Jumat, 12 April 2013

Kritis Terhadap Label Syariah

Kata-kata syariah dewasa ini sering kita temui, dalam tulisan, seruan label dagang dan sebagainya. Label syariah sebagai label dagang sudah menjamur ditengah-tengah masyarakat, ada bank syariah, asuransi syariah, gadai syariah, MLM syariah bahkan laundry syariah.






Bank Syariah makin menjamur, hampir semua bank konvensional saat ini membuka unit syariah, termasuk City Bank dan HSBC. Hal ini tidak lepas dari strategi pasar. Bank melihat adanya permintaan yang tinggi dari masyarakat tehadap bank syariah dan memang sistem syariah terbukti menguntungkan dan sehat.



Beberapa lembaga seperti PPM, Surveilance Institute, Ray Morgan, dan sebagainya menunjukkan bahwa dari 2001 hingga 2007, permintaan masyarakat Indonesia terhadap perbankan syari`ah di atas 60-70 persen, bahkan mencapai angka 83 persen pada 2008. Melihat peluang ini, semua bank ramai-ramai menelorkan unit syariah. Apakah ini menunjukkan meningkatnya gairah pergerakan kaum muslimin menuju kebangkitan Islam, atau sekedar boomingnya label syariah?



Definisi Syariah

Hasil dakwah Islam yang dilakukan para pengemban dakwah di negeri ini mulai nampak, setidaknya terlihat dari familiarnya istilah syariah di telinga masyarakat. Populisnya kata syariah ini juga diiringi dengan semangat umat menjalankan Islam dalam kesehariannya, namun sejauh ini penerapannya baru parsial.



Secara bahasa, kata syariat dapat dipakai untuk menyebut hukum secara umum, misalnya syariat ro’sumaliyyah yang bermakna hukum kapitalis, atau syariat istirokiyyah atau hukum sosialis. Artinya secara bahasa, kata syariat juga bisa digunakan untuk menyebut hukum di luar Hukum Islam. Dengan demikian, penggunaan kata berbahasa Arab syariat / syariah / syara’ / syar’I atau yang seakar dengannya tidak mesti yang dimaksud syariat Islam.



Menurut buku muhadharah wal halaqah jilid II, syariat sebagai istilah hukum didefinisikan sebagai “seruan pembuat hukum terhadap segala sesuatu yang terkait dengan perbuatan manusia, adakalanya berupa ketetapan-ketetapan, pilihan-pilihan dan atau menurut keberadaannya”. Istilah syariat juga tidak dikhususkan pada peraturan hukum di bidang ritual saja, namun mencakup segala aspek kehidupan, termasuk diantaranya kehidupan bernegara dan bermasyarakat.



Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.



Oleh karena itu, jika yang dimaksud dengan kata “syariat/syariah” pada berbagai label yang ditemui masyarakat dimaksudkan untuk menyebut Hukum Islam, maka selayaknya transaksi/aktivitas yang dilabeli kata syariah tersebut mengaplikasikan aturan Islam secara utuh.



Islam adalah sebuah ideology, sehingga hukum – hukum Islam yang terpancar dari aqidah Islam memiliki kaifiah mualajah (problem solving), kaifiah tanfidz (metode pelaksanaan), kaifiah tathbiq (metode penegakan hukum) serta kaifiah hamalud dakwah (metode sosialisasi) yang berasal dari nash – nash syara’, yakni : al qur’an, sunah, ijma sahabat dan qias. Artinya sesuatu yang berlabel syariah selayaknya melaksanakan tuntunan Allah dan rasul-Nya, dan bukan menyamarkan perbuatan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam, tapi kemudian di-make up- dengan label syariah sehingga terasa Islami.



Sungguh Allah swt telah menurunkan Islam ke bumi sebagai petunjuk dan agama yang benar bagi ummat manusia. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia menggunakan aturan / hukum-Nya sebagai panduan menjalani kehidupan, sebagaimana firman-Nya :



“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”(TQ.S. al maidah : 49)



“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”(TQ.S. al maidah : 45)



“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”(TQ.S. al maidah : 47)



Bersikap Kritis

Berbagai aktivitas yang berlabel syariah adakalanya dilakukan oleh sebagian ummat Islam yang hanif. Mereka berusaha mengaplikasikan iman, Islam dan ilmu yang dimilikinya dalam bentuk amal. Namun adakalanya label syariah tersebut digunakan di masyarakat sebatas strategi pemasaran. Hal ini bisa dipahami mengingat 89% dari 230 juta penduduk negeri ini adalah beragama Islam.



Ditambah dengan semakin populernya sejumlah hukum Islam -karena dirasakan secara langsung manfaatnya oleh umat- menjadikan umat Islam sebagai pangsa pasar yang menarik bagi para pedagang kapitalis. Untuk itu umat hendaknya mampu bersikap kritis -bukan apatis- terhadap barang/produk/jasa berlabel syariah.



Untuk bersikap kritis diperlukan beberapa hal, diantaranya pertama ilmu. Untuk bisa membedakan antara yang haq dan yang batil, maka umat harus memiliki cukup tsaqofah Islam. Dengan tsaqofah tersebut umat dapat meneliti kasus per kasus, item-item transaksi, apakah telah sesuai dengan tuntunan Islam atau tidak.



Syariat Islam adalah sesuatu yang bersifat spesifik dan faktual, bukan general. Oleh karena itu sangat penting memperhatikan klausul atau aqad suatu transaksi serta content (kandungan bahan) sebuah produk barang untuk memastikan bahwa barang/produk/jasa tersebut benar sesuai Islam. Maka Maha benarlah Allah yang telah meninggikankan derajat orang – orang yang beriman dan berpengetahuan (QS. Mujadillah : 11), sebab dengan ilmunya seorang muslim dapat menjaga dirinya dari kemaksiatan.



Kedua, harus disadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Islam telah turun dengan membawa sejumlah hukum sebagai solusi bagi semua masalah kehidupan. Namun syariat Islam adalah rangkaian aturan yang sistemik dan saling berkaitan. Oleh karena itu, kemaslahatan hukum Islam akan dapat dirasakan jika syariat tersebut dilaksanakan secara kaffah, bukan parsial (sebagian-sebagian).



Penerapan hukum Islam wajib dilaksanakan secara menyeluruh, total dan sekaligus, bukan dengan cara bertahap. Penerapan yang bersifat islahiyyah (bertahap) bertentangan dengan hukum-hukum Islam itu sendiri, bahkan hal seperti itu telah menjadikan orang yang menerapkannya berdosa di sisi Allah, baik sebagai pribadi, jamaah, maupun negara.



Rasulullah saw. Pernah menolak lobby bani tsaqif, ketika delegasi tersebut meminta kepada beliau agar beliau membiarkan berhala mereka- latta- selama tiga tahun serta menolerir mereka dari kewajiban shalat ketika mereka masuk Islam. Lalu beliau tetap hancurkan berhala tersebut tanpa menunda-nunda serta memaksa mereka agar tetap mau melaksanakan shalat tanpa menunggu-nunggu lagi. Artinya jika ingin menjadi muslim, maka ber-Islamlah secara kaffah, bukan hanya menerapkan sebagian aturan Islam yang dianggap menguntungkan.



Allah swt telah mengklaim penguasa yang tidak menerapkan semua hukum Islam atau hanya menerapkan sebagian saja, sedangkan yang lain ditinggalkan, sebagai orang kafir, apabila dia tidak yakin terhadap otoritas Islam. Namun Allah hanya menyebutnya sebagai orang dzalim dan fasik, apabila dia tidak menerapkan semua hukum Islam, atau tidak menerapkan sebagian hukumnya, namun tetap yakin terhadap otoritas ajaran Islam untuk diterapkan (dalam kehidupan).



Penerapan hukum-hukum syara’ tidak boleh main-main serta bertahap. Karena tidak ada bedanya, antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain, begitu pula antara keharaman yang satu dengan keharaman yang lain, serta antara hukum yang satu dengan hukum yang lain. Karena, semua hukum Allah semuanya sama, yang wajib diterapkan dan dilaksanakan tanpa ditunda-tunda, menunggu-nunggu atau bertahap.



Sebab apabila tidak, kita akan terkena firman Allah swt yang menyatakan : ”Apakah kamu beriman kepada sebahagian al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalkan kepada siksa yang sangat pedih.” (TQ.S. al Baqarah : 85)



Khatimah

Semangat ber-Islam Nampak semakin terasa dalam masyarakat kita. Namun sayangnya sebagian ummat baru menjalankan keislamannya dengan hanya berbekal ghirah (semangat) tanpa diiringi kesadaran dan pemahaman. Kondisi ini akan menjadikan ummat Islam sebagai sasaran empuk kaum kapitalis. Untuk itu sangat penting bagi umat untuk terus menambah wawasan dan tsaqofah Islamnya agar dapat menjaga diri dan umat disekitarnya dari kemaksiatan yang “tak disengaja” atau bahkan murtad tanpa sadar (mts) akibat kurangnya ilmu.



Selain itu hendaknya umat tidak berpuas diri dengan yang telah dicapai saat ini. Keberhasilan merealisasikan sejumlah barang/produk/jasa berbasis syariah, sesungguhnya bukan tujuan dari dakwah, sebab Allah tidak memerintahkan hamba-Nya menjalankan syariat-Nya secara parsial, namun setiap muslim diwajibkan untuk “udhulu fi silmi kaffah”.



Wallahu a’lam bi ashowab







0 komentar:

Posting Komentar