Akhir bulan lalu Pemerintah mengumumkan akan menerbitkan obligasi Samurai Bond di tahun 2012. Tujuannya untuk menambal pembiayaan APBN, sekaligus menjaring yen bagi pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo tahun ini, dimana sebagian besar berdenominasi yen. Direktur Pinjaman dan Hibah Luar negeri Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kemenkeu, Widjanarko, mengatakan bahwa pokok utang yang jatuh tempo lebih dari 3,6 miliar dollar AS, terdiri dari 14 mata uang dan porsi terbesar ada dalam bentuk mata uang Yen. Sementara berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo tahun ini sebesar 5,644 miliar dollar AS. Rinciannya utang pokok 3,6 miliar dollar AS dan bunga utang 1.965 miliar dollar AS.(http://bisniskeuangan.kompas.com/30012012)
Samurai bond adalah obligasi dalam denominasi mata uang yen yang diterbitkan oleh penerbit obligasi dari suatu negara di luar Jepang dan diperdagangkan pada pasar Jepang. Obligasi sendiri adalah suatu istilah yang digunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Ringkasnya, Obligasi merupakan utang tetapi dalam bentuk sekuriti.
"Penerbit" obligasi adalah si peminjam atau debitur, sedangkan "pemegang" obligasi adalah pemberi pinjaman atau kreditur, dan "kupon" obligasi adalah bunga pinjaman yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur. Dengan penerbitan obligasi ini, maka dimungkinkan bagi penerbit obligasi untuk memperoleh pembiayaan investasi jangka panjang dengan sumber dana dari luar. Dengan kata lain, Pemerintah berniat mengambil utang baru guna membayar utang lama, alias tutup lobang dari galian lobang yang lebih besar. Artinya, negeri ini akan tersandera utang luar negeri, bagaikan lingkaran setan yang tidak diketahui ujung pangkalnya.
Berdasarkan rilis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) FITRA, utang luar negeri Indonesia kini totalnya mencapai Rp. 1.937 trilyun. Menurut hitungan Koordinasi investigasi dan Advokasi Seknas FITRA, Ucok Sky Khadafi, jika pada tahun anggaran 2012 negeri ini memiliki utang sebesar Rp. 1.937 triliun, kemudian dibagi dengan 259 juta orang, berarti Presiden SBY memberikan setiap satu orang penduduk utang sebesar Rp. 7.478.764,-” (www.tribunnews.com/05022012).
Ironisnya, menurut Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, utang baru yang dicairkan pemerintah rata-rata US$ 3 miliar per tahun, sementara pembayaran utang ke luar negeri (termasuk bunganya) setiap tahunnya rata-rata sekitar US$ 5 miliar. Sehingga pemerintah mengalami defisit transaksi sebesar rata – rata US$ 2 Milliar dollar atau Rp 18 Trilliun (dengan kurs US$ 1 = Rp. 9.000,-). Itu terjadi sejak 1984, ketika transaksi utang luar negeri kita selalu negatif .
Sebenarnya, akhir Januari 2011 pemerintah membubarkan CGI (Consultative Group on Indonesia), yaitu forum negara dan lembaga kreditor Indonesia. Dengan dibubarkannya CGI, banyak kalangan berharap agar pemerintah negeri ini mampu mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri. Pada kenyataannya, jauh panggang daripada api, beberapa hari setelah CGI dibubarkan, sejumlah departemen justru mengajukan rencana pinjaman US$ 40 miliar untuk membiayai berbagai proyek yang harus berjalan dua tahun kedepan. Dari sini nampak jelas bahwa pemerintah negeri ini benar-benar tergantung atau bahkan sudah pada tahap kecanduan untuk terus berutang pada luar negeri.
Padahal negara-negara maju selalu memperlakukan negara miskin sebagai pecundang. Hanya pemerintah saja yang berpikir naif, beranggapan bahwa mereka bermaksud baik. Padahal, mereka itu bermaksud jahat. Hutang adalah sarana imperialisme ekonomi Negara maju kepada Negara berkembang dan tidak dimaksudkan untuk mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu, Negara donor selalu mengontrol penggunaan dana hutang mereka, dalam artian dana tersebut harus dipastikan digunakan oleh Negara penghutang untuk membiaya proyek – proyek konsumtif yang tidak berkorelasi dengan perbaikan ekonomi.
Hutang-hutang luar negeri yang didapat oleh pemerintah Indonesia, mayoritas tidak berupa uang tunai, akan tetapi berbentuk proyek yang disebut dengan belanja kredit, dimana kontraktor pelaksana proyek tersebut harus perusahaan yang berasal dari Negara donor. Selanjutnya, kontraktor dan konsultan dari negara kreditor/pemberi utang tersebut digaji dari dana pinjaman negaranya. Sehingga secara logika, sebenarnya adanya pinjaman luar negeri tersebut menjadikan keuntungan negara kreditor berlipat ganda dan merugikan negeri debitur. Apalagi setiap utang yang dipinjam, ditambah dengan bunga yang harus dikembalikan selain uang pokok pinjaman.
Pada kisaran Oktober 2011 lalu, World Bank sempat membuat pernyataan yang sekilas menenangkan dan menyenangkan bagi pemerintah sekaligus rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, dalam laporan tersebut dikatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini sudah sama baiknya dengan sebelum masa krisis tahun 1997. Salah satu indikasinya adalah, pemerintah telah berhasil mengurangi utang luar negeri.
Digambarkan pula bahwa kondisi keuangan pemerintah saat ini sudah seperti pada kondisi akhir 1970-an. Karena kenaikan harga minyak dunia, secara financial mendongkrak kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan dan pendidikan penduduk. Benarkah pujian yang dilayangkan oleh World Bank tersebut sesuai dengan kenyataan yang terjadi di negeri ini? Perekonomian dan financial di negeri ini semakin baik? Sehingga negeri ini tidak perlu berutang lagi ke luar negeri? Atau sebenarnya pujian itu hanya sekedar kamuflase agar pemerintah Indonesia mau berutang lagi?
Sesungguhnya World Bank tidak bisa dipercaya sepenuhnya. karena sebagai banker yang sedang menjual “produk”, target mereka adalah memasarkan kreditnya, sehingga memuji-muji kondisi ekonomi kita yang baik, supaya mengambil kredit lebih banyak. Faktanya, jumlah pengangguran dan masyarakat miskin terus bertambah.
Lembaga-lembaga keuangan di dunia seperti Asian Development Bank (ADB), Internasional Monetarry Fund (IMF), World Bank mempunyai kesamaan dalam menetapkan kriteria dan syarat pinjaman kepada negara-negara debitur/peminjam, termasuk Indonesia. Di belakang lembaga-lembaga tersebut, ada pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi terhadap Indonesia. Dalam artian, hutang adalah alat tawar Negara kreditor untuk mewujudkan kepentingannya.
Disamping melemahkan posisi tawar pemerintah, dalam jangka pendek utang luar negeri juga menyebabkan kehancuran mata uang Negara debitor, melalui kekacuan moneter akibat ulah para spekulan valas. Kita ingat krisis moneter tahun 1997, disaat hutang negeri ini jatuh tempo dan pemerintah bersiap membayar, tak dinyana terjadi gejolak mata uang di pasar asia akibat ulah konglomerat yahudi, George soros. Situasi krisis itu menyebabkan nilai rupiah terhadap dolar amerika terjun bebas dari Rp. 2000,- per US$ 1,- menjadi Rp. 18.000,- per US$ 1,- dalam kurun waktu kurang dari setahun. Praktis hutang Indonesia bertambah sembilan kali lipat! Padahal rakyat tidak secuilpun menikmati hasil utang tersebut.
Pada saat Negara penghutang kesulitan membayar, Negara donor terlihat bersikap toleran dengan kesediannya melakukan rescheduling (penjadwalan ulang) pembayaran utang. Namun, sesungguhnya ini hanyalah strategi Negara barat agar utang semakin menumpuk, hingga akhirnya Negara penghutang semakin kesulitan membayar hutangnya. Disaat hutang sudah tidak mungkin lagi dibayar dengan devisa, maka Negara terpaksa melunasi hutangnya dengan cara lain, seperti melakukan privatisasi BUMN atau bahkan menyerahkan bagian wilayahnya (walau tidak secara langsung) untuk dikuasai dan dikelola Negara donor sebagai kompensasi pembayaran hutang.
HUKUM SYARA’ UTANG
Nabi saw bersabda yang artinya: “Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi utang lembu mudanya kepada orang itu. Aku berkata : ‘Aku tidak mendapati pada unta itu, selain unta yang keempat kakinya bagus-bagus.’ Beliau bersabda : berikan saja ia kepadanya, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik ketika melunasi utangnya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi)
Berdasarkan hadits di atas, diperbolehkan (mubah) bagi individu berutang kepada siapa saja yang dikehendaki, baik sesama rakyat ataupun orang asing, sesama muslim maupun non muslim. Asalkan perjanjian dalam berutang pun harus sesuai dengan hukum syara’, yaitu tidak mengandung unsur riba, sebagaimana firman Allah swt “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (TQS. Al Baqoroh : 275).
Namun apabila utang atau bantuan ini membawa bahaya, maka utang itu diharamkan, berdasarkan kaidah syara’ “Apabila terjadi bahaya (kerusakan) akibat adanya satu bagian diantara satuan-satuan yang mubah, maka satuan itu saja yang dilarang.”
Adapun tentang berutangnya negara, maka negara tidak perlu melakukannya, kecuali jika ada hal-hal penting yang apabila ditunda akan dikawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan, pada kondisi yang demikian negara diperbolehkan berutang untuk kemudian dilunasi dengan cara menarik pajak atau melalui pendapatan Negara lain. Sedangkan perkara yang kurang urgen, dalam pengertian penundaannya tidak menyebabkan kerusakan/kebinasaan/bahaya maka hendaknya pelaksanaan menunggu Negara memiliki harta dan tidak memaksakan diri untuk berhutang.
Perkara urgen yang harus tersedia dananya, misalnya penafkahan terhadap fakir miskin, ibnu sabil, dan jihad. Juga nafkah gaji bagi para pegawai dan tentara. Dan juga penafkahan untuk menanggulangi kejadian akibat bencana alam, kelaparan, atau serangan musuh. Dalam perkara – perkara di atas, jika terdapat harta dalam Baitul Maal maka harta tersebut harus dikeluarkan untuk membiayai harta tersebut, jika tidak tersedia dana maka dibolehkan bagi Negara untuk berhutang.
Sementara, untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur, seperti gedung, jalan, jembatan, pembangunan sekolah, rumah sakit, pengeboran dan sebagainya, maka negara tidak diperbolehkan berutang khusus untuk pengerjaan proyek-proyek tersebut. Apabila salah satu proyek pembangunan infrastruktur tersebut sangat mendesak, misal perlu dibangun jembatan penghubung daerah terpencil, sementara kas negara kosong, maka negara boleh menarik pajak secara insidental kepada rakyatnya yang kaya saja. Bila proyek sudah selesai, negara tidak berhak menarik pajak pada rakyatnya. Inilah hukum syara’ tentang ketidakbolehan negara berutang baik kepada pihak asing atau rakyatnya sendiri apabila hutang itu dikhususkan untuk pembangunan proyek infrastruktur.
Selain itu yang harus diperhatikan jika negara berhutang pada negara lain, utang tersebut tidak boleh melemahkan posisi negara dihadapan negara pemberi utang, sebagaimana beban yang menyebabkan negeri ini tidak memiliki bargaining power dihadapan lembaga-lembaga keuangan dan negara-negara kreditor/pemberi utang. Hal ini sesuai kaedah syara’ : ”Setiap bagian dari satuan – satuan sesuatu yang mubah apabila membawa pada bahaya, maka haram bagi satuan tersebut, sedang bagian lain tetap mubah”.
Khatimah
Ketika kita sudah paham akan bahaya adanya utang luar negeri, dimana utang tersebut digunakan oleh Negara donor sebagai alat melakukan imperialime ekonomi untuk mengeksploitasi sumberdaya alam negeri ini, dan juga untuk menguasai segala aspek perekonomiannya. Hendaknya umat segera bangkit dari keterpurukan ini. Janganlah terlena dengan utang-utang luar nengeri, saatnya bangkit dan mandiri mambiayai negeri ini dengan potensi-potensi sumberdaya alam nan melimpah yang Allah Swt telah anugerahkan. Tidak perlu tergantung pada kekuatan asing yang semakin lama justru membuat umat Islam terpuruk. Wallahu a’lam bishshowab.
0 komentar:
Posting Komentar