Ida Schapelle Leigh
Corby ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara Ngurah Rai,
Denpasar, Indonesia, pada 8 Oktober 2004. Dalam tas Corby ditemukan 4,2 kg
ganja. Corby diputus bersalah atas tuduhan yang diajukan terhadapnya dan divonis
hukuman penjara selama 20 tahun pada 27 Mei 2005. Selain itu, ia juga didenda
sebesar Rp.100 juta.
Pada 20 Juli 2005,
Pengadilan Negeri Denpasar kembali membuka persidangan dalam tingkat banding
dengan menghadirkan beberapa saksi baru. Kemudian pada 12 Oktober 2005, setelah
melalui banding, hukuman Corby dikurangi lima tahun menjadi 15 tahun. Pada 12
Januari 2006, melalui putusan kasasi, MA memvonis Corby kembali menjadi 20
tahun penjara, dengan dasar bahwa narkotika yang diselundupkan Corby tergolong
kelas I yang berbahaya. Namun pada bulan Mei 2012 tiba – tiba Presiden
memberikan grasi berupa pengurangan hukuman selama 5 tahun bagi Corby.
Sejumlah politisi
mengecam keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan permohonan
grasi Schapelle Leigh Corby. Grasi tersebut dinilai bertentangan dengan
kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengetatan remisi dan
pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi, narkotik, dan terorisme.
”Kebijakan tersebut
juga paradoks dengan semangat memerangi peredaran narkotik,” kata anggota
Komisi Hukum DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Indra S.H., di kompleks DPR,
Senayan. Indra mengatakan pemerintah seharusnya konsisten memerangi narkotik.
Karena itu, dia meminta Presiden membatalkan remisi tersebut. ”Indonesia adalah
negara besar dan merdeka. Jangan mau didikte Australia,” kata Indra.
M. Nurdin, anggota
Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, khawatir grasi Corby berdampak
buruk bagi terpidana narkotik lainnya. Karena itu, komisinya akan meminta
penjelasan kepada Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. ”Kalau pemerintah
tidak bisa menjelaskan, ini menunjukkan indikasi adanya tebang pilih,” katanya.
Sementara Menteri Hukum dan HAM Amir
Syamsuddin mengatakan, kebijakan tersebut justru saat ini telah berbuah hasil, yakni
pemerintah Australia sudah mau membicarakan untuk membebaskan WNI yang ditahan
di Australia. Menurutnya, menjadi hal yang penting jika pemerintah Australia
membebaskan WNI yang ditahan di sana. Amir juga
menyebutkan bahwa dikabulkannya permohonan grasi dengan pengurangan masa
hukuman terkait jenis narkoba yang dibawa Corby yakni ganja. “Di beberapa
negara, sanksi pidana untuk pembawa (kurir) ganja tergolong sangat ringan.
bahkan ada yang sudah menghapuskan sanksi pidana terhadap kasus terkait ganja.”
Pemberian
grasi pada corby telah menjadi perbincangan pro dan kontra di tengah publik,
lalu bagaimanakah Islam memberlakukan hukuman bagi pengedar narkotika ?
Narkoba dalam Islam
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menyatakan, “Sesungguhnya awal dikenalnya ganja oleh umat Islam adalah
pada akhir abad ke 6 H atau abad ke 7 H, yaitu ketika bangsa Tatar dengan
panglimanya bernama Jenghis Khan merambah ke wilayah Negara Islam.” Para ulama
sampai pada kesepakatan bahwa Narkoba adalah segala sesuatu yang memabukkan
atau menghilangkan kesadaran, tetapi bukan minuman keras, baik berupa tanaman
maupun yang selainya. Selanjutnya istilah narkoba dalam terminologi Islam
disebut mukhoddirot. Narkoba adalah
haram, karena pada narkoba terdapat illat
(sifat) memabukkan sebagaimana tersebut pada hadits tentang khamer :
« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفَتِّرٍ»
Rasulullah saw
melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud
dan Ahmad)
Rasulullah saw juga menegaskan bahwa “Setiap zat yang memabukkan itu khamr, dan
setiap zat yang memabukkan itu haram” (HR.Bukhari
dan Muslim).
Dalam sabdanya yang lain disebutkan : “Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka
sedikitnyapun haram” (HR. Ahmad dan Abu
Daud).
Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa ada 10
golongan yang dilaknat terkait dengan khamr, yaitu orang yang (1)
memeras/pembuat, (2) minta diperaskan, (3) meminum/mengkonsumsi, (4)
membawakan, (5) minta dibawakan, (6) memberi minum dengannya, (7) menjual, (8)
makan hasil penjualannya, (9) membeli, (10) yang dibelikan (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Sedangkan tindakan hukuman terhadap mukhoddirot
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
:
a. Imam Abu Hanifah
Menurut al Imam Abu Hanifah, khamer (miras) adalah
: “Minuman keras yang memabukkan yang berasal dari perasaan anggur saja”.
Sedangkan yang terbuat dari selain anggur, dinamakan nabidz. Oleh karena itu bagi peminumnya (nabidz) tidak dikenakan
hukuman had.
b. Jumhur ulama’ (Syafi’i, Maliki, dan Ahmad)
Menurut mereka Khamer adalah: “Nama (sebutan) dari setiap
minuman yang memabukkan.” Oleh karenanya dari apapun minuman itu dibuat,
asalkan memabukkan, maka minuman tersebut layak dinamakan khamer. Bagi
peminumnya dikenakan hukuman had.
Jika
membandingkan dengan hukuman bagi peminum khamr, maka ada beberapa hadits yang dapat
menjadi acuan :
“Dari Anas RA. Bahwasanya nabi Muhammad SAW, menjilid (melaksanakan
hukuman had) dengan menggunakan pelepah kurma dan sandal. Kemudian Abubakar
menjilid 40 kali. Ketika sampai pada giliranya Umar, sedangkan manusia mulai
berdatangan dari pedesaan, beliau bertanya: apa pendapatmu tentang penjilitan
terhadap masalah khamer? Seraya Abdurrahman bin Auf menjawab: aku melihat bahwa
engkau menjilid dengan hukuman had yang paling ringan. Maka selanjutnya Umar
menjilid sebanyak 80 kali.”
Sementara di hadits lain disebutkan
“Berkatalah Abu Hurairoh RA, seorang laki-laki peminum khamer
didatangkan kehadapan Rasulullah, seraya beliau berkata: Pukullah dia. Maka
diantara kita (para sahabat nabi) ada orang yang memukul dengan tanganya, ada
yang memukul dengan sandalnya, dan ada yang memukul dengan pakaianya. Setelah
lelaki tersebut pergi, sebagian kaum mengatakan semoga Allah menghinakan kamu.
Maka bersabdalah Rosulullah SAW, jangan kau katakana demikian, jangan kau
memberikan pertolongan kepada syetan atas dia”. (HR. Al-Bukhori dan Abu Daud)
Berdasar hadits di
atas, bagi peminumnya dikenakan hukuman had atau dicambuk (dipukul) sebanyak 40
kali. Berdasarkan hadits ini juga, hukuman had bisa ditingkatkan menjadi 80
kali, apabila hakim memandang perlu. Hal itu dilakukan manakala hakim melihat
masalah dalam pemberatan hukuman had tersebut. Seperti apabila peminum sudah
berkali-kali dijatuhi hukuman had tetapi tidak juga jera.
Menurut Drs. Suwandi,
MH. dari Jurusan Hukum Bisnis Syari'ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, narkoba bukanlah miras (khamer).
Hanya saja pada narkoba terdapat illat
yang sama dengan khamer. Illat
tersebut adalah sifat iskar (memabukkan). Oleh karena itu bagi pelaku
penyalahgunaan narkoba tidak dikenakan hukuman had, melainkan dikenakan hukuman
dengan jalan qiyas terhadap miras.
Yaitu:
a. Apabila penyidikannya menunjukkan illat yang
lebih rendah (ringan) dari pada khamer, maka yang dipakai adalah qiyas adwan. Dalam arti derajat hukuman
pidananya harus di bawah hukuman had.
b. Apabila penyidikanya menunjukkan illat yang sama
dengan khamer, maka yang dipakai adalah qiyas
musawi. Dalam arti derajat hukumanya dipersamakan dengan hukuman had.
c. akan tetapi apabila penyidikanya menunjukkan
lebih berat dari pada khamer, maka yang dipakai adalah qiyas aulawi. Artinya , derajat hukumanya lebih berat dari hukuman
had. Sedangkan muatan berat-ringanya (berat) hukuman sepenuhnya menjadi
wewenang hakim (Qodli).
Peradilan adalah bagian dari sistem negara
Peradilan Islam merupakan metode untuk
menegakkan syari’at Islam. Oleh karena itu, semua sistem seperti ekonomi,
pendidikan, pemerintahan, politik dan sebagainya harus ditegakkan terlebih
dahulu, baru kemudian peradilan Islam dapat ditegakkan kepada seluruh rakyat,
tanpa membedakan suku, ras, etnik, agama dan sebagainya.
Peradilan Islam memberlakukan
rakyat sebagai rakyat merdeka bukan rakyat jajahan. Setiap tindak kejahatan
harus diproses, namun tidak memberlakukan rakyat sebagai musuh yang harus
dimusnahkan atau dimata-matai, diinterogasi, dituduh dengan fitnah dan rekayasa
sesuai kepentingan rezim. Memberikan tugas kepada kepolisian secara
proporsional, mengumpulkan bukti dilapangan saja.
Sedangkan semua pertanyaan yang
diperlukan di BAP adalah tugas hakim menanyakannya di ruang sidang terbuka
untuk umum dan tidak boleh diruang sidang tertutup interogasi. Sedangkan siapa
saja yang menuduh/ menuntut atau apapun istilahnya, atas nama diri sendiri atau
negara, kemudian ternyata tidak mampu membuktikan tuduhannya, maka akan dikenai
pelanggaran fitnah dan dikenai sanksi pidana fitnah yaitu ta’zir.
Metode peradilan dalam Islam
memberikan kepastian hukum secara riil, bukan semu, manipulasi atau permainan,
melainkan dengan kepastian dengan tidak ada banding dalam putusan hakim, dan
harus dijalankan dan tidak boleh dianulir oleh siapapun termasuk oleh khalifah/
kepala negara.
“Dari Amry bin Ash telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:”Apabila
seorang hakim mengambil keputusan dalam peradilan dengan ijtihadnya yang
kemudia ternyata keputusannya benar, maka dia mendapat pahala dua: namun jika
ternyata keputusan ijtihadnya keliru maka dia mendapat pahala satu” (HR Bukhari).
Berkaitan dengan kasus Mufattir (setiap zat
relaksan atau zat penenang), yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika
yang jelas hukum mengkonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya
merupakan dosa dan perbuatan kriminal yang termasuk jenis ta’zir, maka bentuk,
jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi.
Sanksinya bisa dalam bentuk diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai
hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Dalam konteks
hukuman ta’zir, saat kasus itu diproses maka Khalifah boleh meringankan hukuman
bagi pelakunya bahkan memaafkannya. Rasul saw bersabda:
« أَقِيلُوا ذَوِي
الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إلَّا الْحُدُودَ »
Ringankan
hukuman orang yang tergelincir melakukan kesalahan kecuali hudud (HR Ahmad, Abu
Dawud, al-Baihaqi, al-Bukhari di Adab al-Mufrad)
Maksud ‘aqâla
‘atsarah adalah membantu orang yang tergelincir melakukan kesalahan
dengan memaafkan atau meringankan hukumannya. Dalam hal ini di Subulus Salam
(hadits no 1174) dinyatakan, “seruan ini adalah untuk Imam sebab kepada imamlah
diserahkan (penentuan sanksi) ta’zir sesuai keumuman wewenangnya. Maka imam
wajib berijtihad dalam memilih yang paling baik karena hal itu berbeda-beda
sesuai perbedaan tingkat masyarakat dan perbedaan kemaksiyatan.” Adapun Qadhi
(Hakim) maka ia tidak boleh meringankan sanksi lebih dari apa yang diadopsi
oleh Khalifah. Semua itu sebelum vonis
dijatuhkan.
Sanksi yang
ringan ini bisa diberikan kepada orang yang tergelincir hingga mengkonsumsi
narkoba untuk pertama kalinya, selain bahwa ia harus diobati dan ikut program
rehabilitasi. Bagi pecandu yang berulang-ulang mengkonsumsi narkoba, sanksinya
bisa lebih berat lagi, tentu selain harus menjalani pengobatan dan ikut program
rehabilitasi. Sedangkan bagi pengedar narkoba, tentu mereka tidak layak
mendapat keringanan hukuman, sebab selain melakukan kejahatan narkoba ini,
mereka juga melakukan kejahatan membahayakan masyarakat. Bahkan demi kemaslahatan
umat, maka para pengedar narkoba harus dijatuhi hukuman yang berat, bisa sampai
hukuman mati sehingga menimbulkan efek jera.
Adapun jika vonis telah dijatuhkan, syaikh
Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât menyatakan, pemaafan atau pengurangan hukuman
oleh Imam itu tidak boleh karena
vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan maka telah mengikat seluruh kaum muslim
sehingga tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah atau diringankan ataupun yang
lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah.
Sebagaimana
dikisahkan di masa Rasulullah SAW dalam riwayat hadits dari ‘Aisyah r.a. bahwa kaum Quraisy kebingungan perihal seseorang
perempuan suku Makhzum yang melakukan pencurian. Mereka mengatakan: “Siapakah
yang bisa berbicara dengan Rasulullah saw. (mengemukakan permintaan supaya
perempuan itu dibebaskan)? Tiada yang berani untuk membicarakan hal itu
hanyalah Usamah kesayangan Rasulullah saw,” Lalu Usamah berbicara dengan
Rasulullah saw. dan beliau menjawab: “Adakah engkau hendak menolong supaya
orang bebas dari hukuman Allah?” Kemudian Nabi berdiri dan berkhutbah, sabda
beliau: “Hai orang banyak! Orang-orang yang sebelum kamu menjadi sesat jalan
disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan saja (tidak
dihukum). Tetapi kalau seorang yang lemah (rakyat biasa) mencuri, mereka
lakukan hukuman kepadanya. Demi Allah! Kalau seandainya Fatimah binti Muhammad
mencuri, niscaya Muhammad akan memotong tangannya. “ (Hadis Sahih Riwayat Imam Bukhari)
Jadi hukum
dalam Islam ini mengikat dan tidak ada intervensi kepentingan politik. Jika
seandainya ada bukti-bukti baru terhadap kasus yang sama, maka peradilan akan
dibuka kembali bukan membuka kasus yang lama.
Tentunya ini berbeda dengan sistem peradilan sekuler, pengertian
dan standar keadilan ditentukan menurut akal manusia melalui anggota parlemen.
Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan hukum menyangkut apa yang dimaksud dengan
kejahatan dan apa pula sanksi bagi pelakunya. Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) Indonesia, misalnya, menyerukan jihad guna melawan pendudukan AS
di Irak dan Afghanistan, secara teoretis dapat dianggap kejahatan “menunjukkan
permusuhan kepada negara sahabat”, meski pada hakikatnya seruan jihad itu
adalah sebuah kewajiban agama. Sistem peradilan sekuler juga memberikan hak
prerogratif kepada presiden untuk memberikan pengampunan (grasi, amnesti, dan abolisi)
kepada seorang terpidana.
Penerapan sistem peradilan
sekuler ini seringkali membuat warga negara merasa frustrasi
ketika berusaha mendapatkan keadilan, karena ruwetnya proses hukum yang
berlaku. Meskipun vonis sudah ditetapkan, pihak yang bersalah masih bisa
mengajukan banding ke pengadilan tinggi sehingga putusan hukum harus tertunda.
Ketika pengadilan tinggi sudah mengambil keputusan, para pihak terhukum masih bisa
lagi mengajukan kasasi. Maka putusan hukum kembali tertunda.
Akibatnya,
dalam sistem peradilan warisan penjajah Belanda ini ribuan kasus tertunda dan
mengantri di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, sementara kasus-kasus baru
terus bertambah setiap hari. Realitas semacam ini hanya akan mendorong para
pelaku kejahatan, yang mengerti seluk-beluk sistem peradilan, mengulur-ulur
putusan hukum. Sebab, sekalipun vonis sudah dijatuhkan, mereka masih bisa
mengajukan banding dan kasasi, sehingga keputusan hukum bisa ditunda.
Wajar bila
dalam kasus sengketa tanah, misalnya, bisa memakan waktu lebih dari 20 tahun
untuk sampai keputusan di tingkat kasasi MA. Itupun masih ada lagi upaya hukum
yang disebut PK atau peninjauan kembali. Jadi kapan keadilan itu akan datang?
Kondisi peradilan seperti ini bisa menghantarkan sebuah bangsa pada kehancuran
karena tidak mampu menciptakan keadilan dan kedamaian.
Islam dapat mengakhiri sistem yang
berbelit-belit ini. Dalam sistem peradilan Islam, putusan hukum yang dibuat
oleh qadhi atau hakim adalah putusan yang final. Tidak ada lagi mahkamah
banding. Jadi, tidak ada satu pun pihak yang dapat merubah putusan qadhi itu.
Kecuali jika vonis tersebut bertentangan dengan syariah Islam yang pasti
(qath'iy), yang tidak ada ikhtilaf di dalamnya; atau ketika hakim mengabaikan
fakta yang pasti, tanpa alasan yang jelas.
Bila terjadi
penyimpangan-penyimpangan seperti itu, maka kasus tersebut bisa dibawa ke
Mahkamah Madzalim. Dengan cara inilah, masyarakat bisa mendapatkan keadilan
dalam waktu yang singkat, dan tidak membebani pengadilan dengan antrian kasus
yang sangat panjang. Para pelaku kejahatan pun tidak bisa lepas dari rasa
takut, karena vonis yang ditetapkan pengadilan akan segera dieksekusi.
Wallahu a’lam bishowab.
0 komentar:
Posting Komentar