Selasa, 12 Februari 2013

Pendidikan Berkualitas Hak Setiap Warga Negara


Beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan pencabutan segala bentuk regulasi dan status RSBI pada sekolah. Dengan adanya keputusan MK ini, maka pemerintah berkewajiban untuk mencabut segala bentuk regulasi dan status RSBI pada sekolah yang mendapat label tersebut.

 

MK menilai RSBI menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi antara RSBI dengan non-RSBI. Biaya yang mahal dan penggunaan bahasa asing dalam RSBI juga dikhwatirkan menggerus keberadaan bahasa Indonesia sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Sejak awal kehadirannya, RSBI memang menyulut kontroversi. Kekhawatiran bahwa RSBI akan jadi ajang komersialisasi di sekolah negeri ternyata tidak sepenuhnya salah. Alokasi 20 persen untuk siswa dari keluarga miskin nyaris tidak pernah terpenuhi.

Meski sekolah RSBI setiap tahun dapat stimulus anggaran khusus dari pemerintah, besaran SPP-nya rata-rata dua kali lipat dari sekolah negeri non-RSBI untuk jenjang SMA/SMK. Untuk SD dan SMP, tentu saja sekolah negeri non-RSBI gratis, sedangkan sumbangan setiap siswa sekolah RSBI mencapai ratusan ribu rupiah per bulan.

Biayanya kian menggunung bila ditambahkan dengan uang masuk yang bisa mencapai Rp 4 juta - Rp10 juta, bahkan lebih. Karena itu, banyak orang tua enggan menyekolahkan anaknya di RSBI karena biayanya mahal meskipun anaknya bisa menembus seleksi ketat RSBI. sehingga tidak salah bila ada tudingan bahwa RSBI secara sistemik telah menciptakan kastanisasi.

Bagaimana pandangan Islam tentang hal ini, apakah memang dibolehkan Negara menyelenggarakan pendidikan berkualitas hanya untuk sekelompok masyarakat yang mampu saja?



Akibat Sistem Kapitalisme

Ironis memang, hal yang semestinya menjadi hak setiap warga Negara justru diperuntukkan hanya untuk segelintir orang. RSBI sebenarnya hanya merupakan kedok dari pelaksana Negara yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola hak masyarakat. Atas dasar apa Negara memberikan pendidikan berkualitas hanya pada sebagian masyarakat, dan tidak untuk sebagian masyarakat yang lain, padahal hal tersebut merupakan hak setiap warga Negara.

Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh mempertanyakan dibubarkannya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) oleh MK. Menurut M Nuh, RSBI merupakan sekolah yang memiliki cita-cita memajukan pendidikan bangsa secara global. Mendikbud menegaskan dalam pidato Seminar Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII), Hotel Bidakara, Jakarta, Minggu (13/1/2013) bahwa Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas terutama pasal 50 ayat 3 yang menjadi dasar hukum pembentukan RSBI dan SBI dinilai sudah sangat baik. Terutama untuk memajukan pendidikan nasional untuk bersaing secara global.

Pernyataan yang aneh dari seorang penyelenggara Negara! Ya inilah potret sistem pemerintahan yang mengacu pada system kapitalisme. Mereka mengelola Negara seperti mengelola sebuah perusahaan yang semua mengharapkan keuntungan. Menurut mereka, wajar jika ingin hal yang lebih maka konsekwensinya harus membayar lebih. Sehingga jangan heran jika ada pepatah mengatakan “kalau miskin tidak boleh pinter” karena hanya bagi orang-orang yang mampu saja Negara ini memberikan perhatian lebih. Padahal tugas Negara adalah memberikan pelayanan kepada seluruh rakyatnya bukan segelintir kepentingan saja.



Pendidikan adalah Hak Setiap Orang, dan Tanggung Jawab Penuh Negara

Dalam Islam, pelaksanaan pendidikan di seluruh tingkatan adalah tanggung jawab penuh Negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara.

Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara. Dalilnya adalah as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu. (HR Muslim).

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi Negara untuk memberikan pendidikan yang baik dan berkualitas kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.Tidak perlu membentuk RSBI. Pembentukan RSBI hanya merupakan kedok pemerintah untuk lari dari tanggung jawab. Konon menurut mereka, RSBI merupakan sekolah yang memiliki cita-cita memajukan pendidikan bangsa secara global.

Jadi, tidak ada istilah sekolah RSBI dan non RSBI, semua rakyat berhak mendapat perlakuan yang sama oleh Negara dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Faktanya saat ini, hanya orang-orang yang mampu saja yang mendapat layanan pendidikan yang baik dari Negara.

Setidaknya terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj (yang merupakan kepemilikan negara) seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim.

Penyediaan pendidikan yang baik oleh Negara, pernah dicontohkan oleh Rasul yaitu pada saat setelah Perang Badar, sebagian tawanan musuh yang tidak sanggup menebus pembebasannya diharuskan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya. Ijmak Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan.

Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non-Muslim yang melintasi tapal batas negara).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para Khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.

Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan Universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf.

Di antara wakaf ini, ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus untuk guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan.

Oleh karena itu, jika ada penyelenggara Negara yang dalam tanggung jawabnya tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik (memberikan pendidikan yang baik) untuk seluruh rakyatnya, dia bisa dikatakan telah lalai dari tugasnya. Maka bagi penyelenggara Negara yang seperti ini, mereka harus dimintakan pertanggungjawaban di depan pengadilan, jika terbukti karena kelalainnya maka dia harus dikenakan sanksi.

Tidak seperti yang terjadi saat ini, dimana ketika ada rakyat yang tidak mendapatkan haknya dalam pendidikan tidak ada pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaannya. Bahkan fakta terjadinya razia anak-anak jalanan oleh petugas sebenarnya tida perlu terjadi jika negara melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawabnya. Justru jika ada anak-anak usia sekolah itu berada di jalanan seharusnya yang dirazia adalah kepala wilayah/gubernur di daerah itu karena lalai menjalankan tugasnya dalam melayani masyarakat di bidang pendidikan bukan justru sebaliknya.



Khatimah

Dengan penjelasan di atas, pertanyaannya apakah Indonesia mampu menyelenggarakan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?. Dalam APBN 2012, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp289,96 triliun, porsinya mencapai 20,2% dari total belanja negara. Jumlah anggaran pendidikan ini naik dari jatah di 2011 yang besarannya mencapai Rp 266,94 triliun (SAPULIDINews, 9/11/2011).



Berikut ini data kekayaan alam Indonesia yang diolah dari berbagai sumber:

1. Potensi hasil hutan

Yang menarik adalah produksi hutan. Luas hutan Indonesia yang tersisa tahun 2010 adalah 94.432.000 hektar. Untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun cukup 5 persen tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon perhektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp 2 juta dan nett profit-nya Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan Indonesia adalah 94 juta hektar x 20 pohon perhektar x Rp 1 juta perpohon = Rp 1.880 triliun. Namun, tentu ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separuh hutan Indonesia telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legal pun telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Namun, Rp 900 triliun juga masih sangat besar. Jika dikelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk pendidikan.

2. Potensi pendapatan migas

Produksi gas (LNG) adalah setara 5,6 juta barel minyak perhari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun (nett profit sekitar Rp 268 Triliun). Produksi batubara adalah setara 2 juta barel minyak perhari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 212 Triliun (nett profit sekitar Rp 191 Triliun).



Ini baru dari dua sektor, belum dari sektor laut dan pertambangan lainnya. Total diperkirakan penerimaan negara dari kekayaan alamnya saja minimal sekitar Rp 1.657,525 Trilun tanpa pajak dan utang. Kalau dibandingkan dengan belanja negara Indonesia Tahun 2012 sekitar Rp 1.534,5 Triliun (termasuk pembayaran bunga 117,8 Triliun) maka terdapat surplus 123, 05 Triliun. Inilah gambaran potensi pendapatan negara, jadi jangankan 20% dari total APBN, anggaran pendidikan 100% pun sebenarnya Negara mampu. Oleh karena itu, kaum muslimin selayaknya sudah mulai berfikir bahwa dengan Islam, seluruh hak rakyat akan bisa dilaksanakan dengan adil, dan baik. Tidak ada system kehidupan yang baik selain yang telah dirumuskan oleh Sang Pencipta alam semesta, kehidupan dan manusia yaitu Allah Swt.

Wallahu a’lam bi shawab.

0 komentar:

Posting Komentar