Rabu, 27 Maret 2013

Pasal Zina

Setelah 49 tahun menyusun draft, akhirnya pada 6 maret 2013, pemerintah menyerahkan draft RUU Revisi KUHP ke Komisi Hukum DPR. Rancangan usulan ini akan dibahas oleh komisi sebelum disahkan menjadi KUHP yang baru menggantikan KUHP warisan belanda.

Sebagaimana diketahui, bahwa KUHP yang berlaku sekarang adalah hasil adaptasi dari Hukum Pidana Belanda atau wetbok van strafrecht (WvS) yang dibuat tahun 1800an. Pemerintah berkeinginan memiliki KUHP yang berwatak Indonesia, maka disusunlah RUU Revisi KUHP yang masa penyusunannya menghabiskan periode kepemimpinan 5 Presiden.



Ada hal yang menarik dalam RUU Revisi KUHP ini, salah satunya adalah revisi berkaitan pasal zina. Dalam KUHP yang saat ini berlaku (Pasal 284 KUHP), pasal perzinaan hanya dikenakan kepada pria atau wanita yang sudah menikah. Pasal ini hanya mendefinisikan zina sebagai perbuatan persetubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Pasal ini tidak mengcover perzinaan yang dilakukan oleh orang yang belum menikah/lajang



Adapun pada RUU Revisi KUHP dimasukkan pengertian zina yang bisa memidanakan pezina lajang. Alasan pemerintah memasukkan pasal lajang yang berzina dalam rancangan baru karena merupakan cerminan nilai yang dianut oleh masyarakat. Lajang yang berzina bisa dipidanakan dengan ancaman paling lama 5 tahun penjara,” kata Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Wahidudin Adams, Selasa, 19 Maret 2013.



Rancangan KUHP yang baru juga secara khusus mengatur pasangan kumpul kebo atau lajang yang hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah. Ancamannya, pidana 1 tahun penjara. (http://id.berita.yahoo.com/20032013).



Banyak kalangan yang menyambut baik rencana revisi pasal perzinahan ini. DPR menyetujui usulan pemerintah untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam rapat kerja dengan Kementerian Hukum dan HAM hari ini, Rabu, 6 Maret 2013, seluruh fraksi yang hadir sepakat untuk melanjutkan pembahasan dua RUU ini ke tahap selanjutnya.



Menanggapi kesepahaman itu, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin bersyukur. Menurut dia, Kementerian akan mendukung proses ini. "Kami akan memberikan dukungan penuh dan mengikuti irama dari Komisi III," (www.tempo.co/2013/03/06.)



Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin juga menyampaikan, revisi KUHAP dan KUHP sangat penting lantaran baru disampaikan pemerintah kepada Dewan setelah 49 tahun. "Kemudian, KUHAP kita banyak sekali perubahan," ujar politikus Partai Demokrat ini. Ia pun mempersilakan publik memberikan masukan revisi itu. Revisi ini bisa diakses di situs Kementerian Hukum dan HAM



Dari fakta diatas, terlihat bahwa pemerintah berusaha untuk “memperbaiki” UU yang dianggap kurang pas dengan cerminan nilai yang dianut masyarakat Indonesia. Namun apakah sudah benar solusi yang diambil ini? Cukupkah perzinaan itu dihukum 1 tahun atau maximal 5 tahun penjara? Dapatkah membuat angka kasus perzinahan menurun? Bagaimanakah hukum perzinaan dalam Islam?



Definisi Zina

Berdasarkan Pasal 284 ayat (1) KUHP, seseorang tidak bisa dikenakan tindak pidana perzinaan bila dilakukan oleh seorang laki-laki lajang dengan perempuan yang juga lajang. KUHP hanya mendefinisikan zina adalah perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.



Definisi ini tentu berbeda dengan yang digunakan masyarakat selama ini. Setiap ada seorang laki-laki dan perempuan yang di luar perkawinan melakukan persetubuhan maka itu sudah bisa didefinisikan sebagai tindakan zina. Tak perlu lagi dicari tahu apakah laki-laki dan/atau perempuan itu sedang berada dalam ikatan perkawinan dengan perempuan dan/atau laki-laki lain atau tidak.



Kamus Bahasa Indonesia Online mendefinisikan zina sebagai (1) perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan); (2) perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seroang laki-laki yang bukan suaminya.



Dalam fiqh Islam, zina yang mewajibkan adanya hukuman ialah memasukkan kemaluan laki-laki sampai tekuknya ke dalam kemaluan perempuan yang diingini lagi haram karena zat perbuatan itu. Terkecuali yang tidak diingini-misalnya mayat-atau tidak haram karena zat perbuatan, misalnya bercampur dengan istri sewaktu haid. Perbuatan ini tidak mewajibkan sanksi meskipun perbuatan itu haram, begitu juga mencampuri binatang.(Lihat fiqh Islam H. Sulaiman Rosyid).



Zina: masalah besar atau kecil?

Melihat dari hukuman yang sudah berjalan maupun rancangan usulan UU perzinaan yang akan dibahas, memberikan ancaman hukuman yang tidak terlalu berat. Bisa dikatakan ringan atau sangat ringan. Bayangkan, berdasar KUHP yang berlaku saat ini, orang yang berzina hanya dihukum 9 bulan (paling lama). Bahkan hukum yang berlaku bisa diotak-atik agar bisa keluar dari jeratan hukuman. Termasuk juga hukuman yang akan diancamkan pada pelaku zina yang terdapat pada RUU perzinaan yang akan dibahas. Layakkah hukuman atas perzinaan hanya 1 atau maksimal 5 tahun perjara?



Padahal dari realitas yang sudah terjadi, seorang yang sudah jelas-jelas terbukti berzina bisa dihukum dibawah dari ketentuan UU. Jika demikian, benarkah zina itu tidak terlalu bermasalah bagi masyarakat? Coba bandingkan dengan hukuman pembunuhan, korupsi atau terorisme yang berlaku di negeri ini. Sejumlah kasus yang diannggap kesalahan berat biasanya dituntut di atas 5 tahun.



Bahkan pada kasus tertentu, seperti kasus korupsi sudah disiapkan rumah tahanan khusus termasuk bajunya pun khusus, bahkan kasus terorisme lebih dahsyat lagi, yakni bisa ditembak ditempat (walaupun belum terbukti). Itulah contoh kasus-kasus yang dianggap besar.



Dalam masalah hukum, suatu kasus/masalah dianggap besar atau kecil dapat dilihat dari ancaman hukumannya. Jika ancaman hukuman masih 5 tahun ke bawah, maka kasus tersebut bukan kasus yang besar dan jika ancaman hukumannya 5 tahun ke atas kasus tersebut dianggap kasus yang cukup besar atau berat.



Oleh karena itu, dalam persoaalan perzinaan, harus dilihat kembali bagaimana fakta perzinaan dan dampak-dampak yang ditimbulkannya. Saat ini masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa perzinaan itu perbuatan buruk akan tetapi masyarakat tidak beranggapan bahwa perzinaan itu masalah besar.



Masih banyak orang yang menganggap zina itu persoalan pribadi, tidak berkaitan dengan orang lain sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Beberapa penyelesaian di masyarakat jika terjadi perzinaan pada orang yang sama-sama lajang/bujang bisa langsung dinikahkan. Jika terjadi pada orang yang sudah menikah bisa diselesaikan secara kekeluargaan.



Tetapi, apa dampak dari cara penyelesaian seperti ini? Jelas. perzinaan semakin marak terjadi, rasa malu karena telah melakukan zina semakin sirna dan entahlah apa yang akan terjadi pada jaman yang akan datang. Tidakkah kondisi semacam ini akan memperburuk keadaan di masa depan? Padahal dengan berzina akan merusak tatanan keluarga, menanggung rasa malu sepanjang hidup, merusak hukum waris, merusak hukum perwalian,dsb. Mari kita pikirkan bersama.



Zina dan hukumannya dalam Islam

Dalam kitab Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shobuny, disampaikan bahwa hukuman zina pada permulaan Islam adalah sebagaimana dikisahkan oleh Allah kepada kita dalam surat an-Nisa” dalam firman-Nya: “Dan terhadap perempuan-perempuan yang melakukan perbuatan keji (zina) hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian maka kurunglah mereka (perempuan-perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberikan jalan lain kepadanya”. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu maka sakitilah mereka. Kemudian jika mereka telah bertaubat dan memperbaiki diri maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah maka penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (TQS.an-Nisa’:15-16)



Maka hukuman bagi perempuan adalah “kurungan” dirumah dan tidak diizinkan keluar, sedang bagi laki-laki “dicaci dan dimaki” dengan ucapan dan kata-kata. Ketentuan ini kemudian dinasakh dengan firman Allah, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah masing-masing dari mereka seratus kali dera”.(TQS. an-Nur:2).



Tampaklah bahwa hukuman zina pada permulaan Islam berbentuk ta’zir dan tidak berbentuk had. Kemudian hukuman itu diganti dengan hukuman yang lebih berat (had) yaitu dera bagi yang masih bujang dan rajam bagi yang sudah menikah sehingga berakhirlah hukuman yang temporer itu dengan diganti hukuman yang menakutkan dan menjerakan.



Hadits Riwayat dari Ubadah bin shamit ra., ia berkata: Pernah Nabi saw, manakala wahyu turun kepada Beliau, Beliau menjadi sedih dan berubahlah rona wajahnya, kemudian pada suatu hari Allah menurunkan wahyu kepada Beliau, lalu ‘Ubadah menjumpai Beliau dalam keadaan yang demikian. Kemudian tatkala Beliau telah bergembira kembali Beliau bersabda:”ambillah hukum dariku, ambillah hukum dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan lain kepada mereka (yaitu): bujangan (yang berzina) dengan bujangan (hukumannya) dera seratus kali dan dibuang selama setahun dan yang telah kawin (yang berzina) dengan yang telah kawin (hukumannya) dera seratus kali dan rajam”.(HR.Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).



Mengapa hukuman zina antara bujang dengan yang telah menikah berbeda? Dalam penjelasannya, Ash-Shobuny mengatakan, perbuatan zina itu adalah perbuatan keji di hadapan Allah. Kejahatan perzinaan orang yang telah menikah lebih buruk daripada yang bujangan. Karena merusak keturunan orang lain, mengotori kehormatannya dan nafsu syahwatnya disalurkan pada jalan yang tidak benar padahal mampu dilaksanakan pada jalan yang diperintahkan. Oleh karena itu hukumannya lebih berat.



Dari sini jelas bahwa zina adalah masalah besar yang harus dihukum dengan hukuman yang berat seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Rajam telah benar-benar dilaksanakan oleh Nabi saw, disamping diperintahkan dengan ucapan beliau, disepakati oleh shohabat dan tabi’in. Ada riwayat yang mutawatir bahwa nabi telah melakukan hukuman rajam kepada sebagian shahabat seperti ma’iz dan seorang perempuan suku Ghomidiyah. Demikian juga Khulafa’ur Rosyidin sesudahnya mereka berulangkali mengumumkan bahwa rajam adalah hukuman bagi pelaku zina yang telah menikah.



Khatimah

Menilik pebahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa usulan RUU Revisi KUHP pasal zina memang “lebih maju” daripada hukum pidana yang berlaku saat ini. Namun jika usulan itu disandingkan dengan solusi Islam dalam menangani pidana zina, maka sungguh ide hukum hasil pikiran manusia tidak ada apa – apanya dibandingkan hukum Allah swt, sang Khaliq.



Islam tidak hanya memiliki satu atau dua pasal untuk menangani masalah ini, tapi telah menyiapkan serangkaian aturan dari hulu hingga hilir, dari larangan hingga seruan. Syariat Islam melakukan tindakan preventif dengan melarang manusia untuk membuka aurat di depan publik, melarang ber-khalwat (berduaan) ataupun ikhtilath (bercampur) antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim hingga seruan untuk segera menikah bagi yang memiliki kemampuan dan kebutuhan serta kebolehan berpoligami bagi yang mampu berbuat adil.



Islam juga menyiapkan sisi kuratifnya, yakni hukum rajam bagi pezina yang pernah atau terikat dalam pernikahan serta hukum cambuk bagi pezina lajang. Tak hanya melarang dan menyuruh, namun Allah & rasul-Nya juga memberi garansi berupa banyak fadhilah (keutamaan), pahala serta kemudahan bagi muslim yang taat pada syariatNya, sebaliknya Allah juga menyiapkan neraka bagi manusia yang melanggar.



Maka benarlah firman Allah swt: ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (TQS. Al Maidah : 50)



Wallahu a’lamu bishshowab

0 komentar:

Posting Komentar