, yakni : Pertama para pemimpin kelompok dan kedua wakil dari golongan (Muhajirin dan anshar). Anggotanya tidak dibedakan laki – laki ataupun perempuan. Tidak ada penetapan khusus proporsi antara pria dan wanita, karena urusan haq dan batil, baik ataupun buruk dalam Islam tidak ditentukan melalui voting suara terbanyak, namun didasarkan pada hukum syara’, sehingga proporsi jumlah bukanlah hal yang penting.

Meski sebuah lembaga perwakilan ummat, fungsi Majelis ummat ini berbeda dengan lembaga perwakilan rakyat di masa kini. Majelis ummat hanya merupakan tempat ummat menyapaikan aspirasinya, wadah wakil ummat mengkoreksi penguasa, serta tempat Khalifah meminta pendapat ummat. Dan kesemuanya dalam rangka menjalankan hukum Allah swt semata. Majelis ummat tidak bisa menurunkan penguasa apalagi membuat hukum ala manusia!

Khotimah

Islam sebagai sebuah aturan yang sempurna dari Dzat Maha Sempurna dan Maha Mengetahui fitrah penciptaan dari wanita, telah memberikan sebuah konsep kehidupan yang memuliakan dan mendudukkan peran wanita. Menghadapi klaim-klaim Barat, kaum Hawa abad ini harus sungguh-sungguh mempelajari ayat-ayat Allah dan mengejar ilmu yang bermanfaat, mengajarkannya ke tengah ummat dan juga memberikan contoh yang nyata woman empowering dalam perspektif Islam.

Dalam koridor yang telah diberikan syara' kepada wanita dalam ranah publik, dan dengan menjadikan ridha Allah sebagai motivasi tertinggi, sebuah kewajiban bagi wanita saat ini untuk mengoptimalkan perannya dalam membangun sejarah peradaban manusia, serta di baris terdepan dalam memperjuangkan kelanjutan kehidupan Islam.

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (TQS. An-nahl [16] : 97).

Syari’at Islam berlaku untuk wanita dan laki-laki. Kedudukan wanita dan laki-laki adalah sama dalam kacamata Islam, yang membedakan adalah tingkat keimanan mereka. Kegiatan di luar rumah bagi seorang muslimah hukum awalnya adalah mubah. Menuntut ilmu, berdakwah dan mengurus anak hukumnya adalah wajib bagi seorang wanita. Dengan demikian, tidak ada larangan bagi seorang wanita untuk beraktivitas di sektor publik dalam rangka menjalankan hukum syara’. Oleh karena itu kuota tertentu bagi muslimah di lembaga perwakilan rakyat tidaklah penting bagi kaum muslim, karena ikut campur dalam suatu usaha membuat dan menegakkan hukum selain hukum Allah seperti saat ini adalah haram hukumnnya.



Wallahua’lam bishowab

0 komentar:

Posting Komentar