Selasa, 14 Mei 2013

Derita Rakyat Di Negeri Bawang

Prahara yang diderita rakyat negeri ini sepertinya tidak ada hentinya. Setelah dipusingkan dengan harga daging, sekarang ditambah dengan lonjakan harga bawang yang tidak terkendali, para pedagang mengeluhkan kenaikan harga ini, terutama bawang putih yang naik sangat fantastis, sehingga menyebabkan omzet pedagang menurun secara signifikan. Harga yang tinggi menyebabkan konsumen membatasi pembelian bawang.




Data Kementerian Perdagangan (12/3) menyebutkan, pada Februari dan minggu pertama Maret 2013, harga bawang putih dan bawang rata-rata naik 31,38 persen. Harga yang semula Rp 15.000 lalu naik menjadi Rp 60.000 per kilogram (kg). Sementara itu, bawang merah rata-rata naik 11,36 persen. Pada 4 Maret 2013 harganya masih Rp 21.000 kg, tetapi pada 12 Maret menjadi Rp 40.000 per kg. Dikhawatirkan kenaikan harga bawang putih dan bawang merah akan menyumbang inflasi terbesar untuk bulan Maret 2013. Pada Februari 2013, inflasi terbesar disumbang oleh kenaikan harga bawang putih dan bawang merah sekitar 16% .

Kenaikan harga bawang ini ditengarai dipicu kurangnya pasokan dan naiknya harga dari negara asalnya, yaitu China, yang merupakan eksportir terbesar bawang putih ke Indonesia, 95 persen kebutuhan nasional. Di China sendiri harga bawang putih naik dari Rp 13.000 per kg menjadi Rp 18.000 per kg, akibat gagal panen dan makin tingginya permintaan dalam negeri.

Ditambah lagi, krisis bawang di Indonesia diperkeruh oleh ulah pemodal dan pengusaha besar ataupun importir, dengan melanggar aturan impor. Beberapa peti kemas dari 599 peti kemas bawang putih impor dari China, tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Diduga ada unsur kesengajaan pihak importir untuk menahan peti kemas dengan mengulur waktu pengurusan surat persetujuan impor (SPI) dan dokumen rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH).

Harapannya, terjadi kelangkaan bawang di pasar, sehingga akan mendongkrak harga. Komisi Perdagangan dan Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir 11 importir bawang putih melakukan praktik kartel dengan cara mengulur waktu pengurusan ijinnya bagi ke 394 peti kemas produk bawang putih.

Kondisi kelangkaan bawang ini diperburuk dengan kebijakan pemusnahan bawang selundupan. Seperti yang dilakukan oleh Kanwil Bea Cukai Sumut yang melakukan pemusnahan terhadap 9 ton bawang selundupan. Sebanyak 9 Ton bawang putih dan bawang merah selundupan asal Malaysia semula diangkut KM Bunga Tanjung GT 06 No 1481/PHB.S7, akhirnya dimusnahkan dengan cara digilas dengan alat berat giling yang disaksikan sejumlah pejabat instansi terkait di dermaga pangkalan operasi Kanwil DJBC Jalan Karo Belawan, Kamis (28/03).

Bagaimana pandangan Islam terhadap kebijakan pemusnahan bawang selundupan ini? Dan solusi apa yang ditawarkan Islam untuk menghapuskan praktek atau ulah spekulan yang menyengsarakan rakyat ini?



Membedakan Hukum Benda dan Hukum Perbuatan

Tidak bisa digeneralisir antara hukum benda dengan hukum perbuatan, karena keduanya memiliki penunjukan yang berbeda. Berdasarkan kaidah syara’ ”Hukum Asal Sesuatu/benda adalah ibahah sebelum ada dalil yang mengharamkannya”. Kaidah ini menunjukkan bahwa hukum asal semua benda yang ada di alam selesta ini adalah ibahah (Boleh/Halal). Namun, status hukum ibahah ini akan berubah tatkala adanya dalil yang mengharamkannya. Sebagai contoh, hukum minuman keras (khamr) dihukumi haram karena ada dalil yang menjelaskan bahwa khamr adalah benda yang diharamkan Allah.

Demikian pula berdasarkan kaidah syara’ ”Hukum Asal Perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’”, kaidah ini menjelaskan sejak awal bahwa segala perbuatan itu terikat dengan hukum syara’. Sehingga, setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, harus mengikatkan diri kepada hukum syara’. Maka, ijtihad senantiasa dibutuhkan untuk mengetahui hukum syara’ dari sebuah perbuatan, ketika tidak dijelaskan secara rinci di dalam Al Quran dan As Sunnah.

Berdasarkan penjelasan tentang hukum benda dan hukum perbuatan, kita dapat menilai Keputusan Ketua Pengadilan negeri Tanjung Balai No 01/Pen.Pid/2013/PN.TB tanggal 26 Maret 2013, tentang persetujuan pemusnahan terhadap barang bukti berupa bawang merah, sejumlah 926 karung @9 Kg = 8.334 Kg dan bawang putih sejumlah 74 karung @ 9 Kg=666 Kg.

Memandang bahwa sesuatu/benda dan perbuatan merupakan satu kesatuan, maka kebijakan pemusnahan adalah sebuah langkah yang keliru, karena tidak melihat hukum benda dan perbuatan dalam suatu hal yang harus dipisahkan. Islam melihat, terdapat perbedaan antara benda dengan perbuatan. Syara’ telah membatasi hukum-hukum terhadap perbuatan dengan lima macam status, yaitu wajib, haram, sunah, makruh dan mubah, sedangkan hukum benda hanya ada dua status, yaitu halal dan haram.

Oleh karena itu, keputusan ketua pengadilan yang menyetujui adanya pemusnahan, dengan dalih hasil penyelundupan, maka jika dilihat dari pandangan Islam, hal itu merupakan keputusan yang salah. Jika kita anggap penyelundupan itu melanggar hukum, maka hal itu adalah hukum terhadap perbuatan penyelundupannya, sedangkan hukum barang yang diselundupkan, adalah kembali pada hukum asal benda tersebut (Halal).

Jika yang diimpor adalah barang halal, seperti bawang, gula, dan sebagainya, tentu keputusan yang salah untuk memusnahkannya, apalagi barang tersebut sangat dibutuhkan oleh rakyat. Namun, akan berbeda jika barang yang diimpor adalah barang haram, seperti minuman keras, maka tanpa harus adanya perbuatan penyelundupan pun barang-barang tersebut harus dimusnahkan, karena sejak awal barang tersebut adalah barang yang diharamkan oleh syara’. Kalaupun diselundupkan, berarti ada dua kesalahan yang dilakukan, yaitu perbuatan penyelundupannya dan perbuatan menjualbelikan barang-barang haram.

Bawang adalah benda yang dari sisi hukum benda memiliki status hukum halal, sehingga semestinya bawang tidak dimusnahkan. Mestinya dengan situasi krisis bawang, komoditi tersebut bisa disita oleh Negara dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk membantu mengatasi krisis, baik berupa pembagian gratis ataupun dijual dengan harga wajar di pasaran. Bukan dikaitkan dengan perbuatan penyelundupan, sehingga barang dimusnahkan.

Hal ini merupakan keputusan yang tidak berdasar dan negara telah mencoba melakukan pengelabuhan masyarakat, bahwa negara memberantas pelanggaran hukum dengan perbuatan yang melanggar hukum. Perbuatan pejabat yang memutuskan untuk memusnahkan bawang termasuk perbuatan mubazir. Mubazir merupakan perbuatan sia-sia, tidak berguna, atau bersifat memboroskan, berlebih-lebihan dan tercela dalam agama. Pelaku bisa dikenai sanksi berupa ta’zir. Allah Swt dalam firman-Nya menyamakan perbuatan mubazir sebagai perbuatan syaitan :

ۖ كَفُورًا لِرَبِّهِ الشَّيْطَانُ وَكَانَ الشَّيَاطِينِ إِخْوَانَ كَانُوالْمُبَذِّرِينَ إِنَّ

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra : 27)



Kalaupun barang-barang tersebut diduga mengandung bahan-bahan berbahaya, tentu hal tersebut dapat diselesaikan dengan dilihat secara fisik, apakah mengandung bahan berbahaya atau tidak. Tentunya negara memiliki kemampuan untuk melakukan pemeriksaan terhadap barang-barang tersebut. Apa gunanya negara memiliki BP POM kalau tidak bisa melakukan pemeriksaan terhadap kandungan bawang-bawang tersebut kalau memang dikhawatirkan mengandung bahan berbahaya. Sehingga, tidak ada alasan pula melakukan pemusnahan diakibatkan karena kekhawatiran mengandung zat berbahaya.



Mengurai Masalah Bawang

Dalam system Islam, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah krisis kelangkaan barang, seperti bawang. Islam menguraikan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Negara dalam menghadapi masalah seperti ini, yaitu :

1. Menghukum para penimbun dan pelaku manipulasi harga dengan hukuman yang tegas.

Dalam sistem Islam, menimbun adalah perbuatan kejahatan ekonomi yang hukumnya disesuaikan dengan kebijakan khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya. Para penimbun adalah orang-orang yang membeli barang dalam rangka menyimpannya, sehingga barang tersebut tidak ada di pasar dan dia bisa memaksakan harga yang tinggi atas barang tersebut, karena kelangkaannya.

Bawang merupakan komoditi penting yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka negara wajib menjaga ketersediaan barang tersebut di pasaran. Pelanggaran terhadap distribusi barang yang menyebabkan kelangkaan, seperti adanya penimbunan, maka harus diajukan ke pengadilan, dan berlaku atas siapapun, apakah kepada pedagang kecil atau besar bahkan kepada para importir.

Demikian pula dengan adanya manipulasi harga (al ghabnu), maka harus ditindak sesuai dengan syariat yang ada. Tidak dibenarkan adanya manipulasi harga dalam jual beli menurut syariat Islam. Jika terjadi demikian, maka pihak-pihak yang melakukan itu harus di ajukan ke pengadilan. Siapapun yang melakukan manipulasi harga, termasuk pedagang kecil, grosir, bahkan importir besarpun harus diajukan ke pengadilan. Metodenya adalah dengan keberadaan qadhi hisbah, yang senantiasa melakukan pengawasan terhadap penyelewengan harga bahan-bahan yang ada di masyarakat secara terus menerus.

2. Operasi Pasar

Negara akan melakukan operasi pasar baik dengan mengadakan barang dari daerah lain dalam wilayah Daulah Khilafah, ataupun mengimpor dari Luar Negeri. Impor bisa dilakukan oleh Negara atau Masyarakat, dan tidak akan dihadapkan pada administrasi berbelit, bila barang tersebut memang bermanfaat bagi masyarakat, dan juga bila pengusaha kita bisa membelinya dari asing tanpa syarat yang menjerat.

Jangan dibayangkan bahwa kebijakan ini akan membuat pasar dalam negeri kebanjiran produk asing dan akan membunuh hasil produksi petani lokal. Karena prinsip kebebasan kepemilikan tidak akan menjadi mentalitas pengusaha-pengusaha Islam. Khalifah Utsman bin Affan selalu berusaha untuk tetap mendapatkan informasi tentang situasi harga, bahkan harga barang yang sulit dijangkau.

Jika beliau mengetahui ada pedagang-pedagang yang ingin menimbun makanan atau menjualnya dengan harga yang mahal, maka beliau akan mengirimkan kafilah-kafilah untuk mengambil bahan makanan tersebut dengan tujuan untuk merusak praktek penimbunan dan permainan harga yang akan dilakukan oleh para pedagang tersebut. Hal-hal yang dilakukan oleh khalifah merupakan suatu upaya preventif yang dilakukan untuk mengontrol harga agar tidak menjadi beban bagi masyarakat dan menghindari adanya distorsi harga.



Ikhtitam

Pemaparan di atas dengan sangat jelas menunjukkan bahwa keberadaan sistem Islam merupakan kunci terpenting untuk menyelesaikan berbagai krisis dan problem ekonomi. Islam terbukti secara fakta sejarah, maupun secara pemikiran mampu menyelesaikan segala bentuk persoalan kehidupan. Islam mampu menjadi problem solver atas tiap-tiap permasalahan yang dihadapi manusia di dunia. Oleh karena itu, sudah selayaknya kaum muslimin harus menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, yang akan menyelesaikan perbagai persoalan hidup kaum muslimin secara baik. Semoga Allah Swt segera mewujudkan kemuliaan bagi kaum muslimin di muka bumi ini.

Wallahu a’lamu bishowab.



0 komentar:

Posting Komentar