Rabu, 06 Juni 2012

CORBY


Ida Schapelle Leigh Corby ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia, pada 8 Oktober 2004. Dalam tas Corby ditemukan 4,2 kg ganja. Corby diputus bersalah atas tuduhan yang diajukan terhadapnya dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun pada 27 Mei 2005. Selain itu, ia juga didenda sebesar Rp.100 juta.
Pada 20 Juli 2005, Pengadilan Negeri Denpasar kembali membuka persidangan dalam tingkat banding dengan menghadirkan beberapa saksi baru. Kemudian pada 12 Oktober 2005, setelah melalui banding, hukuman Corby dikurangi lima tahun menjadi 15 tahun. Pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi, MA memvonis Corby kembali menjadi 20 tahun penjara, dengan dasar bahwa narkotika yang diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya. Namun pada bulan Mei 2012 tiba – tiba Presiden memberikan grasi berupa pengurangan hukuman selama 5 tahun bagi Corby.
Sejumlah politisi mengecam keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi Schapelle Leigh Corby. Grasi tersebut dinilai bertentangan dengan kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi, narkotik, dan terorisme.
”Kebijakan tersebut juga paradoks dengan semangat memerangi peredaran narkotik,” kata anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Indra S.H., di kompleks DPR, Senayan. Indra mengatakan pemerintah seharusnya konsisten memerangi narkotik. Karena itu, dia meminta Presiden membatalkan remisi tersebut. ”Indonesia adalah negara besar dan merdeka. Jangan mau didikte Australia,” kata Indra.
M. Nurdin, anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, khawatir grasi Corby berdampak buruk bagi terpidana narkotik lainnya. Karena itu, komisinya akan meminta penjelasan kepada Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. ”Kalau pemerintah tidak bisa menjelaskan, ini menunjukkan indikasi adanya tebang pilih,” katanya.
Sementara Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan, kebijakan tersebut justru saat ini telah berbuah hasil, yakni pemerintah Australia sudah mau membicarakan untuk membebaskan WNI yang ditahan di Australia. Menurutnya, menjadi hal yang penting jika pemerintah Australia membebaskan WNI yang ditahan di sana. Amir juga menyebutkan bahwa dikabulkannya permohonan grasi dengan pengurangan masa hukuman terkait jenis narkoba yang dibawa Corby yakni ganja. “Di beberapa negara, sanksi pidana untuk pembawa (kurir) ganja tergolong sangat ringan. bahkan ada yang sudah menghapuskan sanksi pidana terhadap kasus terkait ganja.”
            Pemberian grasi pada corby telah menjadi perbincangan pro dan kontra di tengah publik, lalu bagaimanakah Islam memberlakukan hukuman bagi pengedar narkotika ?

Narkoba dalam Islam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Sesungguhnya awal dikenalnya ganja oleh umat Islam adalah pada akhir abad ke 6 H atau abad ke 7 H, yaitu ketika bangsa Tatar dengan panglimanya bernama Jenghis Khan merambah ke wilayah Negara Islam.” Para ulama sampai pada kesepakatan bahwa Narkoba adalah segala sesuatu yang memabukkan atau menghilangkan kesadaran, tetapi bukan minuman keras, baik berupa tanaman maupun yang selainya. Selanjutnya istilah narkoba dalam terminologi Islam disebut mukhoddirot. Narkoba adalah haram, karena pada narkoba terdapat illat (sifat) memabukkan sebagaimana tersebut pada hadits tentang khamer :
« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفَتِّرٍ»
Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Rasulullah saw juga menegaskan bahwa “Setiap zat yang memabukkan itu khamr, dan setiap zat yang memabukkan itu haram” (HR.Bukhari dan Muslim).
Dalam sabdanya yang lain disebutkan : “Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa ada 10 golongan yang dilaknat terkait dengan khamr, yaitu orang yang (1) memeras/pembuat, (2) minta diperaskan, (3) meminum/mengkonsumsi, (4) membawakan, (5) minta dibawakan, (6) memberi minum dengannya, (7) menjual, (8) makan hasil penjualannya, (9) membeli, (10) yang dibelikan (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
 Sedangkan tindakan hukuman terhadap  mukhoddirot  ada perbedaan pendapat di kalangan ulama :
a. Imam Abu Hanifah
Menurut al Imam Abu Hanifah, khamer (miras) adalah : “Minuman keras yang memabukkan yang berasal dari perasaan anggur saja”. Sedangkan yang terbuat dari selain anggur, dinamakan nabidz. Oleh karena itu bagi peminumnya (nabidz) tidak dikenakan hukuman had.

b. Jumhur ulama’ (Syafi’i, Maliki, dan Ahmad)
Menurut mereka Khamer adalah: “Nama (sebutan) dari setiap minuman yang memabukkan.” Oleh karenanya dari apapun minuman itu dibuat, asalkan memabukkan, maka minuman tersebut layak dinamakan khamer. Bagi peminumnya dikenakan hukuman had.
            Jika membandingkan dengan hukuman bagi peminum khamr, maka ada beberapa hadits yang dapat menjadi acuan :
“Dari Anas RA. Bahwasanya nabi Muhammad SAW, menjilid (melaksanakan hukuman had) dengan menggunakan pelepah kurma dan sandal. Kemudian Abubakar menjilid 40 kali. Ketika sampai pada giliranya Umar, sedangkan manusia mulai berdatangan dari pedesaan, beliau bertanya: apa pendapatmu tentang penjilitan terhadap masalah khamer? Seraya Abdurrahman bin Auf menjawab: aku melihat bahwa engkau menjilid dengan hukuman had yang paling ringan. Maka selanjutnya Umar menjilid sebanyak 80 kali.”
Sementara di hadits lain disebutkan
“Berkatalah Abu Hurairoh RA, seorang laki-laki peminum khamer didatangkan kehadapan Rasulullah, seraya beliau berkata: Pukullah dia. Maka diantara kita (para sahabat nabi) ada orang yang memukul dengan tanganya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada yang memukul dengan pakaianya. Setelah lelaki tersebut pergi, sebagian kaum mengatakan semoga Allah menghinakan kamu. Maka bersabdalah Rosulullah SAW, jangan kau katakana demikian, jangan kau memberikan pertolongan kepada syetan atas dia”. (HR. Al-Bukhori dan Abu Daud)
Berdasar hadits di atas, bagi peminumnya dikenakan hukuman had atau dicambuk (dipukul) sebanyak 40 kali. Berdasarkan hadits ini juga, hukuman had bisa ditingkatkan menjadi 80 kali, apabila hakim memandang perlu. Hal itu dilakukan manakala hakim melihat masalah dalam pemberatan hukuman had tersebut. Seperti apabila peminum sudah berkali-kali dijatuhi hukuman had tetapi tidak juga jera.
Menurut Drs. Suwandi, MH. dari Jurusan Hukum Bisnis Syari'ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, narkoba bukanlah miras (khamer). Hanya saja pada narkoba terdapat illat yang sama dengan khamer. Illat tersebut adalah sifat iskar (memabukkan). Oleh karena itu bagi pelaku penyalahgunaan narkoba tidak dikenakan hukuman had, melainkan dikenakan hukuman dengan jalan qiyas terhadap miras. Yaitu:
a. Apabila penyidikannya menunjukkan illat yang lebih rendah (ringan) dari pada khamer, maka yang dipakai adalah qiyas adwan. Dalam arti derajat hukuman pidananya harus di bawah hukuman had.
b. Apabila penyidikanya menunjukkan illat yang sama dengan khamer, maka yang dipakai adalah qiyas musawi. Dalam arti derajat hukumanya dipersamakan dengan hukuman had.
c. akan tetapi apabila penyidikanya menunjukkan lebih berat dari pada khamer, maka yang dipakai adalah qiyas aulawi. Artinya , derajat hukumanya lebih berat dari hukuman had. Sedangkan muatan berat-ringanya (berat) hukuman sepenuhnya menjadi wewenang hakim (Qodli).

Peradilan adalah bagian dari sistem negara
Peradilan Islam merupakan metode untuk menegakkan syari’at Islam. Oleh karena itu, semua sistem seperti ekonomi, pendidikan, pemerintahan, politik dan sebagainya harus ditegakkan terlebih dahulu, baru kemudian peradilan Islam dapat ditegakkan kepada seluruh rakyat, tanpa membedakan suku, ras, etnik, agama dan sebagainya.
Peradilan Islam memberlakukan rakyat sebagai rakyat merdeka bukan rakyat jajahan. Setiap tindak kejahatan harus diproses, namun tidak memberlakukan rakyat sebagai musuh yang harus dimusnahkan atau dimata-matai, diinterogasi, dituduh dengan fitnah dan rekayasa sesuai kepentingan rezim. Memberikan tugas kepada kepolisian secara proporsional, mengumpulkan bukti dilapangan saja.
Sedangkan semua pertanyaan yang diperlukan di BAP adalah tugas hakim menanyakannya di ruang sidang terbuka untuk umum dan tidak boleh diruang sidang tertutup interogasi. Sedangkan siapa saja yang menuduh/ menuntut atau apapun istilahnya, atas nama diri sendiri atau negara, kemudian ternyata tidak mampu membuktikan tuduhannya, maka akan dikenai pelanggaran fitnah dan dikenai sanksi pidana fitnah yaitu ta’zir. 
Metode peradilan dalam Islam memberikan kepastian hukum secara riil, bukan semu, manipulasi atau permainan, melainkan dengan kepastian dengan tidak ada banding dalam putusan hakim, dan harus dijalankan dan tidak boleh dianulir oleh siapapun termasuk oleh khalifah/ kepala negara.
Dari Amry bin Ash telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:”Apabila seorang hakim mengambil keputusan dalam peradilan dengan ijtihadnya yang kemudia ternyata keputusannya benar, maka dia mendapat pahala dua: namun jika ternyata keputusan ijtihadnya keliru maka dia mendapat pahala satu (HR Bukhari).

Berkaitan dengan kasus Mufattir (setiap zat relaksan atau zat penenang), yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika yang jelas hukum mengkonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya merupakan dosa dan perbuatan kriminal yang termasuk jenis ta’zir, maka bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi. Sanksinya bisa dalam bentuk diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.

Dalam konteks hukuman ta’zir, saat kasus itu diproses maka Khalifah boleh meringankan hukuman bagi pelakunya bahkan memaafkannya. Rasul saw bersabda:
« أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إلَّا الْحُدُودَ »
Ringankan hukuman orang yang tergelincir melakukan kesalahan kecuali hudud (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Bukhari di Adab al-Mufrad)

Maksud ‘aqâla ‘atsarah adalah membantu orang yang tergelincir melakukan kesalahan dengan memaafkan atau meringankan hukumannya. Dalam hal ini di Subulus Salam (hadits no 1174) dinyatakan, “seruan ini adalah untuk Imam sebab kepada imamlah diserahkan (penentuan sanksi) ta’zir sesuai keumuman wewenangnya. Maka imam wajib berijtihad dalam memilih yang paling baik karena hal itu berbeda-beda sesuai perbedaan tingkat masyarakat dan perbedaan kemaksiyatan.” Adapun Qadhi (Hakim) maka ia tidak boleh meringankan sanksi lebih dari apa yang diadopsi oleh Khalifah. Semua itu sebelum vonis dijatuhkan.
Sanksi yang ringan ini bisa diberikan kepada orang yang tergelincir hingga mengkonsumsi narkoba untuk pertama kalinya, selain bahwa ia harus diobati dan ikut program rehabilitasi. Bagi pecandu yang berulang-ulang mengkonsumsi narkoba, sanksinya bisa lebih berat lagi, tentu selain harus menjalani pengobatan dan ikut program rehabilitasi. Sedangkan bagi pengedar narkoba, tentu mereka tidak layak mendapat keringanan hukuman, sebab selain melakukan kejahatan narkoba ini, mereka juga melakukan kejahatan membahayakan masyarakat. Bahkan demi kemaslahatan umat, maka para pengedar narkoba harus dijatuhi hukuman yang berat, bisa sampai hukuman mati sehingga menimbulkan efek jera.
Adapun jika vonis telah dijatuhkan, syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât  menyatakan, pemaafan atau pengurangan hukuman oleh Imam itu tidak boleh karena vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan maka telah mengikat seluruh kaum muslim sehingga tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah atau diringankan ataupun yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah.
Sebagaimana dikisahkan di masa Rasulullah SAW dalam riwayat hadits dari ‘Aisyah r.a. bahwa kaum Quraisy kebingungan perihal seseorang perempuan suku Makhzum yang melakukan pencurian. Mereka mengatakan: “Siapakah yang bisa berbicara dengan Rasulullah saw. (mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)? Tiada yang berani untuk membicarakan hal itu hanyalah Usamah kesayangan Rasulullah saw,” Lalu Usamah berbicara dengan Rasulullah saw. dan beliau menjawab: “Adakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?” Kemudian Nabi berdiri dan berkhutbah, sabda beliau: “Hai orang banyak! Orang-orang yang sebelum kamu menjadi sesat jalan disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan saja (tidak dihukum). Tetapi kalau seorang yang lemah (rakyat biasa) mencuri, mereka lakukan hukuman kepadanya. Demi Allah! Kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad akan memotong tangannya. “ (Hadis Sahih Riwayat Imam Bukhari)
Jadi hukum dalam Islam ini mengikat dan tidak ada intervensi kepentingan politik. Jika seandainya ada bukti-bukti baru terhadap kasus yang sama, maka peradilan akan dibuka kembali bukan membuka kasus yang lama.
Tentunya ini berbeda dengan sistem peradilan sekuler, pengertian dan standar keadilan ditentukan menurut akal manusia melalui anggota parlemen. Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan hukum menyangkut apa yang dimaksud dengan kejahatan dan apa pula sanksi bagi pelakunya. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, misalnya, menyerukan jihad guna melawan pendudukan AS di Irak dan Afghanistan, secara teoretis dapat dianggap kejahatan “menunjukkan permusuhan kepada negara sahabat”, meski pada hakikatnya seruan jihad itu adalah sebuah kewajiban agama. Sistem peradilan sekuler juga memberikan hak prerogratif kepada presiden untuk memberikan pengampunan (grasi, amnesti, dan abolisi) kepada seorang terpidana.
Penerapan sistem peradilan sekuler ini seringkali membuat warga negara merasa frustrasi ketika berusaha mendapatkan keadilan, karena ruwetnya proses hukum yang berlaku. Meskipun vonis sudah ditetapkan, pihak yang bersalah masih bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi sehingga putusan hukum harus tertunda. Ketika pengadilan tinggi sudah mengambil keputusan, para pihak terhukum masih bisa lagi mengajukan kasasi. Maka putusan hukum kembali tertunda.
Akibatnya, dalam sistem peradilan warisan penjajah Belanda ini ribuan kasus tertunda dan mengantri di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, sementara kasus-kasus baru terus bertambah setiap hari. Realitas semacam ini hanya akan mendorong para pelaku kejahatan, yang mengerti seluk-beluk sistem peradilan, mengulur-ulur putusan hukum. Sebab, sekalipun vonis sudah dijatuhkan, mereka masih bisa mengajukan banding dan kasasi, sehingga keputusan hukum bisa ditunda.
Wajar bila dalam kasus sengketa tanah, misalnya, bisa memakan waktu lebih dari 20 tahun untuk sampai keputusan di tingkat kasasi MA. Itupun masih ada lagi upaya hukum yang disebut PK atau peninjauan kembali. Jadi kapan keadilan itu akan datang? Kondisi peradilan seperti ini bisa menghantarkan sebuah bangsa pada kehancuran karena tidak mampu menciptakan keadilan dan kedamaian.
Islam dapat mengakhiri sistem yang berbelit-belit ini. Dalam sistem peradilan Islam, putusan hukum yang dibuat oleh qadhi atau hakim adalah putusan yang final. Tidak ada lagi mahkamah banding. Jadi, tidak ada satu pun pihak yang dapat merubah putusan qadhi itu. Kecuali jika vonis tersebut bertentangan dengan syariah Islam yang pasti (qath'iy), yang tidak ada ikhtilaf di dalamnya; atau ketika hakim mengabaikan fakta yang pasti, tanpa alasan yang jelas.
Bila terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti itu, maka kasus tersebut bisa dibawa ke Mahkamah Madzalim. Dengan cara inilah, masyarakat bisa mendapatkan keadilan dalam waktu yang singkat, dan tidak membebani pengadilan dengan antrian kasus yang sangat panjang. Para pelaku kejahatan pun tidak bisa lepas dari rasa takut, karena vonis yang ditetapkan pengadilan akan segera dieksekusi.

Wallahu a’lam bishowab.




0 komentar:

Posting Komentar