Selasa, 07 Agustus 2012

Tindakan Kriminal Oleh Anak


Pada tanggal 19 Juli 2012 lalu, masyarakat dikejutkan oleh pemberitaan kasus pembunuhan ayah dan anak  yang terjadi di Depok. Kepolisian menangkap pelaku pembunuhan terhadap Jordan Raturomon (50) dan anaknya Edward Raturomon (22). Salah satu pelaku yakni berinisial A masih berusia 14 tahun. Pelaku dijerat dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. (http://megapolitan.kompas.com) 
Kasus di atas merupakan sedikit kasus yang mencuat. Padahal fenomena di lapangan, kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak bak gunung es, sedikit muncul dipermukaan, tapi besar didasarnya. Hal ini dibuktikan oleh catatan Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) yang menyatakan bahwa hingga april 2012 saja telah ada sebanyak 2.008 kasus kriminal yang dilakukan oleh anak usia sekolah. Jumlah ini meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA (http:metro.news.viva.co.id).
Kasus kriminal yang melibatkan anak memicu pro kontra manakala membicarakan sanksi yang dikenakan. Di negeri ini, sanksi bagi peradilan anak adalah pemenjaraan yang dibolehkan berdasarkan Undang-Undang No.3 tahun 1997. Namun pemberlakuan sanksi ini banyak menuai protes. Salah satu pihak yang tidak setuju jika anak yang terlibat tindak kriminal kemudian dipenjarakan adalah KPAI.
Dengan berlandaskan pada UU No.23 Tahun 2009, KPAI menentang sanksi pemenjaraan bagi anak dibawah usia 18 tahun. Berdasarkan penelitian AusAID dan Unicef, 85 persen anak berusia kurang dari 18 tahun yang menjalani proses peradilan mendapatkan hukuman penjara. Padahal penjara bukan tempat yang tepat bagi anak – anak. Bahkan pada sebagian fakta, penjara tidak membuat anak – anak menjadi jera dengan perbuatannya namun makin canggih dalam melakukan kejahatan.
Mencermati banyaknya kasus tindak kriminal yang dilakukan oleh anak tentu hal ini tidak bisa dibiarkan. Kontroversi soal sanksi yang layak bagi anak yang terlibat tindak kriminalitas juga menarik untuk kita kaji bersama. Dan tentu saja, sebagai seorang muslim, maka persoalan penanganan tindak kriminalitas oleh anak dan sanksi yang akan diberlakukan haruslah kita urai menurut pandangan Islam.

Ada Apa Dibalik Tindak Kriminalitas Anak ?
Tidak bijaksana jika terjadi tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anak tanpa melihat alasan apa yang mendasari terjadinya. Ada banyak asumsi jika menilik latar belakang mengapa banyak terjadi tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Pada umumnya, anak-anak malang tersebut melakukan tindak kriminal dikarenakan kemiskinan yang menjerat.
Keluarga yang broken dan lingkungan yang juga menunjang terjadinya tindak kriminal. Terlebih saat ini, kemilau hidup kapitalistik yang mengukur kesuksesan hanya dari kacamata kebendaan, semakin menyeret anak untuk mendapatkan harta tanpa memikirkan benar - salahnya. Hal ini kian parah, manakala tak ada iman dalam dada akibat diembannya pemikiran sekuler yang memisahkan urusan agama dengan kehidupan dunia sehingga ia tak punya miqiyas (standart) aturan yang benar sesuai syariat Islam dalam menjalani kehidupannya.  
Carut marut prilaku anak hingga melakukan tindak kriminal sebenarnya bisa disolusi asalkan ada kesungguhan dari seluruh elemen, baik individu, masyarakat ataupun Negara. Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan, diantaranya menyeragamkan batasan usia anak-anak.
Menurut pasal 45 KUHAP batasan anak adalah dibawah umur 16 tahun. Sedangkan di Pasal 283 KUHP di bawah 17 th, pasal 287-293 KUHP berusia 15 th. Sementara dalam UU kesejahteraan Anak No.4 TH 1979, anak-anak adalah mereka yang belum berusia mencapai 21 tahun.
Dari sini dapat kita lihat bahwa ada tiga payung hukum yang menaungi peradilan bagi anak, ternyata tidak seragam dalam memberikan batasan usia anak. Kesimpangsiuran batasan umur anak dibawah umur inilah yang harus segera diatasi. Penyamaan persepsi tentang batasan usia anak-anak harus dilakukan agar  memudahkan penegak hukum untuk menentukan sanksi bagi anak yang melakukan tindak kriminalitas. Jika standart untuk batasan usia anak sudah sama, maka tidak akan ada pro kontra jika sanksi diberikan.
Didalam Islam, batasan anak dan dewasa telah dengan jelas dinyatakan oleh kata baligh. Sebagaimana firman Allah swt : ”Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin“  (TQS. An-Nur:59).
Jika ia sudah baligh maka ia sudah dewasa sehingga ia telah terbebani hukum (Mukallaf). Artinya si anak mulai dapat bertanggung jawab sendiri atas perbuatan yang dilakukannya. Umumnya anak laki-laki mengalami baligh pada usia 12-15 tahun dengan ditandai mengalami “mimpi”, sedangkan anak perempuan pada usia 9-12 tahun, dengan tanda alami mulai mengalami haid. Kesamaan persepsi ini tentu saja memudahkan bagi pemberlakuan sanksi bagi para pelanggarnya.
Selain itu, penting untuk diperhatikan bahwa sesungguhnya, banyaknya kriminalitas baik yang dilakukan oleh anak ataupun orang dewasa akibat ketidakmampuan sistem negara untuk mengatasinya. Sehingga, jika ingin baik maka kita harus membuat perubahan sistem. Dan sebagai muslim, tentu kita sadar bahwa sistem Islamlah yang paling utama.
Dalam persoalan ini, Islam menawarkan solusi penegakan syariat dengan menggunakan 3 pilar utamanya yaitu:
a.   Ketaqwaan individu
Jika dirunut, anak berasal dari suatu keluarga. Sebelum membina keluarga yang akan mendapatkan generasi penerus, maka para orang tua harus membina dirinya masing-masing dengan aqidah Islam. Sehingga jika telah menikah mereka telah siap untuk menjadi orang tua yang sholeh sehingga siap untuk membina generasi yang di`manahkan oleh-Nya.
Terlebih anak adalah anugerah Allah SWT yang dititipkan kepada orang tua. Oleh karena itu, sebagai orang tua maka kita harus mempertanggungjawabkan titipan Allah ini dengan sebaik mungkn agar kelak saat menghadap-Nya kita bisa mempertanggungjawabkan titipan-Nya.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW: ”Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunyalah kelak yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (penyembah api dan berhala)” (HR. Bukhari).
Dalam hadist yang lainnya, Nabi SAW bersabda: ”Seseorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya,”Ya Rasulullah, apa hak anak ini?” Nabi SAW menjawab,”Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu).” (HR. Ath thusi).
Dari nash
diatas dapat kita pahami bahwa menjadi orang tua bukan hanya berkewajiban memberikan kecukupan materi saja, akan tetapi juga harus pula mampu membawa ke jalan yang diridhoi-Nya. Salah satu hal yang harus dilakukan oleh orang tua untuk memenuhi hak anak-anaknya adalah mereka wajib memberinya bekal pendidikan aqidah yang kuat agar ia mampu menjalani kehidupannya dengan baik.
Oleh karena itu  jika dalam perjalanannya seorang anak kemudian melakukan tindak kriminal, maka yang yang mendapat sanksi adalah orangtuanya karena ia masih dalam asuhannya. Anak yang belum baligh belum terbebani hukum sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas perbuatannya sebagaimana hadist: ”Diangkat pena dari tiga golongan, anak-anak sampai baligh, orang gila sampai sembuh dan orang lupa sampai ingat.” (HR.Bukhari)

b.    Kontrol masyarakat.
Tidak akan terjadi pencurian, pelecehan atau hal-hal negatif lainnya jika lingkungannya peduli akan nilai-nilai keislaman.
Tantangan hidup bermasyarakat kini memang kian kompleks. Banyak masyarakat atas nama indivualisme sebagai cerminan kebebasan individu cenderung tidak mau tahu akan urusan orang disekitarnya. Akan tetapi dalam masyarakat Islam hal ini tidak akan terjadi, karena di dalam masyarakat Islam, semua anggotanya akan saling mengontrol/peduli akan pelaksanaan hukum Islam, mengawasi dan juga mengoreksi jika ada yang lalai.
Hal ini sesuai dengan firmanNya:”Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar sebagai penegak keadilan, dan janganlah sekali-kali kebencianmua terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk (berbuat) tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah:8).

c.     Penegakan Hukum oleh Negara.
Menurut Islam, kedudukan negara tidak lain adalah untuk selalu memelihara masyarakat dan anggota-anggotanya, dan bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda :”Seorang pemimpin adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab terhadap pemeliharaannya.” (HR. Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Untuk mensolusi agar tidak terjadi tindak kriminalitas yang dilajukan oleh anak, maka negara berkewajiban menciptakan dan menyediakan software dan hardwarenya. Agar anak mendapat perhatian dan bimbingan yang baik dari orangtuanya, maka perlu tersedia lapangan pekerjaan bagi para ayah agar bisa memenuhi tugasnya mencari nafkah.
Jika nafkah terpenuhi maka persoalan ekonomi dengan sendirinya akan teratasi hingga tidak akan ada lagi anak yang berperilaku kriminal hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dan memberi akses lapangan kerja yang layak bagi kehidupan adalah salah satu tugas Negara.
Pun dengan pendidikan. Pemerintah harus benar-benar konsen dalam mewujudkan cita-cita untuk mencerdaskan rakyatnya dengan memberikan fasilitas pendidikan dan materi pengajaran yang sesuai dengan aqidah Islam. Bagaimana mungkin membentuk anak – anak yang berakhlaq mulia jika mereka tidak bisa mengakses pendidikan yang baik.
Ketegasan dalam law enforcement juga penting untuk terciptanya masyarakat yang tertib. Ketegasan dan kejelasan Islam dalam menerapkan hukum dapat kita baca didalam al-Quran dan sirah nabawiyah. Seperti ketika suatu saat diajukan kepada Nabi SAW seorang wanita yang mencuri untuk diadili dan dijatuhkan hukuman atau had potong tangan terhadapnya.
Rasulullah SAW menolak permohonan grasi dari Usamah bin Zaid untuknya, bahkan menegur Usamah seraya berkata:”Apakah kamu mengajukan grasi terhadap salah satu hukuman dari Allah SWT? Demi Allah kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari, muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’I dari Aisyah).

Khotimah
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa Islam telah memberikan solusi yang pasti akan penanganan tindak kriminal yang dilakukan oleh anak. Oleh karena itu, wahai umat, mari kita terapkan aturan Islam dalam kehidupan agar tercipta tatanan kehidupan bermasyarakat yang baik.
Wallahu a’lam bi showab




0 komentar:

Posting Komentar