Kamis, 04 April 2013

Antara Benda dan Perbuatan Dalam Islam


Di awal tahun 2013 masyarakat mendapat kejutan berupa tertangkapnya beberapa artis yang sedang pesta narkoba. Namun dalam perkembangannya kasus ini menjadi kontroversial karena narkoba yang menjadi bukti pihak yang berwenang ternyata tidak masuk dalam daftar yang diatur dalam undang – undang.





Fakta sejenis juga sering ditemui di kasus lain. Seseorang yang diduga melakukan “kesalahan”, tidak dapat dipidana karena tindakannya tidak memenuhi unsur – unsur dalam aturan hukum. Hukum Pidana di negeri ini memang memiliki asas “nolla pena sinea legi poenalle”, yang artinya kurang lebih seseorang tidak dapat dihukum atas sesuatu yang tidak diatur dalam undang – undang.



Perdebatan lain muncul ketika draft RUU Revisi KUHP dan KUHAP diajukan untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Pada draft tersebut terdapat beberapa hal baru, seperti : pasal tambahan tentang delik zina, santet, dan hak penyadapan. Aturan tersebut ditambahkan karena realitas di masyarakat menunjukkan hal – hal tersebut ada di masyarakat. Jika perbuatan tersebut tidak diatur dalam aturan perundang – undangan, maka – sesuai asas hukum pidana – perbuatan tersebut dianggap boleh dan tidak melanggar hukum.



Sebagian kalangan menyebut asas “nolla poena sinea legi poenalle” memiliki kesamaan dengan sebuah kaedah syara yang menyebutkan “Al aslu fil asyaa’ ibahah, maa lam yariid dalillu tahrim” yang artinya hukum asal segala SESUATU adalah boleh, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Mereka memahami bahwa makna AL ASYAA’ atau SESUATU sebagai segala macam hal, bisa perbuatan, benda, makanan dll. Oleh karena itu sebagian kalangan menganggap hukum asal suatu perbuatan adalah boleh, sehingga mereka bebas berbuat, kecuali jika ada aturan yang dilanggar. Benarkah demikian ?



Makna Al Asyaa’

Al Asyaa’ -atau sesuatu dalam bahasa Indonesia- didefiniskan sebagai segala yang dimanfaatkan atau benda yang digunakan manusia. Dengan kata lain makna sesuatu ini berbeda dengan perbuatan. Perbuatan adalah segala yang dilakukan manusia berupa tindakan, ucapan, guna memenuhi kebutuhannya. (lihat Muhadharah wa halaqah II, hal 26)



Manusia adalah makhluq sosial sekaligus makhluq individu, oleh karena itu manusia adalah makhluq yang dinamis. Mereka selalu bergerak, beraktivitas dan berbuat untuk memenuh kebutuhannya yang terdiri atas kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyyah), seperti makan, minum, istirahat dsb, maupun kebutuhan naluri (gharizah) yang terdiri atas gharizatun nau’ (naluri terhadap lawan jenis), gharizatu baqo’ (naluri membela diri) dan gharizatut tadayyun (naluri untuk beribadah/mensucikan sesuatu).

Pada saat melakukan aktivitasnya tersebut manusia membutuhkan SESUATU sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya, alat atau benda itulah yang dimaksud dengan Al Asyaa’ sedangkan perbuatan manusia adalah af’al.



Sesungguhnya hukum Asyaa’ dan hukum Af’al adalah berbeda. Para ulama yang telah meneliti berbagai nash menemukan bahwa hukum asal al asyaa’ adalah ibahah atau boleh. Allah swt telah membolehkan manusia untuk memanfaatkan segala sesuatu / benda yang ada, yang diperoleh manusia dari usahanya. Allah hanya mengecualikan dari yang umum tersebut sebagian kecil benda yang diharamkan dengan nash secara khusus.



Kebolehan memanfaatkan segala sesuatu / benda tersebut dapat dipahami dari nash – nash syara’ secara global (mujmal), sebagaimana firman Allah swt : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…..” (TQS. Al Baqarah : 29). Ada pula nash mubah dengan lafadz yang bersifat umum, sebagaimana firmanNya,”Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (TQS. Luqman : 20).



Namun, dalam nash lain juga terdapat penjelasan umum plus beberapa perincian, diantaranya : “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (TQS. Ibrahim : 32-34)



Nash – nash di atas menunjukkan bahwa Allah swt telah menciptakan langit dan bumi ini sebagai nikmat bagi hamba-Nya. Manusia diperkenankan memanfaatkan semua ciptaan-Nya. Allah hanya mengharamkan sebagian benda saja bagi manusia melalui nash yang khusus, misalnya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al Baqarah : 173).



Berdasarkan nash – nash diatas dan sejumlah nash lain, para ulama membuat kesimpulan yang terangkum dalam sebuah kaidah hukum yang berbunyi : Al Aslu fil asyaa’ ibahah, maa lam yariid dalilu tahrim. Artinya hukum asal segala sesuatu benda (asyaa’) adalah boleh, tanpa dibutuhkan dalil tertentu. Sebaliknya untuk melarang suatu benda, harus ada dalilnya. Sungguh Allah swt Maha Pemurah dan Maha Pemberi Rejeki yang melimpahkan segala ciptaan-Nya bagi manusia. Maka tidak layak jika seorang muslim berkata,”jangankan mencari yang halal, yang haram saja sulit!”.



Hukum Af’al

Benda dan perbuatan adalah dua hal yang berbeda, hukumnya-pun berbeda. Hukum benda / asyaa’ ada dua macam : halal / mubah dan haram. Sementara para ulama telah meneliti bahwa hukum atas perbuatan manusia ada lima macam, yakni : Wajib, Sunah, Mubah, Makruh dan Haram.



Hukum syara’ adalah seruan syari’ (Allah) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hukum syara’ hanya berkaitan dengan aktivitas manusia, tanpa memperhatikan benda yang digunakan dalam aktivitas tersebut. Artinya hukum syara hanya urusan perbuatan saja, tidak membahas bendanya. Sungguh semua perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah swt,” Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu..” (TQS. Al Hijr : 92-93).



Allah akan menghisab seluruh amal manusia selama di dunia dengan seadil-adilnya dalam pengadilan di akhirat. Hasil perhitungan amal itu kelak akan menentukan “nasib” seseorang, akankah menghabiskan hidup di akhirat yang abadi di neraka yang penuh kedukaan ataukah menghabiskan hidup abadi di surga yang penuh kegembiraan.



Agar hasil perhitungan amal seorang hamba mendapatkan hasil yang positif di akhirat, hendaknya manusia menjalani kehidupannya sesuai tuntunan Allah dan rasul-Nya. Rasulullah Muhammad saw juga menegaskan perkara pertanggungjawaban manusia ini, Rasulullah saw bersabda,”Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, tertolak.” Dan Allah swt adalah Tuhan Yang Maha Adil. Dia menurunkan petunjuk kehidupan bagi manusia dalam agama ini melalui risalah Rasulullah Muhammad SAW.



Allah swt menurunkan syariat Islam sebagai petunjuk menjalankan kehidupan dan menjadikan Al qur’an, sunnah, ijma sahabat dan qias sebagai sumber hukum syara’. Melalui syariat-Nya ini, Allah menuntun hamba-Nya menjalankan kehidupannya dengan cara yang baik. Syariat Islam telah menentukan amal perbuatan terbagi atas perbuatan yang dikerjakan atau ditinggalkan.



Perbuatan yang dikerjakan terdiri atas hukum wajib (harus dilakukan), sunnah (sebaiknya dilakukan) dan mubah (boleh dilakukan, boleh juga tidak). Sementara perbuatan yang dilarang dihukumi haram (harus ditinggalkan) atau makruh (sebaiknya ditinggalkan).



Setiap perbuatan manusia pasti berkaitan dengan salah satu dari kelima hukum syara’ tersebut. Tidak ada perbuatan yang tidak ada hukumnya. Berbeda dengan al asyaa’ yang tidak membutuhkan dalil untuk menunjukkan kebolehannya, Hukum perbuatan (af’al) membutuhkan dalil untuk menentukan kedudukan hukum tersebut : Wajib, Sunah, Mubah, makruh atau haram.



Bahkan untuk menetapkan bahwa sebuah perbuatan hukumnya mubah-pun, harus ditentukan berdasarkan pada nash tertentu. Maka dalam pembahasan perbuatan ini digunakan kaedah yang berbeda dengan kaedah hukum benda. Kaedah syara’ atas perbuatan manusia adalah Al aslu fi af’al at taqqyud bi ahkamus syar’i. Hukum asal perbuatan manusia bukanlah mubah, tapi hukum asal perbuatan manuisa terikat pada hukum syara’.



Setiap amal manusia yang akan dilakukan harus diketahui lebih dahulu hukumnya karena setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Setiap aktivitas akan melahirkan konsekuensi hukum berupa pahala atau dosa. Para sahabat Nabi yang mulia senantiasa bertanya terlebih dahulu tentang perilaku mereka hingga diketahui hukumnya sebelum menjalankan aktivitas tersebut.



Khatimah

Hukum buatan manusia senantiasa terbatas, tidak lengkap, penuh celah dan sebagainya. Banyaknya celah seringkali dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memepermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Akibatnya, hukum buatan manusia seringkali harus dirubah dan direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.



Berbeda dengan hukum buatan manusia, Allah swt telah menurunkan utusan-Nya berikut petunjuk dan agama yang benar untuk memandu kehidupan manusia. Jika manusa menjalani kehidupannya berdasarkan panduan Allah dan rasul-Nya, niscaya ia akan selamat dunia akhirat. Setiap perbuatan manusia pasti ada hukumnya, bisa : Wajib, Sunah, Mubah, makruh atau haram.



Tidak ada perbuatan yang tidak ada hukumnya. Semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan, jika ia lepas dari pengadilan dunia, niscaya ia tidak akan luput dari hari penghisaban di akhirat. Semua manusia akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya.

Wallahu a’lam bi ashowab.







0 komentar:

Posting Komentar