Rabu, 15 Agustus 2012

Kala Ummat Tak Punya Pelindung



Masyarakat dunia dibuat terhenyak menyaksikan berita pembunuhan besar-besaran terhadap muslim Rohingya di Myanmar. Catatan pemerintah Myanmar sebanyak 78 warga Rohingya tewas dan 90 ribu lainnya kehilangan rumah sehingga harus mengungsi di penampungan. Sementara Direktur Kalaban Press Network, Tin Soe mengatakan, "Sejak 29 Mei 2012, hampir 4.000 Muslim Rohingya dibantai dan nasib dari 8.000 lainnya tidak diketahui. Mereka pun dianggap hilang". (www.forumkeadilan.com)
Banyak analisa dan spekulasi terkait pemicu tragedi tersebut. Versi populer sebagai pemicu konflik adalah berawal dari pembunuhan terhadap Ma Thida Htwe, gadis 27 tahun, yang beragama Budha, dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbe. Gadis tersebut meninggal karena ditikam orang tidak dikenal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Mei 2012.
Pada tanggal 4 Juni 2012, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, membagi-bagikan selebaran kepada penduduk dan memberikan penekanan bahwa Ma Thida Htwe tewas karena dibunuh oleh muslim. Setelah beredarnya selebaran tersebut, timbulah bentrokan yang menewaskan 10 muslim dan penghancuran bus. (Koran Demokrasi, 29 Juli 2012)
Momen inilah yang kemudian menjadi koflik komunal yang mengarah pada etnic cleansing. Pemerintah Myanmar yang seharusnya menjadi penengah gagal menjalankan tugasnya, bahkan mereka cenderung membela salah satu pihak karena memiliki kesamaan agama (Budha).

ROHINGYA DAN MYANMAR
Penduduk Rohingya yang mayoritas beragama Islam tinggal di Negara Bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat, yang sebelumnya disebut Arakan. Muslim Rohingya adalah kelompok minoritas yang jumlahnya tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total 42,7 juta jiwa penduduk Myanmar yang beragama Budha. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa. (www.republika.co.id)
Keberadaan muslim Rohingya tidak diakui sebagai warga negara (Stateless) sejak Myanmar merdeka di tahun 1948, ironisnya Pemerintah Myanmar mengklaim wilayah Arakan yang merupakan daerah domisili etnis rohingnya sebagai bagian wilayahnya. Bahkan Presiden Myanmar, Thein Sein melontarkan pernyataan kontroversial mengusir Muslim Rohingya sebagai penyelesaian konflik komunal tersebut. Dia menawarkan kepada PBB jika ada Negara yang bersedia menampung muslim Rohingya.
Tidak diakuinya rohingnya sebagai WN Myanmar dilandasi klaim sepihak pemerintah Myanmar bahwa etnis rohingnya bukan penduduk asli Burma dan merupakan imigran illegal. Faktanya menurut Heru Susetyo, Pendiri Pusat Informasi dan Advokasi Rohingnya – Arakan, etnis ini sudah hidup sejak abad 7 M, dan sebagai muslim yang memiliki kerajaan sejak tahun 1430. Sementara Totok Suhardijanto dari Fakultas Ilmu Pengetahuan & Budaya, Universitas Indonesia, menyatakan kemunculan pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430-1434).
Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat bantuan Sultan Bengal. Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari Bengal kewilayah Arakan. Kerajaan ini merupakan Kesultanan Islam yang berkuasa di Arakan selama 355 tahun sejak tahun 1430. Artinya rohingnya sebenarnya adalah komunitas yang eksis di Burma ratusan tahun sebelum Negara Myanmar berdiri di tahun 1948.
Pederitaan muslim rohingnya dimulai ketika mereka ditaklukkan Kerajaan Burma pada 1785. Pederitaan terus berlanjut di masa kolonial Inggris dan Jepang. Kolonial Inggris menduduki Arakan dengan kekerasan dan menggabungkannya ke Burma (yang saat itu juga merupakan koloni Inggris). Untuk menundukkan kaum Muslim agar bisa dikuasai dan dijajah, Inggris mempersenjatai umat Budha.
Muslim rohingnya mengalami penganiayaan sistematis sejak Junta Militer yang dipimpin Jenderal Ne Win berkuasa pada 1962. Sejak itu kebijakan diskriminatif semakin sering diterima etnis rohingnya. Hingga kini muslim rohingnya tidak bisa memiliki KTP Myanmar. Bagi mereka yang membutuhkan KTP harus rela mencantumkan agama Budha di kolom agama. Tidak hanya itu, muslim rohingnya wajib mengganti agamanya jika ingin mendapat pekerjaan, karena di Myanmar muslim dilarang menjadi PNS atau tentara.
Pembunuhan muslim Rohingya oleh sebagian penduduk Myanmar sesungguhnya adalah konflik yang sengaja dibiarkan dan dipelihara oleh pemerintah Myanmar. Junta Militer berkepentingan dengan terjadinya konflik horizontal diantara warganya. Jika penduduk saling bertikai maka tidak akan ada rakyat yang mengkoreksi ataupun mengkritik pemerintah. Rakyat disibukkan dengan permasalahan saling menghujat atau mempertahankan diri, tidak sempat mengkoreksi pemerintah yang telah melakukan tindakan dzalim. Apalagi dalam kasus ini pihak yang yang paling dirugikan adalah etnis rohingnya yang beragama berbeda dengan mayoritas warga Myanmar.

GEOPOLITIK & GEO EKONOMI
Myanmar adalah Negara indah dan kaya yang merdeka dari jajahan Inggris pada tahun 1948, dan semenjak tahun 1962 pemerintahannya berbentuk Junta Militer yang didukung oleh Cina dan Rusia. Dengan adanya dukungan Cina dan Rusia terhadap Junta Militer Myanmar, memberikan pengaruh pada kebijakan ekonomi, politik dan militer Myanmar. Pemerintah Myanmar dituduh Amerika Serikat sebagai pemerintahan yang tidak demokratis.
Dengan tuduhan tersebut menjadikan Junta militer Myanmar semakin dekat dengan Cina. Hal ini terbukti selama dekade tahun 1990an beragam senjata senilai USD 1,2 miliar diberikan Cina kepada Junta Myanmar, sebagai timbal baliknya, perusahaan minyak asal Cina mengeksploitasi minyak dan gas yang ada di Myanmar. Dan Rusiapun mendapat fasilitas yang kurang lebih sama.
Menurut Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute, konflik rohingnya harus difokuskan ke wilayah Arakan yang menjadi domisili etnis ini. Di Arakan ada kandungan minyak dan gas bumi yang melimpah. Sejumlah perusahaan asing mengantre untuk mengelola arakan. Saat ini setidaknya ada 2 perusahaan Cina yang meneken MoU dengan rejim Myanmar untuk mengelola penambangan di Arakan.
China National Petroleum Corporation (CNPC) mengakuisisi 100% Blok IOR-3, TSF-2 dan RSF-3. Tiga Blok yang merapkan kontrak bagi hasil/PSC jangka 25 tahun. Pada 15 januari 2007, CNCP bekerjasama dengan Myanmar oil and Gas Enterprise (MOGE) menandatangani PSC untuk eksplorasi tiga blok minyak. Masing-masing blok AD-1, AD-6 dam AD-8 di lepas pantai Rakhine Arakan. Luas blok tersebut 10.000 kilometer persegi. Jaringan pipa MiGas sepanjang 620 mil dialirkan dari Kyaukpyu Port, Arakan ke Propinsi Yunan Cina. Uniknya Amerika kembali “ketinggalan kereta” dalam kompetisi ini.
Dengan hadiah Migas tersebut Myanmar berharap kepada Cina untuk membantu mempertahankan kekuasaannya dari ancaman kekuatan Demokrasi. Demokrasi adalah ide kebebasan yang berasal dari ideologi sekuler-kapitalis, diamana ide ini sangat bertentangan dengan Ideologi sosialis yang dianut Junta Myanmar. Tanda-tanda akan ancaman eksistensi Junta terbukti dari kemenangan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi (tokoh pengusung kebebasan Hak Asasi Manusia binaan Amerika Serikat) pada pemilu sela tahun 2012.
Sebaliknya Cina sebagai penguasa kekayaan minyak di Myanmar juga berkepentingan dengan geliat demokrasi di Myanmar. Bila Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu mendatang dan berhasil menjadi kepala Negara Myanmar, dapat dipastikan ideologi sosialis yang selama ini diterapkan di Myanmar digantikan dengan ideologi kapitalis. Hal ini tentu akan berpengaruh dengan kebijakan monopoli Cina pada penguasaan minyak di Myanmar. Sebagai gantinya, perusahaan-perusahaan Migas dari Amerika Serikat yang akan memonopoli eksploitasi minyak Myanmar.
Di lain pihak, Amerika yang senang mengkampanyekan Paket DHL (Demokrasi, HAM & Lingkungan Hidup) justru diuntungkan dengan adanya konflik ini. Aung San Suu Kyi yang selama ini tidak mengeluarkan statement / pernyataan terkait adanya pembantaian muslim Rohinya, tinggal menunggu waktu konflik ini akan semakin membesar. Jika konflik ini melebar maka organisasi HAM Internasional akan mengusut dan menjatuhkan sanksi kepada pemerintah Myanmar karena melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sebagai sanksinya, pemerintah sekarang yaitu Junta militer harus diadili dan dihukum. Inilah kesempatan emas bagi Amerika (pengemban ideologi kapitalis) untuk menancapkan hegemoninya di Myanmar melalui kepemimpinan Aung San Suu Kyi. Ketika Myanmar sudah berhasil dikuasai kapitalisme, maka dapat dipastikan seluruh aspek kehidupan di Myanmar diterapkan aturan-aturan kapitalis. Dan pengusaha-pengusaha Amerika juga akan dengan mudah menguasai kekayaan serta perekonomian Myanmar.

ROHINGNYA, TANGGUNG JAWAB SIAPA ?
Sungguh posisi muslim Rohingya benar – benar terjepit. Mereka dijajah, dibunuh dan terusir dari tempat tinggalnya. Saat ini muslim Rohingya harus berjuang sendiri mempertahankan aqidah, nyawa dan tempat tinggalnya. Di Myanmar mereka tidak diakui sebagai warga Negara sehingga harus diusir. Di Bangladesh yang nota bene penduduknya beragama Islam dan secara geografis berdekatan tempat tinggalnya, juga tidak diterima dengan alasan muslim Rohingya bukan warga Negara Bangladesh. Di Negara-negara lain pun termasuk di Malaysia dan Indonesia, muslim Rohingya hanya diterima dengan status sebagai pengungsi yang mendapatkan pelayanan dan perlindungan ala kadarnya. Muslim Rohingnya juga tidak mungkin mengharapkan dukungan dari Cina, Rusia ataupun AS karena ketiga Negara tsb hanya peduli pada sumber daya alam Arakan.
Jika begini, siapa yang harus membantu muslim rohingnya? Rasulullah SAW pernah mengingatkan, “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seumpama bangunan saling mengokohkan satu dengan yang lain.” (Mutafaq’alaih). Dalam hadits lain disebutkan “Allah selalu menolong seseorang selama orang itu menolong saudaranya (semuslim)”. (HR. Ahmad).
Berdasarkan hadits-hadits di atas telah jelas bagaimana Rasulullah menggambarkan/menjelaskan bagaimana sikap antar sesama muslim. Hendaknya tidak saling terpecah belah, tidak individualis, tidak terkotak-kotak dalam golongan-suku atau Negara tertentu. Tapi saling membantu, menolong dan menguatkan. Karena persatuan Islam bukan persatuan kebangsaan, namun persatuan aqidah (Ukhuwah Islamiyyah).
Dan sungguh situasi ini tak akan terjadi jika umat memiliki pelindung. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Bukhari dari Ibnu Umar). Al-Qalqasyandi, dalam kitabnya, Ma’atsiru al-Inafah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan kota Ammuriyah pada 17 Ramadhan 223 H. Diceritakan, penguasa ‘Amuriyah, salah seorang Raja Romawi, telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah Ra. Wanita itu disiksa, lalu berteriak, “Wahai Mu’tashim!” Raja Romawi pun berkata kepadanya, “Tidak akan ada yang membebaskanmu, kecuali menaiki bebarapa balaq (kuda yang mempunyai warna hitam-putih).” Jeritan itu pun sampai kepada Khalifah al-Mu’tashim. Lalu dia mengomando pasukannya untuk mengendarai kuda balaq. Dia pun keluar, memimpin di depan pasukannya, dengan 4.000 balaq, tiba di Amuriyah dan menaklukkannya.
Apabila kaum muslimim bersatu dalam satu kepemimpinan yang menerapkan aqidah dan hukum Islam secara menyeluruh, berdasarkan al-Qur’an dan Hadits insya Allah permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum muslimin akan dapat terselesaikan. Termasuk permasalahan yang menimpa muslim Rohingya. Wallahu”alam bi ashowab



0 komentar:

Posting Komentar