Rabu, 12 Juni 2013

Jaminan KESEHATAN Dalam Islam

Beberapa waktu terakhir, masyarakat Jakarta dibuat bingung dengan kisruhnya program Kartu Jakarta Sehat bagi masyarakat Jakarta. Kasus ini berawal dari berita mundurnya 16 rumah sakit swasta dalam menangani pasien-pasien dari program KJS. Bak bola salju, makin lama isu ini berkembang semakin besar. Bahkan hingga muncul wacana interpelasi oleh anggota DPRD Jakarta kepada Gubernur Jakarta Joko Widodo. Bahkan muncul wacana adanya pemakzulan dari upaya interpelasi yang dilakukan oleh anggota DPRD.





Di sisi lain, masyarakat miskin di Jakarta merasa memerlukan program KJS yang digulirkan. Keberadaan program ini dirasa membantu rakyat miskin dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya. Namun demikian, seolah program ini menjadi sebuah komoditi politik bagi siapa saja yang terlibat, apakah bagi mereka yang pro maupun yang kontra terhadap program ini. Yang menjadi pertanyaan sesungguhnya adalah, apakah KJS dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat? Bagaimana negara memenuhi kebutuhan masyarakat atau warga negaranya?


Berbagai Program Layanan Kesehatan

Program layanan kesehatan di masyarakat memang menjadi fokus dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan yang berjalan. Bahkan lebih dari itu, program-program kesehatan sudah menjadi alat politik bagi siapa saja untuk mendapatkan simpati masyarakat dalam rangka untuk menggapai kekuasaan. Dapat kita lihat bagaimana setiap kali persaingan pemilihan kepala daerah yang ada, senantiasa memunculkan program-program kesehatan sebagai program unggulan mereka.

Mulai program kesehatan gratis, program berobat gratis, program jaminan kesehatan daerah, kartu Jakarta Sehat, dan nama-nama lainnya. Pada tahun 2011 saja, berdasarkan data yang ada, jumlah pemerintah daerah yang mengalokasikan anggaran Jamkesda sebanyak 202 kabupaten/kota yang tersebar di 20 provinsi.

Program-program kesehatan yang ditawarkan itu, semua digunakan sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan dari rakyat. Dalam perkembangannya, program-program yang awalnya menjadi alat politik itu bisa dilaksanakan, tapi tidak jarang di kemudian hari hanya menjadi sebuah slogan belaka bagi sebuah pemerintahan yang berkuasa.

Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah pusat melalui kementerian kesehatan juga melakukan hal serupa. Pengobatan gratis ini dilaksanakan sejak tahun 2005 dengan nama Asuransi Kesehatan Rakyat Miskin (Askeskin), lalu pada tahun 2008 dilakukan penyempurnaan dengan nama Jamkesmas. Mulai tahun 2010 peserta Jamkesmas diperluas kepada penduduk miskin korban bencana pasca tanggap darurat, gelandangan, pengemis, anak terlantar, narapidana (napi), orang cacat, dan penghuni panti asuhan.

Dari sekian banyak program kesehatan yang digulirkan, mayoritas menggunakan metode yang hampir sama. Semua program kesehatan dilaksanakan melalui pembayaran pengobatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat yang berhak melalui pihak ketiga. Yang dilakukan adalah dengan melakukan pembayaran premi kesehatan yang harus dibayar kepada asuransi yang akan menanggung biaya pengobatan masyarakat di rumah sakit.

Sebagai contoh, dalam program KJS, premi yang dibayarkan oleh pemerintah kepada pihak askes adalah Rp. 23.000,-/jiwa/bulan. Dengan jumlah rakyat yang ditanggung kurang lebih 4,7 juta jiwa maka setidaknya pemerintah provinsi DKI Jakarta harus menyiapkan anggaran Rp. 1,2 trilun.

Keberadaan sistem premi yang diterapkan ini sebenarnya bisa menjadi celah bagi pihak-pihak yang memanfaatkannya. Seperti diketahui, bahwa model pembayaran premi kepada asuransi tentu akan sangat menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu. Berdasarkan pengalaman, perusahaan asuransi tidak akan memberikan persetujuan kerjasama kalau tidak mendapatkan keuntungan. Dari premi yang dibayarkan tentu perusahaan sudah menghitung perkiraan dana yang akan digunakan berapa presen.

Kelebihan dari dana premi itulah yang bisa digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan eksistensinya. Termasuk bisa saja dilakukan dengan jalan suap kepada kelompok-kelompok elit yang memiliki kekuasaan dalam menentukan pihak penyedia atau pengelola premi tersebut. Sehingga hal ini bisa menjadi titik yang akan dimanfaatkan elit-elit pemegang kekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif.



Konsep Jaminan Kesehatan Dalam Islam

Jaminan kesehatan merupakan salah satu jaminan kesejahteraan. Dalam Islam, jaminan kesehatan tergolong dalam kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara. Islam melihat persoalan kebutuhan pokok dibagi menjadi dua ketegori : pertama, kebutuhan pokok sebagai individu, yaitu: makan, pakaian, tempat tinggal; kedua, kebutuhan pokok sebagai anggota masyarakat, yaitu kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Negara wajib menjamin kedua kebutuhan pokok tersebut tanpa meminta imbalan, ganti rugi atau mewajibkan rakyat untuk membayar iuran, karena paradigma perbuatan negara adalah pelayanan, bukan berorientasi pada keuntungan. Untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut, maka negara dapat mengambilkan dari kas negara, yaitu pada pos kepemilikan umum yang ada di baitul mal, yaitu harta dari hasil tambang, usyur, khumus, rikaz, dan zakat (yang dikhususkan untuk 8 ashnaf).

Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi negara untuk menghindar dari tanggung jawabnya dalam melayani urusan-urusan rakyat, Rasul Saw bersabda: ”Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari & Muslim).

Namun dalam pelaksanaan di lapangan, dalam pemenuhan kebutuhan pokok tersebut, kepala Negara menyerahkan sepenuhnya kepada kepala daerah, sehingga segala sesuatunya menjadi tanggung jawab kepala daerah. Jika terdapat kepala daerah yang melalaikan tanggung jawabnya, maka harus diadukan ke pengadilan, maka pengadilan dapat memaksanya agar membayarkan apa yang menjadi hak warga negara dan pengadilan juga akan menjatuhi sanksi ta’zir kepadanya.

Memposisikan jaminan kesehatan sebagai kebutuhan pokok dan adanya kewajiban bagi negara untuk memenuhinya merupakan suatu hal yang mutlak, karena Islam telah menetapkan kebutuhan kesehatan sebagai salah satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Oleh karenanya, negara wajib menyediakan segala sarana yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi ini. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin. Semuanya berhak untuk mendapatkan jaminan dan fasilitas tersebut secara memadai (sesuai standar) tentunya dengan harga murah bahkan gratis.

Sehingga rakyat miskin tidak perlu bersusah payah atau bahkan menghindari berobat di rumah sakit lantaran biaya tinggi. Namun, apabila ada warga negara yang ingin mendapatkan pelayanan yang lebih daripada standar keumuman, semisal menyewa dokter pribadi untuk kesempurnaan kesehatan dirinya maka hal itu bukan kebutuhan yang wajib ditanggung negara lagi.

Negara tidak dapat, bahkan tidak boleh mengatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah tanggungjawab bersama. Seperti yang disampaikan salah satu pimpinan daerah yang menyatakan bahwa hendaknya pihak rumah sakit tidak hanya memperhitungkan untung rugi saja, tetapi harus berbicara tentang kemanusiaan. Pernyataan ini seolah sangat “humanis” namun kalau dilihat lebih jauh sebenarnya merupakan sebuah upaya pengaburan tanggungjawab kesehatan bagi rakyat.

Tanggung jawab pemenuhan jaminan kesehatan adalah tanggung jawab negara dan tidak bisa dialihkan kepada pihak lain, baik individu ataupun swasta. Namun, individu atau swasta dapat membantu dalam pelaksanaannya. Sebab secara hukum, tidak ada kewajiban bagi individu untuk membantu memenuhi layanan kesehatan bagi rakyat. Sehingga negara jangan mengalihkan tanggungjawab kepada pihak lain, yang sebenarnya hal tersebut adalah tanggungjawab penuh negara.

Adapun dalam pelaksanaan pemberian jaminan kesehatan, diberikan melalui keberadaan rumah sakit-rumah sakit yang semua anggarannya dipenuhi oleh negara. Rumah sakit tersebut harus menjamin ketersediaan sumber daya dalam melayani kesehatan. Kalaupun misalnya rumah sakit swasta dilibatkan dalam penjaminan kesehatan maka biaya pengobatan diberikan kepada rumah sakit swasta sebesar yang digunakan dalam masa pengobatan, bukan dengan jalan premi kesehatan seperti yang saat ini terjadi. Pemberian jaminan biaya penuh sebesar yang digunakan dalam pengobatan menunjukkan kejelasan transaksi yang terjadi dalam proses pengobatan terhadap rakyat.

Disamping itu harus ada kaifiyah tatbiq (penegakan), kepada pihak yang memiliki tanggungjawab terhadap jaminan kesehatan. Adanya sanksi terkait penegakan adalah agar pelayanan negara akan jaminan kesehatan tetap lestari dan berjalan dengan baik. Untuk itulah, maka Islam menetapkan metode pelestariannya dengan metode penegakan hukum syara’, artinya, apabila aparatur negara lalai dalam menjalankan fungsinya, maka harus diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan sanksi hukum syara’ atas pelanggaran yang dilakukan.

Dalam kaitan kewajiban negara dalam memenuhi jaminan kesehatan, jika ada pemimpin di suatu wilayah yang lalai tidak memenuhi kewajibannya memenuhi kebutuhan jaminan kesehatan atau kepala daerah tidak menganggarkannya, maka bisa diajukan ke pengadilan untuk diberikan sanksi ta’zir. Sehingga tanggung jawab penuh dalam pemenuhan jaminan kesehatan adalah kepala daerah. Pemenuhan jaminan kesehatan bukanlah tanggungjawab rumah sakit, rumah sakit hanyalah dalam pengaturan administrasi dalam pelayanan kesehatannya, yang tentunya juga harus diatur sedemikian rupa jangan sampai mempersulit akses kesehatan bagi masyarakat.

Sistem Islam selama 14 abad lebih terbukti mampu menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya dengan baik, bukan merupakan sebuah kesalahan jika kaum muslim mau menerapkan kembali di tengah-tengah kehidupan umat Islam saat bahkan menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mewujudkan itu. Oleh karena itu, sudah saatnya para pemimpin di negeri-negeri Islam memberikan jaminan dengan metode jaminan kesehatan islam yang berorientasi murni hanya untuk melayani rakyat tanpa ada tendensi materi atau kepentingan apapun.

Wallahua’lam bisshowab.

0 komentar:

Posting Komentar