Senin, 03 Juni 2013

Anak Kecil Menjadi Imam Shalat

Anak kecil dibolehkan menjadi imam menurut pendapat yang benar [1], berdasarkan hadits Amru bin Salamah, yakni bahwa ia menceritakan: Kami pernah berada di sumber air yang dilewati banya orang [2]. Waktu itu para pengendara dalam perjalanan melewati sumber air kami. Kami bertanya kepada mereka: “Ada apa dengan orang banyak? Ada apa dengan orang banyak? Siapakah lelaki itu (Rasulullah) [3]?” Mereka menjawab: “Ia seorang lelaki yang mengaku telah diutus sebagai rasul dan mendapat wahyu begini dan begitu.”



Aku lalu menghafal betul ucapan tersebut sehingga seolah-olah terpatri dalam dadaku. Dan orang-orang Arab menunggu untuk masuk Islam bila terjadi penaklukan kota Mekah. [4] Mereka berkata: “Tinggalkan saja dia dengan kaumnya. Kalau ia berhasil menaklukan mereka, berarti dia memang nabi yang sebenarnya.”

Ketika terjadi penaklukan kota Mekah, mereka berlomba-lomba masuk Islam. Ayahku sendiri mendahului kaumnya masuk Islam [5]. Ketika ia datang di kota Mekah, ia berkata: “Sungguh kami datang dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bersabda:

“Lakukanlah shalat ini di waktu ini, lakukankah shalat itu di waktu itu. Bila datang waktu shalat, hendaknya salah seorang di antara kalian menjadi muadzin, dan yang menjadi imam adalah yang terbanyak hafalan Qur’annya.”

Lalu mereka saling meneliti, ternyata tidak ada seorang pun yang hafalan Al-Qur’annya lebih banyak dariku, karena aku sudah banyak mendapatkan hafalan dari pengendara dahulu, mereka pun mengajukan diriku sebagai imam bagi mereka, padahal aku baru berumur enam atau tujuh tahun, dan aku kala itu mengenakan burdah, yang bila aku sujud, kain burdahku itu tertarik ke atas [6]. Ada seorang wanita dusun berkata kepadaku: “Kenapa kalian tidak menutupi pantat imam kalian itu?” Mereka pun membeli bahan [7] memotongkan sebuah gamis untukku. Belum pernah aku bergembira lebih dari kegembiraanku ketika mendapatkan gamis itu.”

Dalam riwayat Abu Daud disebutkan tambahan: “Amru bin Salamah berkata: “Setiap kali aku berkumpul dengan sekelompok kaum muslimin, pasti aku dipilih sebagai imam mereka, dan aku pun terbiasa menshalatkan jenazah-jenazah sebagai imam hingga hari ini.” [8]

Inilah pendapat yang benar, bahwa keimaman seorang anak kecil itu sah dalam shalat wajib atau shalat sunnah kalau memang ia dipilih dan diajukan oleh kaumnya sendiri, dan ia memang yang terbanyak hafalan Al-Qur’annya dan usianya sudah 7 tahun. Karena tidak (dibenarkan) qiyas kalau harus berhadapan dengan nash. Dipilihnya Amru bin Salamah sebagai imam juga terjadi di zaman kenabian. Kalau shalat itu batal dan perbuatan itu dianggap mungkar, pasti sudah dinyatakan salah oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Yang mengajukan Amru sebagai imam seluruhnya juga dari kalangan sahabat Nabi [9]. Jabir radhiyallahu ‘anhu sendiri menyatakan: “Kami pada masa itu terbiasa melakukan azl, sementara Al-Qur’an masih turun.” Dalam lafazh lain: “Kami terbiasa melakukan azl di masa Rasulullah.” Dalam riwayat lain: “Kami terbiasa melakukan azl sementara Al-Qur’an masih turun. Kalau itu perbuatan terlarang, tentu Al-Qur’an sudah melarangnya…”

Kami pernah mendengar Syaikh Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menguatkan pendapat bahwa keimaman anak kecil yang sudah mencapai usia tujuh tahun dalam shalat wajib dan sunnah adalah sah. Anak kecil juga diperhitungkan shafnya dalam shalat jamaah. Pada asalnya, shalat sunnah dan wajib itu kode etiknya sama, kecuali yang dikhususkan dengan dalil. [10]

Hukum Orang Buta Menjadi Imam Shalat

Orang buta juga sah menjadi imam dan tidak dimakruhkan berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah menyerahkan tugas keimaman kepada Ibnu Ummi Maktum, sementara ia adalah orang buta [11]. Dalam satu riwayat disebutkan beliau pernah menyerahkan tugas keimaman kepada Ibnu Ummi Maktum ini sebanyak dua kali di kota Al-Madinah. Bahkan setelah dihitung-hitung tugas keimaman Ibnu Ummi Maktum telah mencapai tiga belas kali. Itu menjadi dalil sahnya keimaman orang buta tanpa ada nilai kemakruhan [12].

Hal itu diindikasikan oleh riwayat Mahmud bin Ar-Rabi’ Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Utbah bin Malik pernah mengimami kaumnya sementara ia sendiri buta. Lalu ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya jalanan gelap dan becek, sedangkan aku orang buta. Tolong shalat di salah satu kamar rumah kami yang nantinya akan kami jadikan tempat shalat. Rasulullah datang menemuinya dan bertanya: “Di tempat mana engkau suka aku melakukan shalat tersebut?” Utbah menunjuk salah satu lokasi di rumahnya, lalu Rasulullah shalat di tempat itu.” [13]

Hukum Hamba Sahaya atau Mantan Budak Menjadi Imam Shalat

Keimaman kedua orang ini juga sah, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau menceritakan: “Ketika orang-orang muhajirin pertama datang ke Aqabah -salah satu lokasi di Quba- sebelum kedatangan Rasulullah. Mereka diimami Salim, mantan budak Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, karena ia yang paling banyak hafalannya.” [14]

Dalam riwayat lain diceritakan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia pernah mengisahkan: Salim, mantan budak Abu Hudzaifah pernah mengimami kalangan Al-Muhajirin pertama dan para sahabat Nabi di masjid Quba, diantara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Abu Salamah, Zaid, Amir bin Rabi’ah. [15]

Dahulunya Salim adalah budak seorang wanita Al-Anshar, lalu ia dimerdekakan. Ia menjadi imam kala itu sebelum ia dimerdekakan. Lalu ia disebut mantan budak Abu Hudzaifah. Karena ia selalu mengikuti Abu Hudzaifah setelah dimerdekakan sehingga diangkat anak oleh Abu Hudzaifah. Ketika pengangkatan anak itu dilarang dalam Islam, ia pun disebut sebagai “maula” (mantan budak) Abu Hudzaifah. Alasan ia diajukan sebagai imam, karena ia yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya. [16]

Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyatakan: Bab: Keimaman budak dan mantan budak. Aisyah sendiri pernah shalat diimami oleh budaknya “Dzakwan” dengan membaca mushaf. Selain itu, anak pezina, orang dusun dan anak yang belum baligh juga bisa menjadi imam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam: “Hendaknya mereka diimami oleh orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya di antara mereka.” Sehingga seorang budak tidak bisa dilarang untuk menjadi imam, tanpa alasan yang disyariatkan. [17]

Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:

[1] Para ulama berbeda pendapat tentang keimaman seorang anak kecil. Madzhab Syafi’iyah beranggapan itu sah secara mutlak, baik itu dalam shalat wajib maupun shalat sunnah. Sementara madzhab Malikiyah, Hanafiyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa keimaman anak kecil itu tidak sah dalam shalat wajib, bila para makmumnya orang-orang baligh. Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah III: 70, Asy-Syarhul Kabir, Al-Muqni’ dan Al-Inshaf IV: 387, lihat juga Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23, juga Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II: 401.

[2] Yakni di lokasi yang dilewati oleh orang banyak. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23 dan Irsyadus Sari IX: 284.

[3] Siapakah lelaki itu? Ini adalah pertanyaan tentang diri Rasulullah dan kondisi orang-orang Arab kala itu yang bersama beliau. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23.

[4] Menunggu-nunggu. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23.

[5] Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23.

[6] Burdah adalah sejenis kain kecil segi empat yang disebut juga kain hitam. Arti tertarik ke atas, yakni tersingkap sebagian kakinya karena kain itu terangkat. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23.

[7] Yakni membeli bahan untuk dipotong dan dijahit sebagai pakaian. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23.

[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Maghazi, bab: Nabi tinggal selama beberapa saat di Mekah pada penaklukan kota itu, nomor 4302. Tambahan dalam Sunan Abu Daud adalah lafazh: “Mereka pun membeli bahan dari Oman, dengan nomor 585. Dalam riwayat lain nomor 587 terdapat tambahan pula: “Setiap kali aku berkumpul dengan sekelompok kaum muslimin, pasti aku dipilih sebagai imam mereka, dan aku pun terbiasa menshalatkan jenazah-jenazah sebagai imam hingga hari ini.”

[9] Lihal Nailul Authar II: 401. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23 dan II: 185. Lihat juga Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani III: 94 dan juga Majmu’ Al-Fatawa oleh Ibnu Baz XII: 198, dan Asy-Syarhul Mumti’ oleh Syaikh Ibnu Utsaimin IV: 317-318.

[10] Penulis mendengarnya langsung dari beliau ketika beliau menjelaskan Bulughul Maram hadits nomor 435, dan juga ketika beliau sedang mengulas Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4302.

[11] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Ash-Shalah, bab: Keimaman orang buta, nomor 595. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya III: 192. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra III: 88. Hadits ini memiliki beberapa penguat diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Ihsan V: 506, dengan nomor 2134. Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud I: 118 menyatakan: “Hasan shahih.”

[12] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Al-Kharraj, bab: orang buta bisa diberi tugas, nomor 2931. Diriwayatkan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud II: 566.

[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, bab: Keringanan ketika hujan dan udzur untuk shalat di rumah, nomor 667.

[14] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, bab: Keimaman budak dan mantan budak, nomor 692.

[15] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, bab: Mempekerjakan mantan budak sebagai hakim dan pegawai, nomor 7175.

[16] Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar II: 186, dan Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II: 396.

[17] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, bab: Keimaman seorang budak dan mantan budak, sebelum hadits nomor 692.

Sumber: Imam dalam Shalat Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah karya Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, penerjemah: Abu Umar Basyir, penerbit: Pustaka An-Najiyah, Jkt. Cet. 1 Dzulhijjah 1423 H / Februari 2003, hal. 19-24.

0 komentar:

Posting Komentar