Kamis, 21 Februari 2013

RISYWAH

Sepanjang tahun 2012 telah banyak terjadi kasus suap yang menyeret sejumlah nama petinggi negeri, mulai dari bupati sampai dengan menteri dan anggota dewan. Beberapa kasus besar yang terjadi sepanjang tahun 2012 diantaranya : kasus suap wisma atlet yang menyeret sejumlah petinggi partai berkuasa, kasus suap pemilihan gubernur BI yang melibatkan deputi senior Bank Indonesia, kasus suap PON Riau yang menyeret nama gubernur Riau dan sejumlah anggota DPRD, kasus suap Hambalang, Kasus suap Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur daerah (PPID) yang melibatkan anggota dewan, kasus suap Bupati Buol yang melibatkan pengusaha terkenal, kasus suap pajak, dll.




Kasus suap di negeri ini sepertinya sudah biasa kita dengar, begitu banyaknya kasus suap yang terjadi menunjukkan betapa negeri ini berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan rangking Indeks Persepsi Korupsi (IPK) posisi Indonesia setiap tahunnya kerap masuk dalam kategori negara yang dianggap publik rentan dengan perilaku negatif ini.

Pada 2006, Indonesia berada pada peringkat 130 dari 163 negara, dengan nilai indeks 2,4. Pada 2007, Indonesia berada pada peringkat 145 dari 180 negara dengan nilai indeks 2,3. Pada tahun 2010, Indonesia berada pada peringkat 110 dengan nilai indeks 2,8, dan pada 2011 naik menjadi peringkat 100 dari 182 negara dengan nilai index 3,0. Lalu bagaimanakah Islam memandang prilaku suap ini ?


Hukum Ryswah

Risywah (رشوةِِ) berasal dari kata rasya (رشا) yang berarti al-ja’lu (menyuap). Ibn al-Atsir mengatakan rasywah adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan menyogok (الوُصْلَةُ إِلـى الـحاجة بالـمُصانعة). Ar-rasyi (penyuap) adalah orang yang memberikan risywah secara batil, al-murtasyi adalah orang yang mengambil risywah dan ar-ra`isy adalah orang yang bekerja sebagai perantara risywah yang minta tambah atau minta kurang

Dalam Hasyiyah Ibn Abidin yang dikutip dari kitab al-Misbah risywah didefinisikan sebagai berikut:

ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد

Artinya:
Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau membawa kepada yang diinginkannya.

Sedangkan menurut istilah, risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani 148).

Berdasarkan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan dinamakan risywah jika memenuhi unsur-unsur berikut:

a. Adanya athiyyah (pemberian)
b. Ada niat Istimalah (menarik simpati orang lain)
c. Bertujuan:
Ibtholul haq (membatalkan yang haq)
Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)
al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)

Hukum suap dalam pandangan Islam adalah Haram, hal ini di dasarkan atas dalil-dalil diantaranya :

”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (TQS Al Baqarah 188)

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).

Dalil-dalil tersebut menunjukkan larangan dan celaan terhadap orang-orang yang mengambil harta dengan cara batil, lebih spesifik lagi dengan cara suap, hal ini menunjukkan haramnya suap, baik penyuap maupun yang di suap

Pada dasarnya pemberian (‘athiyyah) boleh diberikan kepada siapa saja. Didalam Islam ada beberapa istilah yang berhubungan dengan pemberian, yaitu

a. Hadiah : pemberian kepada sesorang ‘ala sabilil ikrom (karena penghargaan)

b. Hibah : pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu

c. Shadaqah : pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT seperti zakat ataupun infaq sunnah

Tetapi jika pemberian itu ditujukan kepada pegawai/pejabat Negara, maka persoalanya menjadi berbeda. Seorang pegawai/pejabat Negara tidak diperbolehkan menerima pemberian dalam bentuk apapun kecuali jika seseorang sudah biasa memberikan hadiah sebelum dia menjadi pegawai/pejabat Negara. Hal ini ditegaskan dalam beberapa hadis. Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Dari Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari).

Dalam hadits tersebut dikatakan ….. kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak…., maknanya seandainya Ibnu Alutbiyyah tidak bertugas mengurusi zakat (amil), akankah dia mendapat hadiah ? Artinya Ibnu Alutbiyyah mendapat hadiah semata karena tugasnya, padahal untuk tugas tersebut ia telah mendapat upah sehingga semua hal yang diterimanya dalam penugasan itu diluar upah resmi termasuk ghulul. Sabda Nabi SAW : “ هدايا الأمراء غلول ”artinya “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad)

Oleh karena itu setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi/legal yang terkait dengan jabatan merupakan harta “ghulul” (korupsi) dan hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama ‘hadiah’ dan ‘tanda terima kasih’ dsb, akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari’at Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ (suap) atau ‘syibhu risywah’ (semi suap) atau ‘risywah masturoh’ (suap terselubung), ‘risywah musytabihah’ (suap yang tidak jelas) ataupun ‘ghulul’.

Keharaman riswah ini berarti para pelaku suap akan mendapat dosa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,” “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi). Namun menurut sebagian ulama ada suap yang diperbolehkan, yakni (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang semata untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap (al-murtasyi). Seandainya seorang muslim mengurus sesuatu di suatu instansi public.

Semua persyaratan telah terpenuhi, semua prosedur telah dilalui, namun urusan tak kunjung selesai hingga batas waktu normal. Pihak berwenang dengan sengaja mempersulit urusan, kecuali jika ada pemberian sejumlah harta untuk meloloskan urusan tersebut. Maka dalam hal ini mubah menyuap sekedar untuk mendapat hak, dan dosa ditanggung oleh pihak penerima suap. Wallahu a’lam.

Akan tetapi hendaknya seorang muslim tidak memposisikan diri serba “kepepet” sehingga “terpaksa” menyuap atau disuap karena sesungguhnya Allah Maha Tahu. Dia mengetahui yang terlihat maupun tersembunyi.

Segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus diserahkan ke baitul maal atau digunakan untuk kepentingan umat Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar: ”jika pemiliknya diketahui maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam”.

Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa harta ghulul adalah harta “kotor”, maka pengembaliannya kepada ummat haruslah untuk kepentingan publik yang “kotor”, seperti membuat WC umum, memperbaiki selokan dan semacamnya. Namun penggunaan harta risywah untuk kepentingan public ini tidak bernilai ibadah atau amal jariyyah, namun semata upaya mengembalikan harta pada yang berhak melalui kemanfaatam duniawi bagi masyarakat.

Khatimah
Banyaknya kasus suap yang terjadi di negeri ini tidak hanya disebabkan oleh perilaku buruk individu, tetapi juga di dukung oleh sistem yang diterapkan saat ini. Faktanya, sistem kapitalis yang dianut negeri ini telah membentuk perilaku korup orang-orang yang terlibat dalam sistem tersebut.

"Tindak pidana korupsi yang terjadi di tingkatan parlemen antara lain disebabkan oleh adanya liberalisasi biaya politik," demikian menurut peneliti dari Indonesia Institute, Hanta Yudha. Bukan rahasia lagi bahwa biaya aktivitas politik partai politik dan perorangan sangat mahal di Indonesia dengan sumber dan cara pembiayaan yang cenderung tidak transparan dan sulit ditelusuri publik. (www.antaranews.com).

Sementara Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam, menyatakan ”Tahun 2013 ini adalah tahun politisasi anggaran dan politisasi kebijakan di tahun politik, dan marak dengan kerja-kerja tertutup dan terselubung,” (http://nasional.kompas.com). Di sisi lain Pengamat sosial politik dari IAIN Sumut, Drs Ansari Yamamah, MA, menyatakan bahwa penyebab korupsi – termasuk suap - adalah perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih "mendewakan" materi.

Ternyata orang “baik” pun jika berada pada sistem yang salah akan terseret pada pusaran perilaku buruk. Sistem kapitalis juga telah mendorong para pajabat negara senantiasa berorientasi pada materi dan mengejar kekuasaan dari pada melayani urusan umat. ongkos politik yang tinggi adalah salah satu pemicunya, untuk bisa menjadi “orang penting” di negeri ini butuh dana milyaran, dana tersebut kebanyakan di dapat dari jalan yang tidak halal, salah satunya adalah suap.

Dengan kata lain, negeri ini tidak hanya butuh orang yang baik, jujur, hanif dan semacamnya. Namun lebih jauh, yang dibutuhkan adalah sebuah Sistem pengelolaan Negara yang baik sebagai pengganti Sistem kapitalis yang terbukti bobrok dan gagal mengantarkan negeri ini menuju kesejahteraan.

Islam adalah agama sekaligus mabda’ (ideology) yang sempurna dan paripurna, aturannya mencakup seluruh aspek kehidupan. Mensolusi persoalan suap tidak hanya mengganti orang namun juga harus mengubah perilaku pejabatnya, mental indivisu tetapi lebih dari itu yang terpenting adalah merubah sistemnya, merubah Sistem kapitalisme dengan Sistem Islam.

Wallahu a’lam bi ashowab

0 komentar:

Posting Komentar