Jumat, 24 Agustus 2012

Silaturrahim


Bulan Syawal 1433 H telah datang menggantikan bulan Ramadhan yang penuh berkah. Umumnya masyarakat Indonesia di bulan ini melakukan sejumlah kegiatan saling kunjung diantara kerabat dalam rangka silaturahim.
Silaturahim sendiri terdiri dari dua kata, yakni As Silla yang berarti hubungan dan Ar Rahim yang bermakna uterus atau rahim ibu. Dengan kata lain silaturahim adalah kegiatan menjalin hubungan kekerabatan, adapun jalinan hubungan antar manusia yang tidak terkait hubungan kerabat seperti hubungan tetangga, hubungan pertemanan dan sebagainya, tak terkatagorikan silaturahim, hubungan persaudaraan antar sesama muslim lebih dikenal dengan istilah ukhuwah Islamyah.
Sialturahim adalah bagian dari syariat Islam. Menjalin hubungan silaturahim termasuk kegiatan yang dianjurkan dalam agama. Namun, sebagaimana syariat Islam yang lain, silaturahim juga memiliki tata cara dalam pelaksanaannya. Salah satu batas yang tidak boleh dilampaui dalam melaksanakan syariat silaturahim adalah dilarang membangun ikatan berdasarkan asas kekerabatan, suku, bangsa atau keluarga. Karena pada dasarnya ikatan yang dibangun atas dasar ikatan selain ikatan aqidah Islam adalah tergolong ashobiyah atau fanatisme jahiliyah atau biasa dikenal dengan sebutan sectarian.
Allah swt, ketika melarang fanatisme jahiliyah, sesungguhnya malarang untuk menjadikan fanatisme kesukuaan sebagai pengikat diantara umat Islam, sekaligus melarang penerapan  hubungan antara  kaum muslim. Namun demikian, Allah swt telah memerintahkan kepada kaum muslimin agar senantiasa melakukan hubungan dengan kerabat dekat serta berbuat baik kepada mereka.
Ada riwayat yang menyebutkan, bahwa pernah ada seorang laki-laki yang bertanya kepada nabi saw, yakni tentang siapa yang paling berhak menerima perlakuan baik. Pada saat itu beliau menjawab:
Ibumu lalu ayahmu, kemudian saudara perempuanmu, dan baru saudara laki-lakimu
Dalam versi lain disebutkan dengan redaksi demikian:
Pelindungmu adalah yang lebih dekat kepadamu; hak dan kewajiban serta kasih sayangnya yang tidak terputus.
Asma’ binti Abu Bakar ra juga pernah bertutur demikian:
Ibuku biasa datang kepadaku, sedangkan dia adalah seorang musyrik pada masa Quraisy (jahiliyah), karena mereka telah membuat perjanjian dengan nabi saw mengenai anaknya. Oleh karena itu, aku meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Aku berkata, “ibuku biasa datang kepadaku, sedangkan ia sangat benci terhadap Islam”. Rasulullah menjawab, “ ya berhubunganlah dengan ibumu”.
Islam telah menjadikan kerabat itu ada dua macam: (1) kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal; (2) kerabat yang memiliki hubungan silaturahmi. Mereka yang berhak mendapatkan warisan adalah orang-orang yang tercantum dalam daftar penerima waris, sementara orang-orang yang memiliki hubungan silaturahim  adalah selain mereka; mereka tidak mendapat bagian warisan, bukan pula para ashabah.
Mereka berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari: bibi dari pihak bapak atau ibu, kakek dari ibu, putra dari anak perempuan, putra dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, putri dari paman pihak bapak maupun pihak ibu, paman dari ibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan siapa saja yang memiliki hubungan dekat dengan mereka. Allah swt menjadikan mereka tidak berhak memberikan nafkah kepada mereka. Meskipun demikian, Allah swt memerintahkan untuk menjalin hubungan silaturahim dan berbuat kebaikan terhadap kerabat secara keseluruhan.
Jabir ra menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda:
Jika seseorang diantara kalian fakir, maka hendaklah dimulai dari dirinya sendiri (untuk memenuhi kebutuhannya); jika ia memiliki suatu kelebihan, hendaknya ia memberikan kepada keluarganya; jika masih memiliki kelebihan, hendaknya ia memberikannya kepada kerabatnya
Abu Ayyub al Anshari juga bertutur demikian:
Ada seseorang laki-laki yang pernah berkata kepada Rasulullah saw, “wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada amal perbuatan yang dapat memasukkan diriku kedalam surga”? orang-orang berkata, “ada apa dengannya, ada apa dengannya”?. Rasulullah saw bersabda, “bukankah Tuhan bersamanya”? beliau melanjutkan, “engkau menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menjalin hubungan silaturahim
Hadist ini memerintahakan silaturahmi. Akan tetapi, didalam hadist tersebut, juga didalam hadist-hadist lain yang berkaitan dengan silaturahim tidak dijelaskan: apakah yang dimaksud kerabat dekat (dzu al arham) saja atau setiap orang yang memiliki hubungan silsilah dengan seseorang.
Yang jelas, hadist-hadist itu bersifat umum, mencakup setiap orang yang memiliki hubungan silaturahim; baik mahram atau bukan; baik dari kalangan ahli waris maupun bukan, semua itu dapat dibenarkan, karena tergolong dzu al arham.
Banyak hadist berkenaan dengan keharusan menjalin silaturahim ini, misalnya, sabda Rasulullah saw berikut:
Tidak akan masuk surge orang yang memutuskan hubungan silaturahim.
Anas ibnu Lalik menuturkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda sebagai berikut:
Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia senantiasa menghubungkan tali silaturahim.
Abu Hurairah ra juga menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda demikian:
Sesungguhnya allah telah menjadikan makhluk. Tatkala telah selesai, bangkitlah rahim (tali  persaudaraan)seraya berkata, “Disinilah tempat orang yang menjaga diri dari keputusan”. Allah swt berfirman, “Ya, jika demikian, relakah engkau jika Aku akan berhubungan denganmu dan akan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu”? Rahim menjawab, “Baiklah”. Allah swt melanjutkan, “Itulah bagianmu”
Setelah itu, Nabi saw bersabda. “jika kalian mau, bacalah olehmu ayat ini”:
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? (QS. Muhammad [47]:22).
Rasulullah saw juga bersabda demikian:
Bukanlah orang yang menghubungkan persaudaraan itu adalah yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan persaudaraan itu adalah ia yang ketika keluarganya memutuskan hubungan menyambungkan kembali hubungan itu.
Nash-nash diatas semua menunjukkan pada dorongan untuk menjalin silaturahim. Silaturahmi menunjukkan pada sejauh mana hubungan dan kasih sayang terjadi diantara hubungan kekerabatan satu sama lain; dan pada adanya saling bekerjasama diantara mereka.
Silaturahim juga menunjukkan pada sejauh mana perhatian syariat Islam terhadap tata aturan pergaulan dan interaksi antara pria dan wanita,  pengaturan segala implikasi yang muncul akibat dari adanya hubungan yang terjadi, dan segala sesuatu yang menjadi turunannya. Namun semuanya itu tidak akan tegak tanpa adanya peradilan Islam yang menjamin semua syariat Islam diseluruh aspek kehidupan dapat tegak berjalan sebagai mana perintah hukum syariat Islam alqur’an, as-sunnah, dan yang disyahkan keduanya ijma’ sahabat dan Qiyas.
Wallahu a’lamu bi showab.


0 komentar:

Posting Komentar