Jumat, 23 Maret 2012

Mensikapi "Dialog Antar Agama"


Pertemuan Ke-6 Dialog Lintas Agama Tingkat Regional berlangsung di Semarang, 11-15 Maret 2012. The 6th Regional Interfaith Dialogue dihadiri oleh 120 anggota delegasi dengan berbagai latar belakang (pemimpin agama, tokoh masyarakat, akademisi, media dan pejabat pemerintah) dari 13 negara, yaitu Indonesia, Australia, Selandia Baru, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam. Acara  ini diharapkan menghasilkan sebuah Plan of Action menuju program-program dan inisiatif-iniatif yang nyata dan dapat diterapkan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan kawasan.
Berbagai komentar disampaikan sebagai bentuk dukungan terhadap dialog ini. Diantaranya dari dua anggota Kongres Amerika, mereka menyambut baik dialog antar keyakinan yang dilakukan 24 tokoh agama Islam, Kristen dan Yahudi yang tergabung dalam “Interfaith Mission for Peace and Understanding”. Keduanya menilai sudah saatnya agama menjadi jembatan yang menghubungkan aspirasi antar pemeluk dan bukan dinding yang membatasi dialog. Lebih jauh ke-24 tokoh agama Islam, Kristen dan Yahudi ini yakin dialog semacam ini akan membantu menyudahi kesalahpahaman tentang akar konflik yang terjadi dan sekaligus menghentikan ekstrimisme di banyak negara, khususnya Indonesia.
Di Kesempatan lain di negeri Belanda, sekitar sepuluh orang wanita Kristiani dan Islam duduk berhadapan di kantin pusat Gereja Kristen Protestan (PKN) di Utrecht, Belanda tengah. Mereka adalah peserta dialog Islam dan Kristiani yang mengagendakan kegiatan membaca kitab suci bersama (Al Qur’an dan Bible) antara perempuan Kristiani dan Muslim untuk mencari titik temu antara dua agama samawi ini. Pemprakarsa acara ini adalah Dr. Gé Speelman, seorang dosen di universitas teologia protestan Belanda. Kegiatan dilaksanakan menjelang peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 9 maret 2012 lalu.
Atas nama perdamaian, Dialog antar agama dianggap sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan konflik atas nama agama, yang muncul di banyak negara. Bagaimanakah sikap Islam menyikapi dialog semacam ini dan apa pula tujuan dan sasaran dari dialog tersebut? Benarkah perdamaian di dunia ini akan terwujud jika dialog antar agama ini disepakati oleh banyak tokoh agama yang hadir?

Dasar Pemikiran Dialog antar Agama
Dialog antar agama bukan ide yang berasal dari aqidah Islam, melainkan muncul dari  ide  pluralisme yang berasal dari ideologi Kapitalisme  Barat. Pluralisme memandang bahwa masyarakat itu tersusun atas individu-individu dan masing-masing individu mempunyai berbagai aqidah (keyakinan, pandangan), kemaslahatan, keturunan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu mereka (penganut kapitalisme) menganggap telah menjadi  keharusan  bahwa masyarakat majemuk (berbeda-beda), masing-masing kelompok memiliki tujuan yang khusus.
Mabda’ (Ideologi) Kapitalis mengagungkan kebebasan yang terdiri atas : Kebebasan beragama, Kebebasan bertingkah laku, Kebebasan kepemilikan, serta Kebebasan berpendapat. Kebebasan beragama dalam perspektif kapitalis menempatkan setiap orang bebas memeluk agama, bebas berpindah agama bahkan bebas untuk tidak beragama, karena dalam pandangan kapitalis semua agama adalah sama, tidak ada yang paling benar atau lebih benar. Pemikiran ini biasa dikenal dengan sebutan sinkritisme agama.
Bagi para pengemban kapitalisme masing-masing kelompok memiliki ciri khas yang tidak mungkin sama satu dengan yang lainnya, baik dari segi tujuan, nilai  yang dimilikinya bahkan aqidah atau ide yang dianutnya. Perbedaan-perbedaan tersebut harus dijaga karena tidak mungkin dapat dipersatukan, karena hal itu terkait konsep kebebasan individual Kapitalisme. Dalam masalah agama, pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar agama, maupun toleransi secara luas antar umat beragama. Dalam dialog antar agama, tidak boleh ada klaim kebenaran atas satu agama.
Mohammad Natsir dalam tulisannya di majalah Panji Islam (April-Juni 1940) yang berjudul “Dokter Agama”, membuat perumpamaan “resep” yang diberikan oleh kaum Teosofi (kelompok yang menganggap semua agama baik) sebagai “obat sintese”, yakni obat campur aduk. Akhir kesudahannya menghasilkan satu agama gado-gado, Budha tanggung, Islam tidak, Kristen tidak tentu. Tentu saja hal semacam ini bukanlah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Dialog antar agama Perspektif Islam
Islam adalah dien yang menjunjung tinggi perdamaian tetapi Islam lebih menjunjung tinggi kebenaran. Islam menghargai pluralitas (kemajemukan) namun menentang pluralisme (paham semua agama benar). Dalam urusan keimanan, Islam telah menetapkan dengan tegas bahwa, ‘Sesungguhnya agama yang diridhoi Allah hanyalah Islam”. (TQS. Al Imran : 19). Oleh karena itu, Islam menolak dialog agama yang bertujuan mencari jalan tengah atau titik temu antar agama yang berujung pada pemikiran semua agama sama. Allah swt berfirman  “Barang siapa yang mencari  agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu daripadanya dan di akhirat kelak dia akan termasuk orang-orang yang merugi”(TQS. Al Imran : 85). Ayat ini jelas – jelas menyebutkan bahwa agama yang diterima hanyalah Islam dan barangsiapa memilih agama lain sesungguhnya dia adalah orang yang rugi.
Sesungguhnya Ide dialog antar agama merupakan suatu cara untuk memerangi Islam dan kaum muslimin. Cara  untuk mendangkalkan aqidah ummat dan menyimpangkan kaum muslimin dari agama yang lurus  dengan cara melepaskan kaum muslimin dari bagian terpenting ajaran Islam, yaitu dalam makna yang sebenarnya (pengaturan urusan rakyat dengan hukum-hukum Islam). Dalam dialog tersebut, mereka telah menyamakan Islam dengan agama-agama lain, seperti Yahudi dan Kristen. Inilah pemikiran sinkritisme yang  dikembangkan oleh beberapa kalangan, salah satu kelompok yang gencar mempromosikan gagasan ini adalah Kelompok Fremansory.
Padahal pengembangan theologi ini membawa dampak yang membahayakan dalam kehidupan bermasyarakat. Teologi ini mengajak penganutnya tidak  meyakini kebenaran agamanya dan berpangkal pada keimanan kepada sesuatu yang abstrak dan kabur. Ujungnya adalah pengingkaran kepada kebenaran wahyu dan kenabian  serta menyerahkan kebenaran kepada nurani manusia yang serba nisbi dan tidak jelas parameternya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, kelompok ini berpandangan bahwa agar terjadi kerukunan umat beragama, seorang muslim dan pemeluk agama lain harus menghindarkan sikap fanatik, dogmatis dan otoriter yang menganggap bahwa hanya agama yang dipeluknya yang benar. Pemeluk suatu agama harus menganut theologi pluralis, ia harus meyakini bahwa agama lain juga benar, yang berbeda hanya cara tetapi tujuannya adalah sama.
Adapun Tema Perdamaian yang diusung dalam Dialog Lintas agama ini tidak lain adalah bagian dari ghozwul fikri musuh-musuh Islam untuk melemahkan dan menyerang kaum muslimin. Karena sebenarnya  perdamaian yang mereka maksudkan adalah slogan usang dan bungkus manis untuk  menjaga kepentingan Kapitalisme. Sejarah telah membuktikan perjuangan kaum muslimin Palestina dalam melawan kebiadaban Israel (orang-orang Yahudi). Orang-orang Yahudi telah membunuh, memperkosa, bahkan  mengusir jutaan warga Palestina dari tanah mereka sendiri. Berungkali Yahudi Israel melanggar perjanjian, tidak menghargai badan dan jiwa kaum muslimin serta merampas tempat suci kaum muslimin dan mengotori Baitul Maqdis.
Ada sebagian muslim liberal yang membebek pada barat mencoba memaksakan dialog antar agama dengan menggunakan potongan ayat dalam QS. Al Imran : 64 yang berbunyi “Kalimatin sawa’ bainana wa bainakum”, yang artinya kurang lebih “marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu”. Mereka berdalih bahwa ayat ini menjadi dalil bagi ummat Islam untuk melaksanakan dialog antar keimanan dengan ummat agama lain, khususnya ahli kitab Yahudi dan Nasrani, untuk mencari common platform antara Islam dengan agama lain. Namun sesungguhnya, maksud ayat ini berkebalikan dengan tafsir yang dimaui oleh kalangan Islam liberal. Menurut Imam Ibnu Katsir, sesungguhnya ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menyeru ahli kitab pada satu kalimat yg sama, yaitu kalimat tauhid Laa illah ha ilallah.
Bertitik tolak dari pemahaman QS. Al Imran : 64 ini, maka ummat Islam bisa terlibat dalam dialog antar ummat beragama, namun bukan dalam rangka menyamaratakan semua agama benar, tapi dalam rangka dakwah Islam. Mengajak ummat non muslim kembali pada fitrahnya, yakni beriman pada Allah dan Rasulullah Muhammad SAW. Namun jika non muslim yang diajak berdialog berketetapan pada agama lamanya, maka ummat Islam akan tetap menghormatinya, karena Allah swt telah berfirman,” Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (TQS. Al Baqarah : 256). Dan di ayat lainnya disebutkan, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (TQS. Al Kafiirun : 8).
Selanjutnya ummat Islam harus menjalankan serangkaian syariat tentang tata cara  berhubungan antara ummat Islam dengan ghairu muslim (baca : toleransi), diantaranya disebutkan dalam firman Allah swt,” Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (TQS. Al Mumtahanah : 8). Pada ayat ini Allah memerintahkan orang – orang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya untuk berbuat baik dan adil pada golongan non muslim. Namun sikap baik ini hanya ditujukan pada non muslim yang juga bersikap baik pada ummat Islam. Dan sebaliknya, jika orang – orang kafir ini bersikap buruk pada kaum muslimin, maka Allah swt juga berfirman,” Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (TQS. Al Mumtahanah : 9).

Khatimah
Sesungguhnya aqidah Islam adalah aqidah yang khas dan berbeda dengan yang lainnya. Kekuatan aqidah Islamlah yang akan mengembalikan kembali kaum muslimin pada kemuliaan dan menempati posisi yang akan  diperhitungkan di dunia. Kehormatan negeri-negeri Islam akan terjaga ketika umat berada dalam benteng perlindungan institusi politiknya yaitu tegaknya Khilafah Islamiyyah. Selain menjaga kemulian Islam dan kaum muslimin, Khalifah juga bertugas memberi jaminan perlindungan kepada non muslim, dalam hal ini kafir dzinmi (orang kafir yang menjadi warga khilafah) dan kafir muahid (orang kafir yang terikat perjanjian damai). Maka inilah perdamaian yang hakiki. Sesungguhnya tegaknya system Islam bukan hanya memberi maslahat pada ummat Islam, namun juga akan memberi kebaikan kepada non muslim, karena Islam adalah agama rahmatan lil alamien.
Wallahu’alam bi showab
                                                                                                                                          
                                                                                                                                          




.

   

0 komentar:

Posting Komentar