Jumat, 17 Agustus 2012

Standart Perayaan Idul Fitri


Pemikiran, Pemahaman & Implementasinya

 Ramadhan telah berlalu, kehebohan sebagaimana terjadi di awal ramadhan bergeser menjadi kehebohan pada perayaan akhir Ramadhan yaitu hari raya Idul Fitri. Tentu kita maklum melihat bagaimana fenomena belanja pakaian baru, makanan, dan segala macam yang akan digunakan pada hari raya Idul Fitri semakin menggeliat. Demikian pula kita juga bisa membandingkan tingkat keramaian antara masjid dengan Mall-mall dan pusat perbelanjaan di akhir-akhir bulan Ramadhan yang jauh berbanding berbalik.
Sementara pada saat yang sama di Palestina, Rohingnya dan banyak di negeri-negeri yang kaum muslimin keberadaannya minoritas lainnya mengalami penindasan oleh para penganut idiologi rasial, musyrik radikal, nasrani radikal, yahudi radikal dan etnik-etnik radikal lainnya bersekongkol dengan para kaum demokrasi-kapitalisme untuk mencoba membasmi umat Islam di berbagai belahan dunia dan termasuk muslim Rohingnya di Thailand.
Umat Islam sebagian dari sebagian yang lain adalah ibarat satu tubuh, namun sebagian dari anak-anak kaum muslimin telah mati rasa, mati persaudaraan mereka, akibat hiruk pikuk demokrasi-kapitalisme. Persaudaraan demokrasi-kapitalisme (ukhuwah demuqrotiyyah-roksumaliyyah) mematikan persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah).
Meskipun semua orang tahu, bahwa tujuan melaksanakan puasa romadhon adalah untuk membangun pribadi yang bertaqwa, dan dengan itu berarti bertambah kuat ukhuwah islamiyahnya, Namun realitasnya ukhuwah Islamiyah dan ketaqwaan telah digantikan dengan hedonisme.
Fenomena ini merupakan tradisi yang terus berlangsung dari tahun ke tahun dan tentunya sangat menarik perhatian kita, bagaimana sebenarnya umat Islam menentukan sikapnya dalam merayakan hari raya Idul Fitri menurut standart syari’at Islam?

Antara Standar dan Tradisi Perayaan Idul Fitri
Dalam merayakan hari raya idul fitri seorang muslim hendaknya kembali menengok bagaimana Rasulullah merayakan hari raya Idul Fitri. Pada hari raya idul Fitri ada beberapa syariat yang telah Allah perintahkan kepada kaum muslimin. Hari raya Idul Fitri diawali dengan menunaikan zakat fitrah sebelum menjalankan shalat Ied.
Ini sebagaimana dilakukan kaum muslimin di masa Nabi dan Sahabat yang menunaikan zakat fitrah sebelum mereka keluar untuk menunaikan shalat Ied dan ada sebagian juga yang menunaikannya di malam Ied.
Akan tetapi zakat fitrah bisa saja ditunaikan selama bulan puasa Ramadhan sampai sebelum melaksanakan shalat Ied karena diwaktu selain itu maka hanya akan bernilai shodaqah, sebagaimana sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas yang mengatakan:  “Barangsiapa yang menyerahkannya sebelum shalat (‘Ied), berarti ia adalah zakat yang diterima.  Dan barangsiapa yang menyerahkan setelah shalat (‘Ied), maka ia hanyalah sedekah biasa”.
Adapun mengenai nilai zakat fithrah jika dikonversi ke uang, maka harus diperhatikan acuan ukuran dan acuan dalil hukum sebagai berikut: Pertama, mengenai ukuran takaran zakat fithrah, 4 mud =  0,544 gr / mud X 4 mud = 2,176 kg.  Yang ke- 2 mengenai apa yang seharusnya dikonversikan kepada nilai uang. Berdasarkan dalil hadits yang shohih, maka ada empat yang berupa*hinthoh/gandum, sya’ir/jenis gandum, anggur dan kurma.
Kalau kita mengkonversikan kepada nilai uang dari empat macam tersebut, akan kita temukan nilai yang memang beragam, tidak seragam. (Pertama dan ke-2, jika yang dikonversi adalah  khinthoh/sya’ir/gandum, maka nilainya adalah 4 mud atau 2,176 kg X jika harga per kg gandum @ Rp 3.500,-/kg = Rp 7.616,- ) yang ke-3 jika yang dikonversi harganya adalah anggur, 4 mud atau 2,176 kg  anggur terbaik X harga @ Rp 45.000,/kg =  Rp 97.920,- ; Yang ke- 4 jika yang dikonversi adalah harga kurma Ajwa terbaik jika dengan harga  @ Rp 350.000,-/kg  X  4 mud atau 2,176 kg = Rp 761.600,-.
Adapun jika yang dikonversikan kepada nilai uang adalah didasarkan atas dalil hasil ijtihad ulama’ dengan ‘illat’ (yang melatar belakangi di syari’atkannya suatu hukum) yang berarti bahan makanan pokok seperti beras, maka jika nilainya adalah harga beras, dan jika diambil secara medium maka konversi ke harga beras dengan harga Rp 9.000,-/kg X 2,176 kg = Rp 19.584,_
Adapun pemilikan aslinya zakat fithrah dengan dalil yang lebih kuat adalah dikhususkan fakir miskin agar tidak meminta-minta di hari raya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih. Sehingga tidak selayaknya zakat fithrah diberikan kepada selain dua kelompok tersebut.
Namun demikian, jika ada yang berpendapat pemilikan zakat fithrah adalah 8 asnaf sebagaimana pemilikan zakat mal pada umumnya, kemudian dibagikan kepada 8 delapan asnaf tersebut atau sebagian dari 8 asnaf tersebut, maka pendapat tersebut masih dianggap pendapat yang Islami, karena masih merujuk kepada dalil.
Rasulullah saw bersabda: “Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam biasa memerintahkan zakat fitrah dan membagikannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Cukupi kebutuhan mereka (fakir miskin) agar tidak meminta-minta pada hari ini” (HR. Bukhori)
Kemudian syariat berikutnya yang diperintahkan kepada kaum muslim adalah Shalat Idul Fitri. Bagi kaum muslimin yang hendak shalat Idul Fitri disunahkan baginya untuk makan terlebih dahulu sebelum berangkat menunaikan shalat Ied, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Malik: Sesungguhnya Hisyam bin Urwah bersama Bapaknya, makan di hari raya Idul Fitri sebelum mereka melakukan shalat.
Selain itu, ketika keluar hendak shalat, umat Islam juga diperintahkan untuk mengumandangkan takbir sampai permulaan khotbah, walaupun pada saat ini takbir sudah dimulai sejak malam Idul fitri. Disamping itu di dalam hari raya Idul Fitri para sahabat ra juga berbahagia dengan saling berpelukan dan saling mengucapkan kata-kata kepada sesama mereka: “Taqabbalallahu minna waminka” (Semoga Allah menerima amalan saya dan amalan kamu).
Setelah hari raya Idul Fitri maka pada bulan syawal kaum muslimin disunahkan untuk melakukan puasa syawal sebanyak enam hari. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw yang disampaikan oleh Abi Ayub al Anshori ra, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang berpuasa enam hari di bulan syawal maka baginya sama dengan puasa selama satu tahun. (HR. Muslim).
Itulah standard merayakan hari raya Idul Fitri yaitu dimulai dengan menunaikan zakat fitrah sebelum shalat Ied, kemudian takbir mengagungkan nama Allah ketika keluar hendak shalat Ied, kemudian Shalat Ied dan kemudian ditutup dengan puasa 6 hari di bulan syawal.
Disamping syariat merayakan Idul fitri ternyata di kalangan umat Islam dikenal adanya tradisi-tradisi yang diidentikkan dengan perayaan Idul Fitri, diantaranya adalah tradisi mudik, tradisi berkunjung ke sanak keluarga dalam rangka silaturahmi, tradisi maaf-maafan dan tradisi-tradisi lainnya yang seolah menjadi sebuah “kewajiban” yang harus dilakukan.
Hal ini membuat tradisi seperti ini tidak akan hilang walaupun sebetulnya tradisi seperti pulang kampung dan berkunjung ke sanak keluarga tidak ada kaitannya secara langsung dengan momen Idul Fitri. Akan tetapi sistem yang ada mengkondisikan bahwa hal itu suatu hal yang harus dilakukan.
Sebenarnya melakukan kunjungan keluarga untuk mempererat tali silaturahmi itu suatu hal yang baik-baik saja. Karena memang kewajiban kaum muslimin adalah mempererat tali silaturrahmi dengan keluarga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw: Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan keluarga. (HR. Muslim).
Akan tetapi yang perlu digaris bawahi, bahwa silaturrahmi tidak harus dilakukan pada hari raya, akan tetapi bisa dilakukan kapan saja. Kalaupun pada hari raya melakukan kunjungan keluarga untuk silaturrahmi maka itu sah-sah saja, akan tetapi melakukan kunjungan keluarga untuk silaturahmi sebaiknya tidak hanya pada saat hari raya Idul Fitri.
Demikian juga dengan tradisi maaf-memaafkan yang seolah-olah menjadi tradisi “wajib” bagi umat Islam untuk saling memaafkan dengan alasan Idul Fitri adalah momen untuk kembali suci dari kesalahan-kesalahan. Padahal meminta maaf  harus segera dikerjakan setelah membuat kesalahan kepada orang lain bukannya menunggu saat lebaran tiba, dan juga meminta maaf harus spesifik atas kesalahan tertentu yang pernah diperbuat, dan kemudian harus diikuti dengan penyelesaian persoalan yang diakibatkan oleh kesalahan tersebut.
Permaafan adalah penyelesaian sebagian dari kesalahan, bukan penyelesaian semua aspek persoalan. Persoalan-persoalan mu’amalah (perdata), persoalan uqubat (pidana) masih harus diselesaikan sebagaimana mestinya, walaupun kesalahan seseorang telah dimaafkan.
Apabila ada tanggungan tidak berarti hutang piutang tersebut menjadi lunas begitu saja, atau kalau ada aspek pidananya kemudian sanksi pidana menjadi hilang begitu saja, tetapi persoalan yang muncul akibat dari kesalahan tersebut harus dipecahkan dengan baik dan dilaksanakan dengan cara yang benar. Alloh swt berfirman,

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ (البقرة: 178)
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). (QS. Al Baqarah: 178)
Pemahaman yang sekarang ini melanda masyarakat adalah bahwa seolah-olah dengan saling memaafkan, berjabat tangan pada hari raya maka semua kesalahan tanpa terkecuali sudah selesai antara kedua belah pihak. Padahal dalam beberapa hal, walaupun sudah ada mushofahah saling memaafkan maka ada konsekwensi lanjutan yang masih harus diselesaikan.
Sebagai contoh pemaafan bagi orang yang menyalahi janji dalam membayar hutang, walaupun sudah dimaafkan karena menyalahi janji dalam membayar hutang maka kewajiban membayar hutang tetap melekat pada pihak yang berhutang.
Atau juga semisal ada  permaafan bagi orang yang secara tidak sengaja membunuh seseorang, walaupun keluarga yang terbunuh sudah memaafkan atas pembunuhan itu, maka ada konsekwensi lanjutan yang harus dipenuhi yaitu dengan membayar diyat (denda) dengan seratus ekor unta, atau hitungan kasar sekitar (100 ekor unta X @ Rp 10 juta rupiyah = 1 milyar rupiah).
Demikian juga dengan dosa memfitnah, jika dimaafkan, maka harus diikuti dengan penyeleseian berbagai akibat dari fhtnah tersebut, dan harus direhabilitasi dengan biaya yang dibebankan kepada pihak yang melakukan fitnah, dan ta’zir pidananya tidak gugur begitu saja, tetapi tetap berlaku sesuai dengan ketentuan hukum syara’ yang terkait dengan perbuatan pidana yang dimaafkan.
Hal ini seharusnya juga menjadi catatan bagi para pengemban dakwah untuk menjelaskan duduk persoalan berbagai tradisi yang terkadang tidak sesuai atau melenceng dengan syariat yang sudah ditetapkan oleh al khaliq. Pengemban dakwah harus menyampaikan kebenaran secara jelas kepada umat tentang berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat bukan hanya dengan mengikuti selera tradisi masyarakat yang kadang-kadang atau boleh jadi telah melenceng dari syariat-Nya.
Demikian pula, kita lihat pada momen menjelang Idul Fitri, umat Islam sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan hari raya. Hal ini berarti tingkat konsumsi pada hari raya Idul Fitri sangat tinggi. Tidak heran jika tentunya pihak-pihak tertentu pada momen seperti ini berusaha sebisa mungkin menarik para konsumen untuk membelanjakan uang ke tempatnya.
Sehingga jangan heran, selama Ramadhan dan menjelang hari raya banyak sekali promosi-promosi yang dilakukan untuk menarik konsumen. Karena kita ketahui, bahwa pada saat lebaran perputaran uang sangatlah tinggi. Berbagai macam orang, mulai  pembantu Rumah Tangga, Buruh Bangunan, Buruh Pabrik, Karyawan, bahkan pejabat negara pada membelanjakan uangnya pada saat menjelang lebaran. Sehingga yang terjadi adalah, Idul Fitri identik sebagai momen untuk berbelanja, menghabiskan uang, dan momen untuk berfoya-foya.
Disamping itu, satu hal yang perlu kita perhatikan dengan adaya momen Idul Fitri adalah dengan semakin melambung tingginya harga barang-barang kebutuhan pokok. Kondisi ini jelas bukan kondisi yang wajar dalam kenaikan harga dan bisa termasuk manipulasi harga.
Sehingga, negara sebagai regulator harusnya berupaya menstabilkan harga, tetapi tidak dengan cara penetapan harga. Negara harusnya membuat operasi-operasi pasar untuk menambah stock barang yang tersedia yang dibarengi dengan proses penegakan hukum atas tindakan manipulasi harga, penipuan, penimbunan, penyimpangan pasar, monopoli, oligopoli, kartel, konglumerasi dan berbagai pelanggaran mu’amalah lainnya dengan melalui peradilan dengan saksi ta’zir.
Kita juga bisa mencermati bagaimana prilaku para pengelola transportasi ketika dalam momen Hari Raya Idul Fitri seperti ini, baik yang dikelola pemerintah maupun yang dikelola oleh swasta. Bisa kita pastikan bahwa harga tiket menjelang hari raya Idul Fitri pasti akan melonjak naik  tinggi dari harga biasanya.
Kalau Negara saat ini memang serius untuk memberikan pelayanan kepada rakyat tentu tidak akan membiarkan kondisi yang saat ini terjadi terus menerus. Apalagi membiarkannya dengan dalih bahwa naiknya harga-harga adalah sebuah mekanisme pasar bebas. Hal ini tentunya menunjukkan secara jelas kalau Negara ini adalah pengekor ideologi kapitalisme.
Negara  seharusnya memberikan pelayanan bagi warga dengan menstabilkan harga, pelayanan untuk transportasi, dan pelayanan-pelayanan lainnya, bukannya malah menyusahkan warga yang ingin merayakan hari raya dengan bahagia. Hal ini hendaknya membuat masyarakat sadar, bahwa pada momen Idul Fitri seperti ini telah terjadi eksploitasi terhadap kondisi ekonomi masyarakat.


Memaknai Momen Hari Raya Idul Fitri
Hari raya Idul Fitri memang diberikan oleh Allah kepada kaum muslim untuk merayakannya. Namun demikian hendaknya kita bisa mengambil makna dan pelajaran tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam dalam merayakan hari raya Idul Fitri.
Kalau kita tengok pada masa Rasulullah dan sahabat, setelah melakukan ibadah shalat Ied maka kaum muslimin melaksanakan berbagai aktivitas seperti lomba memanah, lomba pacu kuda, dan sebagainya, karena memang pada masa itu problem yang dihadapi umat Islam adalah untuk melakukan pembebasan negeri-negeri.
$26nbsp;Adapun problem umat Islam saat ini adalah problem dakwah menyebarkan Islam sebagai qiyadah fikriyah bagi umat manusia. Hendaknya umat Islam menggunakan Idul Fitri untuk berdakwah dengan membangun kontak-kontak dakwah, kunjungan-kunjungan kepada keluarga untuk memperkuat tali silaturahmipun juga untuk dakwah, atau kunjungan kepada orang lain untuk membangun ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam, itu semua dalam rangka menyelesaikan problem dakwah umat Islam saat ini. Sehingga idul Fitri menjadi momen melanjutkan dakwah untuk kembali tegaknya islam di muka bumi ini.
Dengan demikian hendaklah kita umat Islam di negeri ini menggunakan momen Idul Fitri untuk memperbaiki diri. Dan hendaknya bulan Syawal kita gunakan sebagai momen peningkatan amal perbuatan kita kepada Allah dan momen untuk dakwah dalam Islam. Janganlah semangat menjalankan amalan sholeh hanya datang pada bulan Ramadhan akan tetapi hendaknya menjalankan amalan-amalan itu secara kontinu. Dan jangan sampai momen Idul Fitri di bulan syawal hanya menjadi momen untuk bersenang-senang sebagaimana kaum hedonisme yang tidak sesuai dengan hukum Syara’.
Akhirnya semoga Allah menerima amalan-amalan kita semua selama bulan Ramadhan. Taqabbalallahu siyamana wa siyamakum,… amien.
Wallahu a’lamu bi showab.

0 komentar:

Posting Komentar