Rabu, 13 Maret 2013

Ibrah Qishas

Beberapa hari terakhir ini kita dikejutkan banyaknya kejadian pembunuhan di beberapa kota di Indonesia. Di Deli Serdang, Sumatra Utara, Selo Nababan (4 tahun) diculik dan dibunuh. Di Surabaya, Balita Fahri Ramadhan dibunuh dan disemen menyerupai patung. Di Jakarta, ditemukan kasus mutilasi dan mayatnya dibuang di jalan tol. Di Jember sendiri terjadi kasus perampokan dan pembunuhan sadis terhadap mahasiswa Unej, Galau Wahyu Utama.





Pada akhir 2012, Polda Jawa Timur merilis angka pembunuhan yang terjadi di wilayah Jawa Timur. Berdasarkan data yang dirilis ternyata sangat mencengangkan, tahun 2012 di Jawa Timur terjadi 1.357 kasus pembunuhan. Angka tersebut jauh melonjak dari tahun 2011 yang hanya 69 kasus. (tribunnews.com, 31/12/2012).

Banyaknya kasus pembunuhan yang terjadi, didasari oleh motif dan latar belakang yang bermacam – macam. Kasus di Surabaya dengan korban Balita Fahri Ramadhan, dilandasi motif dendam Solikhin sang pembunuh kepada Misnawi, ayah Fahri. Kasus mutilasi di Tol Cikampek Jakarta, dilandasi motif sang suami yang cemburu kepada istrinya. Selain kedua motif tersebut, beberapa kasus pembunuhan lainnya bisa didasari karena motif asmara, ekonomi (hutang piutang), dan lain – lainnya.

Sanksi bagi pidana pembunuhan di negeri ini telah diatur dalam KUHP pasal 338, 339 dan 340 dengan hukuman bervariasi, hingga setingi – tingginya hukuman mati. Namun ancaman hukuman ini baru tuntutan diatas kertas, karena pada pelaksanaanya banyak hukuman pada kasus pembunuhan ternyata sangat rendah, apalagi setelah dikurangi proses remisi dll. Maka tak jarang jika keluarga korban merasa tidak puas dengan hukuman yang diterima pelaku. Di sisi lain, rendahnya sanksi bagi pelaku pidana, diduga kuat menyebabkan meluasnya tindak pidana, karena hukuman yang rendah tidak membuat jera para pelaku maupun “calon pelaku”. Bagaimana Islam mengatasi hal ini ?



Kontrol dalam Masyarakat Islam

Masyarakat Islam adalah masayarakat yang khas dan unik, yaitu masyarakat yang mempunyai pemikiran, perasaan dan aturan Islam. Setiap anggota masyarakat Islam mendasarkan pemikiran dan perasaannya pada aqidah Islam. Dalam melaksanakan perbuatan distandartkan pada hukum – hukum Islam.

Setiap muslim pasti mempunyai keimanan dan keterikatan pada aqidah Islam, meski tebal - tipis keimanan masing – masing berbeda – beda, namun seorang muslim hendaknya senantiasa mengupayakan keimanannya berada pada kondisi yang baik. Dengan kondisi iman yang baik, tentu tidak akan mudah tersulut emosi untuk melakukan pembunuhan – ataupun tindakan keji lain - dalam menyelesaikan permasalahannya.

Selain itu, Islam mensyariatkan saling kontrol antar anggota masyarakat, melalui aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Kaum muslimin dituntut untuk saling peduli dan tidak hidup saling acuh tak acuh. Pada masyarakat yang kepeduliannya terhadap sesama dilandaskan pada keimanan, niscaya akan sangat sedikit terjadi pelanggaran aturan dalam bermasyarakat, termasuk terjadinya kemaksiatan seperti perkara pembunuhan. Meski demikian, potensi pelanggaran aturan tetap ada, karena kondisi keimanan seseorang yang naik – turun. Namun adanya kontrol masyarakat dan amar ma’ruf nahi munkar yang senantiasa ditegakkan, maka kriminalitas bisa ditekan.

Selain individu yang mempunyai ketaqwaan yang tinggi, serta masyarakat yang senantiasa melakukan kontrol dengan cara amar ma’ruf nahi munkar, Negara juga berkewajiban menegakkan aturan Islam dengan tegas dan tidak pandang bulu. Terkait dengan pelaksanaan aturan Islam yang tidak pandang bulu, terdapat satu kisah nyata yang masyur : Suatu ketika diajukan kepada Nabi SAW seorang wanita yang mencuri untuk diadili dan dijatuhkan hukuman atau had potong tangan terhadapnya. Beliau Nabi Saw tidak menerima permohonan grasi dari Usamah bin Zaid untuknya, bahkan menegur Usamah seraya berkata : “Apakah kamu mengajukan grasi terhadap salah satu hukuman Allah SWT?, demi Allah kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim dari Aisyah)



Sanksi Pidana dalam Islam

Peradilan Islam berfungsi sebagai penegak syariat Islam yang rahmatan li ‘alamin. Peradilan Islam memberlakukan metode hukum Islam dan sistem pembuktian yang Islami. Peradilan Islam memposisikan rakyat sebagai rakyat yang merdeka dan bukan sebagai rakyat jajahan. Peradilan Islam tidak memperlakukan rakyat yang melanggar hukum sebagai musuh, melainkan pelanggaran hukum saja yang harus diproses secara adil. Metode peradilan Islam juga memberi kepastian hukum secara riil, bukan semu, manipulasi ataupun permainan, melainkan dengan kepastian tidak ada banding dalam putusan hakim, dan harus dijalankan, tidak boleh dianulir oleh siapapun termasuk Kepala Negara.

Kejahatan adalah perbuatan tercela. Tercela sendiri adalah apa yang dicela Allah SWT. Kejahatan bukanlah suatu yang fitri (ada dengan sendirinya) pada diri manusia. Kejahatan bukan pula “profesi” yang diusahakan oleh manusia. Kejahatan adalah tindakan melanggar peraturan, yang mengatur perbuatan – perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia lain. Termasuk disini pembunuhan adalah kejahatan karena dalam Islam diharamkan/dilarang membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan. Sebagaimana firman allah SWT, yang artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu alasan yang benar.” (TQS Al-Isra 33)

Pembunuhan adalah tindak kejahatan, maka pelaku pembunuhan harus diadili dengan seadil – adilnya. Sistem peradilan yang menegakkan hukum Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Zawajir karena sanksi yang tegas akan mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindak pelanggaran yang sejenis. Jawabir artinya berfungsi sebagai penebus sanksi (siksa) di akhirat. Dengan diterapkannya sangsi hukum tersebut maka pelanggar hukum tidak akan dihukum lagi di akhirat kelak. (Muhadharah wal Halaqah jilid II,Abdurrahman AM, hal 231 – 235)

Pembunuhan adalah perbuatan dosa dengan dosa yang sangat besar, sebagaimana firman Allah swt : “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (TQs. An Nisa : 93).

Sudah masyhur dikenal publik bahwa hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dalam Islam adalah Hukuman Qishas (balas bunuh). Namun Hukuman ini diopoinikan oleh pengemban Kapitalisme sebagai hukuman yang kejam dan melanggar HAM. Padahal sungguh ada banyak ibrah (pelajaran) yang bisa diambil dari syariat qishas ini.

Paradigma qishas bukan dalam rangka balas dendam atau “utang pati bayar pati”, namun dalam kasus pembunuhan ada 3 hak yang harus ditunaikan, yakni Hak Allah, Hak ahli waris korban dan Hak korban. Apabila pelaku bertaubat dan menyerahkan diri pada ahli waris korban maka ia terlepas dari hak Allah dan hak ahli waris, baik mereka mengampuninya dengan membayar diyat (denda) ataupun menebusnya dengan qishas. Adapun hak korban akan diganti Allah di akhirat dengan kebaikan.

Dalam pelaksanaannya, hukuman dalam kasus pembunuhan di aplikasikan dengan beberapa cara : Pertama perkara pembunuhan yang betul – betul disengaja, yaitu dilakukan sengaja oleh pelaku pembunuhan dengan menggunakan alat yang memang biasa digunakan dengan membunuh. Hukumannya adalah Pelaku pembunuhan wajib diqishas/dibunuh pula, kecuali apabila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat/denda atau dimaafkan sama sekali.

Hal ini didasarkan pada firman Allah swt : “Hai orang – orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang – orang yang dibunuh, orang yang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba. Dan dalam qishas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang – orang yang berakal supaya kamu bertaqwa.” (TQS. Al Baqarah 179)

Jika kelurga Korban memaafkan, maka pelaku terbebas dari hukuman qishas namun harus menggantinya dengan diyat. Sebagaimana sabda Nabi SAW, yang artinya : “Barang siapa membunuh orang dengan sengaja, ia diserahkan kepada keluarga yang terbunuh. Mereka boleh membunuhnya atau menarik denda, yaitu 30 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.” (HR Tirmidizi)

Pelajaran yang dapat diambil dari pelaksanaan hukuman qishas di atas bahwa Islam menjamin nyawa/hak hidup bagi si korban, karena pelaku telah merampas nyawa si korban, maka pelaku harus dihukum qishas. Sedangkan dalam diyat, terjamin hak ahli waris. Bayangkan seandainya korban adalah kepala keluarga yang menjadi tulang punggung keluarga, maka niscaya orang – orang yang menjadi tanggungannya nafkahnya tidak akan terlantar sepeninggal korban karena telah mendapat “warisan” berupa pembayaran diyat.

Kedua, Kasus pembunuhan seperti disengaja, misalnya : Seseorang memukul dengan sesuatu yang enteng – yang secara sunatullah tidak dapat membunuh – namun ternyata kebablasan sehingga korban meninggal. Dalam hal ini tidak wajib qishas, hanya diwajibkan membayar diyat/denda sebagaimana denda membunuh betul betul disengaja, akan tetapi yang wajib membayar denda adalah keluarga pelaku pembunuhan seperti disengaja, dan dapat diangsur selama tiga tahun, tiap akhir tahun dapat diangsur sepertiganya.

Ketiga, dalam perkara terbunuhnya seseorang karena ketidaksengajaan semata, misal : Seseorang menembak burung akan tetapi pelurunya nyasar terkena orang lain yang mengakibatkan orang lain tersebut terbunuh. Maka hukuman bagi pelaku adalah tidak wajib qishas, hanya wajib membayar diyat/denda yang wajib dibayarkan oleh keluarga yang membunuh. Denda yang wajib dibayarkan adalah seratus ekor unta yang dibagi lima, 20 ekor unta betina umur satu masuk dua tahun, 20 ekor unta betina umur dua tahun masuk tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua tahun masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina tiga tahun masuk empat tahun, 20 ekor unta betina empat tahun masuk lima tahun.

Denda ini wajib dibayar dalam masa tiga tahun, tiap akhir tahun dibayar sepertiganya. Jika denda tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang sebanyak harga unta. Bila denda itu masuk pada denda pada kasus pembunuhan yang benar – benar disengaja, maka ditambah sepertiganya. (Fiqh Islam, H.Sulaiman Rasyid, hal 429-431)

Dari penjelasan di atas dapat diambil beberap ibrah dari syariat qishas ini, diantaranya qishas bukanlah cara merealisasikan dendam namun merupakan cara untuk menunaikan hak bagi Allah, Korban dan ahli waris korban. Qishas juga bukanlah satu – satunya hukuman bagi pelaku pembunuhan, qishas hanya berlaku terhadap pembunuhan yang disengaja. Bahkan seandainya keluarga korban ikhlas maka sanksi qishas dapat diganti dengan diyat. Dengan denda diyat sebagai pengganti qishas ini insya ALLAH akan lebih meringankan beban penafkahan dari ahli waris korban.



Khatimah

Demikianlah Islam telah mengatur sistem peradilan dan hukuman dalam kasus pembunuhan, secara lengkap – tegas dan sempurna. Apabila diterapkan pasti membawa kebaikan di dunia dan di akhirat. Apabila saat ini sebagian kaum muslimin takut akan terterapkannya aturan Islam, hal ini semata – mata karena kurangnya pemahaman kaum muslimin terhadap agama mereka sendiri. Dan pastinya tidak terlepas juga dari upaya musuh – musuh Islam yang menjauhkan kaum muslimin dari agamanya, karena kaum kafir tentu tidak ingin Islam tegak kembali.

Wallahu a’lam bi ashowab













0 komentar:

Posting Komentar