Usai sudah kegiatan pendidikan pada tahun akademik ini, para siswa sudah mulai menikmati liburannya sementara para orang tua masih harus berpikir keras untuk menyiapkan sejumlah dana dalam rangka biaya pendaftaran putra putrinya ke tingkatan pendidikan yang lebih tinggi. Setiap orang tua tentu ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas. Sayangnya, pendidikan di sekolah yang di cap “berkualitas Internasional” seringkali equivalen dengan mahalnya biaya pendidikan.
Pada sekolah yang dirintis menuju qualifikasi internasional diperbolehkan memungut iuran bulanan (SPP) hingga 600 ribu rupiah dan sumbangan ”sukarela” dari orang tua hingga 15 juta rupiah. Namun, di sisi lain terdapat realitas yang antagonistik, peningkatan biaya pendidikan yang nyaris terjadi tiap tahun tidak selalu seiring dengan output dari pendidikan, yang nyatanya saat ini sangat jauh dari harapan untuk melahirkan manusia-manusia berkualitas.
Faktanya, saat ini banyak orang pintar nan pandai akan tetapi cacat kepribadiannya karena ternyata dia adalah seorang koruptor atau bagian dari jaringan mafia hukum. Lalu bagaimanakah sebenarnya peran guru dalam membentuk generasi muda yang berkepribadian yang benar? Salahkah sistem pendidikan saat ini, sehingga Output pendidikan tidak sesuai harapan?
Potret Pendidikan Saat Ini
Dunia Pendidikan di Indonesia selalu menjadi sorotan masyarakat terutama berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional. Berulangnya hari pendidikan nasional rupanya tidak merubah kondisi dunia pendidikan di Indonesia. Slogan-slogan yang dimunculkan tiap tahunnya hanyalah sebuah kata-kata manis yang yang tidak pernah dapat diwujudkan.
Pelayanan pendidikan nasional belum menjangkau seluruh kalangan, khususnya masyarakat miskin, sebagai contoh, masih banyak anak-anak yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Sebagaimana data yang ditunjukkan berikut ini, siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP sekitar 768.960 orang, terdiri atas 527.850 siswa SD dan 241.110 siswa SMP.
Meski secara nasional angka putus sekolah mengalami perbaikan, di 19 provinsi angka putus sekolah di tingkat SMP masih cukup tinggi. Hal ini tecermin dari angka partisipasi kasar untuk tingkat SMP yang di bawah pencapaian nasional sekitar 98,11 persen. Pencapaian rata-rata angka partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional 2009/2010 mencapai 98,11 persen atau di atas target 95 persen. Artinya, masih ada sekitar 1,89 persen penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa.
Fakta ini tentunya memperkuat anggapan bahwa negara belum bisa memenuhi kebutuhan pendidikan kepada seluruh warga negara walaupun konstitusi sudah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan dari negara.
Adapun terkait dengan kualitas pendidikan, sesungguhnya kualitas pendidikan sangat ditentukan pada manajemen penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan pada jaman kolonial hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal saja, sementara itu pendidikan rakyat hanya sampai di sekolah-sekolah kelas dua.
Standar yang dipakai untuk mengukur kualitas pendidikan rakyat pada waktu itu diragukan, karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan secara layak. Kondisi seperti ini berkembang hingga masa orde lama, pendidikan dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Sedangkan pada masa Reformasi, bidang pendidikan bukan lagi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Sebagaimana pula disebutkan dalam UU No. 20 / th 2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat 3, yakni: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Perubahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi telah membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pergantian rezim ternyata tidak membuahkan hasil yang signifikan terhadap kualitas pendidikan di Indonesia, justru pendidikan nasional semakin kehilangan arah tujuan yang hendak dicapai. Salah satu produk yang membuat kualitas pendidikan buruk adalah penetapan bahwa badan pendidikan bukan merupakan badan publik yang mestinya dapat diakses oleh semua orang, akan tetapi malah menjadi badan hukum profit yang memprioritaskan pada keuntungan.
Juga berkaitan dengan adanya sistem seleksi dalam setiap jenjang pendidikan yang menjadi jalan bagi pemerintah secara legal membatasi masyarakat untuk mendapatkan haknya dalam bidang pendidikan.
Gaya Pendidikan Kapitalisme
Dipungkiri atau tidak, bahwa paradigma pendidikan yang saaat ini berjalan adalah paradigma kapitalisme. Karena disadari atau tidak bahwa orientasi pendidikan di negeri ini sedikit banyak untuk mencari keuntungan, hal ini bisa kita lihat dalam beberapa kebijakan yang justru mengarah pada privatisasi pendidikan yang diistilahkan sebagai otonomi pendidikan yang berujung pada peningkatan biaya pendidikan.
Gaya Pendidikan Kapitalisme lainnya dalam dunia pendidikan adalah pengiriman mahasiswa-mahasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan studi di negeri-negeri Barat. Termasuk juga kebijakan untuk mendorong dirintisnya sister school antara sekolah Indoneisa dengan sekolah – sekolah di negeri barat.
Secara kasat mata memang tidak ada yang salah menuntut ilmu ke negara-negara Barat. Namun masalahnya mahasiswa dan siswa negeri ini dikirim untuk mempelajari dan memahami peradaban-peradaban barat (humaniora), tujuannya adalah untuk mempertahankan hegemoni peradaban barat atas peradaban negeri ini yang dihembuskan kepada para mahasiswa yang belajar tentang peradaban-peradaban barat. Selanjutnya para alumni pendidikan Barat ini akan menjadi da’i (penyeru) peradaban barat di negerinya sendiri.
Padahal jika memang mau konsisten meningkatkan ilmu pengetahuan dan science maka seharusnya mahasiswa dikirim ke barat dalam rangka untuk mempelajari science dan teknologi. Hal ini tentunya akan menjadikan negeri-negeri berkembang akan menjadi negeri yang semakin maju science dan teknologinya.
Hal ini menunjukkan gaya pendidikan ala kapitalis mengarahkan negeri ini untuk menjadi pembebek ideologi kapitalis, menjadi penyambung lidah peradaban kapitalis dan untuk menancapkan hegemoni pemikiran dan peradabannya di dunia termasuk bagi kaum muslimin di negeri ini.
Penerapan gaya pendidikan kapitalisme ini akhirnya menghasilkan output-outpout pendidikan sebagai pengikut atau pendukung kapitalisme/liberalisme. Banyak contoh menunjukkan bagaimana pendidikan saat ini tidak mampu untuk mengatasi pembangunan akhlak dan kepribadian bagi pemuda-pemudi di Indonesia.
Terjadinya kasus aborsi, tawuran, free sex, narkoba, dan sebagainya. Kita lihat pula berapa banyak orang-orang pintar dan pandai akan tetapi menjadi pencuri berdasi alias koruptor (white colour crime). Hal ini menunjukkan betapa bobroknya sistem pendidikan saat ini yang seharusnya menjadi catatan kita bersama.
Bagaimanakah Sistem Pendidikan yang Ideal?
Fakta-fakta kebobrokan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan saat ini membuat kita perlu bertanya, apakah sistem penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada masyarakat bisa diwujudkan? Jawabnya tentu bisa, asalkan dengan ketentuan dan aturan yang benar bukan aturan dan ketentuan yang dibuat-buat berdasarkan kepentingan, sebagaimana telah diingatkan Allah swt dalam firman-Nya :” Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (TQS. Al Maidah : 50).
Sistem penyelenggaraan pendidikan secara garis besar hanya meliputi dua hal, yaitu berkaitan dengan sistem pengelolaan administrasi pemenuhan pendidikan dan substansi kurikulum pendidikan. Dua hal inilah yang menjadi persoalan utama dalam membangun dunia pendidikan saat ini.
Pertama, membangun sistem pengelolaan administrasi dan penegakan dalam pemenuhan hak pendidikan. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan merupakan hak bagi masyarakat, dengan arti bahwa masyarakat berhak untuk menanyakan dan menuntut hak yang seharusnya diperoleh dalam dunia pendidikan.
Sedangkan kewajiban negara untuk memenuhinya adalah usaha negara dalam mewujudkan dan melaksanakan kewajiban terhadap pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat yang salah satunya adalah kebutuhan pendidikan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
“Setiap imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, maka ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap tanggungannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Berkaitan dengan hal ini, keberadaan negara dan jajarannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Pemenuhan kebutuhan pokok ini merupakan pelaksanaan dari hukum syara’, yang harus disertai dengan metode pelaksanaan dan metode penegakannya.
Ketika syara’ sudah menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat wajib bagi negara, maka negara harus sudah memikirkan bagaimana pemenuhan kebutuhan itu berkaitan dengan anggaran, sarana prasarana dengan sumber-sumber yang jelas, bukan hanya sekedar manis dalam aturan saja.
Misalkan, dalam sistem Islam, anggaran pendidikan merupakan kebutuhan masyarakat umum, maka pos anggaran yang dialokasikan adalah dari harta kepemilikan umum yang peruntukannya memang untuk kepentingan umum, termasuk di dalamnya untuk pemenuhan pendidikan. Demikian pula dalam metode penegakkannya, jika melihat aparatur negara/pemimpin suatu daerah tidak memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, walaupun hanya satu orang, maka pemimpin di daerah tersebut harus dimintai pertanggung jawaban atas apa yang sudah diperbuat dan dapat diajukan ke pengadilan.
Kedua, substansi kurikulum pendidikan. Substansi kurikulum pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk kepribadian yang benar bagi anak didik dan membangun keahlian/ketrampilan yang dapat digunakan dalam menjalani kehidupannya kelak. Dua tujuan inilah yang harus menjadi simpul dalam kurikulum sebuah sistem pendidikan.
Membentuk kepribadian Islam berkaitan dengan penguatan akidah Islam dan kebiasaan untuk terikat dengan hukum syara’, ini bertujuan untuk membuat anak didik memiliki ketaqwaan kepada Allah swt. yang menjadi perisai dalam menjalani kehidupan di dunia dan bekal di akhirat. Sedangkan keahlian dan ketrampilan merupakan bekal skill bagi anak didik agar dapat mendukung kemandirian dalam menjalani kehidupan di dunia.
Beberapa hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh negara berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Dunia pendidikan jangan sampai dijadikan sebagai kelinci percobaan dalam setiap kebijakan-kebijakannya, karena rakyatlah yang pasti akan menderita. Membangun sistem penyelenggaraan pendidikan yang baik dan benar hanya dapat diwujudkan dengan sistem yang telah teruji, terbukti dan hanya berpihak kepada kepentingan rakyat, yaitu dengan sistem Islam bukan yang lain.
Waallahu a’lamu bishawab.
Pada sekolah yang dirintis menuju qualifikasi internasional diperbolehkan memungut iuran bulanan (SPP) hingga 600 ribu rupiah dan sumbangan ”sukarela” dari orang tua hingga 15 juta rupiah. Namun, di sisi lain terdapat realitas yang antagonistik, peningkatan biaya pendidikan yang nyaris terjadi tiap tahun tidak selalu seiring dengan output dari pendidikan, yang nyatanya saat ini sangat jauh dari harapan untuk melahirkan manusia-manusia berkualitas.
Faktanya, saat ini banyak orang pintar nan pandai akan tetapi cacat kepribadiannya karena ternyata dia adalah seorang koruptor atau bagian dari jaringan mafia hukum. Lalu bagaimanakah sebenarnya peran guru dalam membentuk generasi muda yang berkepribadian yang benar? Salahkah sistem pendidikan saat ini, sehingga Output pendidikan tidak sesuai harapan?
Potret Pendidikan Saat Ini
Dunia Pendidikan di Indonesia selalu menjadi sorotan masyarakat terutama berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional. Berulangnya hari pendidikan nasional rupanya tidak merubah kondisi dunia pendidikan di Indonesia. Slogan-slogan yang dimunculkan tiap tahunnya hanyalah sebuah kata-kata manis yang yang tidak pernah dapat diwujudkan.
Pelayanan pendidikan nasional belum menjangkau seluruh kalangan, khususnya masyarakat miskin, sebagai contoh, masih banyak anak-anak yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Sebagaimana data yang ditunjukkan berikut ini, siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP sekitar 768.960 orang, terdiri atas 527.850 siswa SD dan 241.110 siswa SMP.
Meski secara nasional angka putus sekolah mengalami perbaikan, di 19 provinsi angka putus sekolah di tingkat SMP masih cukup tinggi. Hal ini tecermin dari angka partisipasi kasar untuk tingkat SMP yang di bawah pencapaian nasional sekitar 98,11 persen. Pencapaian rata-rata angka partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional 2009/2010 mencapai 98,11 persen atau di atas target 95 persen. Artinya, masih ada sekitar 1,89 persen penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa.
Fakta ini tentunya memperkuat anggapan bahwa negara belum bisa memenuhi kebutuhan pendidikan kepada seluruh warga negara walaupun konstitusi sudah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan dari negara.
Adapun terkait dengan kualitas pendidikan, sesungguhnya kualitas pendidikan sangat ditentukan pada manajemen penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan pada jaman kolonial hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal saja, sementara itu pendidikan rakyat hanya sampai di sekolah-sekolah kelas dua.
Standar yang dipakai untuk mengukur kualitas pendidikan rakyat pada waktu itu diragukan, karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan secara layak. Kondisi seperti ini berkembang hingga masa orde lama, pendidikan dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Sedangkan pada masa Reformasi, bidang pendidikan bukan lagi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Sebagaimana pula disebutkan dalam UU No. 20 / th 2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat 3, yakni: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Perubahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi telah membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pergantian rezim ternyata tidak membuahkan hasil yang signifikan terhadap kualitas pendidikan di Indonesia, justru pendidikan nasional semakin kehilangan arah tujuan yang hendak dicapai. Salah satu produk yang membuat kualitas pendidikan buruk adalah penetapan bahwa badan pendidikan bukan merupakan badan publik yang mestinya dapat diakses oleh semua orang, akan tetapi malah menjadi badan hukum profit yang memprioritaskan pada keuntungan.
Juga berkaitan dengan adanya sistem seleksi dalam setiap jenjang pendidikan yang menjadi jalan bagi pemerintah secara legal membatasi masyarakat untuk mendapatkan haknya dalam bidang pendidikan.
Gaya Pendidikan Kapitalisme
Dipungkiri atau tidak, bahwa paradigma pendidikan yang saaat ini berjalan adalah paradigma kapitalisme. Karena disadari atau tidak bahwa orientasi pendidikan di negeri ini sedikit banyak untuk mencari keuntungan, hal ini bisa kita lihat dalam beberapa kebijakan yang justru mengarah pada privatisasi pendidikan yang diistilahkan sebagai otonomi pendidikan yang berujung pada peningkatan biaya pendidikan.
Gaya Pendidikan Kapitalisme lainnya dalam dunia pendidikan adalah pengiriman mahasiswa-mahasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan studi di negeri-negeri Barat. Termasuk juga kebijakan untuk mendorong dirintisnya sister school antara sekolah Indoneisa dengan sekolah – sekolah di negeri barat.
Secara kasat mata memang tidak ada yang salah menuntut ilmu ke negara-negara Barat. Namun masalahnya mahasiswa dan siswa negeri ini dikirim untuk mempelajari dan memahami peradaban-peradaban barat (humaniora), tujuannya adalah untuk mempertahankan hegemoni peradaban barat atas peradaban negeri ini yang dihembuskan kepada para mahasiswa yang belajar tentang peradaban-peradaban barat. Selanjutnya para alumni pendidikan Barat ini akan menjadi da’i (penyeru) peradaban barat di negerinya sendiri.
Padahal jika memang mau konsisten meningkatkan ilmu pengetahuan dan science maka seharusnya mahasiswa dikirim ke barat dalam rangka untuk mempelajari science dan teknologi. Hal ini tentunya akan menjadikan negeri-negeri berkembang akan menjadi negeri yang semakin maju science dan teknologinya.
Hal ini menunjukkan gaya pendidikan ala kapitalis mengarahkan negeri ini untuk menjadi pembebek ideologi kapitalis, menjadi penyambung lidah peradaban kapitalis dan untuk menancapkan hegemoni pemikiran dan peradabannya di dunia termasuk bagi kaum muslimin di negeri ini.
Penerapan gaya pendidikan kapitalisme ini akhirnya menghasilkan output-outpout pendidikan sebagai pengikut atau pendukung kapitalisme/liberalisme. Banyak contoh menunjukkan bagaimana pendidikan saat ini tidak mampu untuk mengatasi pembangunan akhlak dan kepribadian bagi pemuda-pemudi di Indonesia.
Terjadinya kasus aborsi, tawuran, free sex, narkoba, dan sebagainya. Kita lihat pula berapa banyak orang-orang pintar dan pandai akan tetapi menjadi pencuri berdasi alias koruptor (white colour crime). Hal ini menunjukkan betapa bobroknya sistem pendidikan saat ini yang seharusnya menjadi catatan kita bersama.
Bagaimanakah Sistem Pendidikan yang Ideal?
Fakta-fakta kebobrokan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan saat ini membuat kita perlu bertanya, apakah sistem penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada masyarakat bisa diwujudkan? Jawabnya tentu bisa, asalkan dengan ketentuan dan aturan yang benar bukan aturan dan ketentuan yang dibuat-buat berdasarkan kepentingan, sebagaimana telah diingatkan Allah swt dalam firman-Nya :” Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (TQS. Al Maidah : 50).
Sistem penyelenggaraan pendidikan secara garis besar hanya meliputi dua hal, yaitu berkaitan dengan sistem pengelolaan administrasi pemenuhan pendidikan dan substansi kurikulum pendidikan. Dua hal inilah yang menjadi persoalan utama dalam membangun dunia pendidikan saat ini.
Pertama, membangun sistem pengelolaan administrasi dan penegakan dalam pemenuhan hak pendidikan. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan merupakan hak bagi masyarakat, dengan arti bahwa masyarakat berhak untuk menanyakan dan menuntut hak yang seharusnya diperoleh dalam dunia pendidikan.
Sedangkan kewajiban negara untuk memenuhinya adalah usaha negara dalam mewujudkan dan melaksanakan kewajiban terhadap pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat yang salah satunya adalah kebutuhan pendidikan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
“Setiap imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, maka ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap tanggungannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Berkaitan dengan hal ini, keberadaan negara dan jajarannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Pemenuhan kebutuhan pokok ini merupakan pelaksanaan dari hukum syara’, yang harus disertai dengan metode pelaksanaan dan metode penegakannya.
Ketika syara’ sudah menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat wajib bagi negara, maka negara harus sudah memikirkan bagaimana pemenuhan kebutuhan itu berkaitan dengan anggaran, sarana prasarana dengan sumber-sumber yang jelas, bukan hanya sekedar manis dalam aturan saja.
Misalkan, dalam sistem Islam, anggaran pendidikan merupakan kebutuhan masyarakat umum, maka pos anggaran yang dialokasikan adalah dari harta kepemilikan umum yang peruntukannya memang untuk kepentingan umum, termasuk di dalamnya untuk pemenuhan pendidikan. Demikian pula dalam metode penegakkannya, jika melihat aparatur negara/pemimpin suatu daerah tidak memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, walaupun hanya satu orang, maka pemimpin di daerah tersebut harus dimintai pertanggung jawaban atas apa yang sudah diperbuat dan dapat diajukan ke pengadilan.
Kedua, substansi kurikulum pendidikan. Substansi kurikulum pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk kepribadian yang benar bagi anak didik dan membangun keahlian/ketrampilan yang dapat digunakan dalam menjalani kehidupannya kelak. Dua tujuan inilah yang harus menjadi simpul dalam kurikulum sebuah sistem pendidikan.
Membentuk kepribadian Islam berkaitan dengan penguatan akidah Islam dan kebiasaan untuk terikat dengan hukum syara’, ini bertujuan untuk membuat anak didik memiliki ketaqwaan kepada Allah swt. yang menjadi perisai dalam menjalani kehidupan di dunia dan bekal di akhirat. Sedangkan keahlian dan ketrampilan merupakan bekal skill bagi anak didik agar dapat mendukung kemandirian dalam menjalani kehidupan di dunia.
Beberapa hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh negara berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Dunia pendidikan jangan sampai dijadikan sebagai kelinci percobaan dalam setiap kebijakan-kebijakannya, karena rakyatlah yang pasti akan menderita. Membangun sistem penyelenggaraan pendidikan yang baik dan benar hanya dapat diwujudkan dengan sistem yang telah teruji, terbukti dan hanya berpihak kepada kepentingan rakyat, yaitu dengan sistem Islam bukan yang lain.
Waallahu a’lamu bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar